Reposisi Kekuasaan Legislatif
Hifdzil
Alim ; Dosen
Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga
|
KORAN TEMPO, 06 Juli 2015
Meski mendapat tentangan
masyarakat luas, DPR secara institusional masih ngotot mengajukan rencana
kegiatan tahun 2016 agar dibiayai oleh dana aspirasi yang mencapai Rp 11,2
triliun (Koran Tempo, 2 Juli 2015). Tahun depan, jika betul dana triliunan
rupiah itu jadi dicairkan, anggota DPR—sebagai bagian dari pelaksana
kekuasaan legislatif—akan memerankan karakter tambahan: pelaksana kekuasaan
eksekutif. Persoalannya, apakah supplementary acting tersebut lazim adanya?
Literatur lawas hukum tata negara
cukup mengenal dengan baik pemisahan atau pembagian kekuasaan negara. Kredo
Trias Politica mengajarkan bahwa kekuasaan negara dipisah/dibagi menjadi
tiga: legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Kekuasaan legislatif, atas nama
rakyat, memiliki kuasa untuk menyusun undang-undang. Selanjutnya,
undang-undang yang disepakati, dijalankan oleh sebuah mesin besar birokrasi,
di bawah kendali kekuasaan eksekutif. Apabila ada penyelewengan atas
undang-undang, kekuasaan yudisial bakal turun tangan mengadili. Rangkaian
peran kekuasaan ini secara bersama-sama membuat sistem yang mendasari
bergeraknya sebuah negara. Sistem ini telah berjalan ratusan tahun.
Sekarang, sistem yang umurnya
berabad-abad itu seperti digugat oleh sekelompok anggota Dewan Perwakilan
Rakyat. Kira-kira kata mereka, "Berdasarkan undang-undang, kami berhak
memerankan tugas sebagai pelaku kekuasaan eksekutif." Rupanya, undang-undang
yang dimaksud adalah Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014, yang
menyebutkan, "Anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan." Ada anggaran negara yang harus dialirkan
untuk usulan para wakil rakyat atas nama undang-undang.
Dana untuk usulan program
pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) bukan kali ini saja menuai kontroversi.
Pada 2010, anggota Dewan juga mengajukan proposal serupa. Hanya, Pasal 78 UU
Nomor 27 Tahun 2009, aturan hukum yang digantikan oleh UU Nomor 17 Tahun
2014, tak menyebutkan sama sekali hak anggota Dewan untuk membuat UP2DP.
Sekadar informasi, UP2DP adalah norma baru bagi hak anggota Dewan yang muncul
bersamaan dengan dua norma lainnya, yakni pengawasan dan sosialisasi
undang-undang.
Artinya, UP2DP sebenarnya adalah
norma yang terkesan "dipaksakan". Hampir-hampir kurang ada
penjelasan akademis yang mampu menguatkan eksistensinya. Pendek kata,
jangan-jangan Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014 dipaksa lahir cuma
untuk melegitimasi hasrat politik anggota Dewan, bukan murni untuk
merepresentasikan kehendak rakyat. Setidaknya, ada dua kausanya.
Kausa pertama, kekuasaan
legislatif berstatus sebagai pengawas kebijakan kekuasaan eksekutif. Maka tak
mengherankan, misalnya, konstitusi memberi ruang yang cukup luas bagi DPR
dalam Pasal 20A UUD 1945. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Selain itu, DPR dilengkapi dengan hak interpelasi, angket, dan
menyatakan pendapat. Lembaga perwakilan rakyat memegang kekuasaan
menginvestigasi kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang dari kehendak
rakyat.
Ruang sangat istimewa yang melekat
ke DPR bukan serta-merta turun dari langit, melainkan merupakan hasil
kesepakatan politik yang mengkristal dalam hukum tertinggi: konstitusi. Di
samping itu, belajar dari pengalaman, fungsi dan hak yang melekat ke tubuh
DPR bertujuan mengangkat citra
parlemen di era sebelumnya yang hanya dianggap sebagai stempel eksekutif. UUD
1945 menaikkan derajat kekuasaan legislatif sejajar dengan kekuasaan
eksekutif.
Kausa kedua, karena Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang diterapkan adalah
supremasi lembaga perwakilan pusat. C.F. Strong (2005)—yang dikutip banyak
sarjana hukum tata negara—mengutarakan, ciri utama supremasi lembaga
perwakilan pusat ialah tidak ada pembagian kedaulatan. Yang ada hanyalah
pembagian kewenangan.
Makna supremasi parlemen pusat ada
dua. Bahwa lembaga perwakilan hanya ada di pusat. Dan karena itu, makna kedua
adalah parlemen harus sangat fokus menjadi pengawas bagi kekuasaan eksekutif,
bukan ikut-ikutan mengerjakan tugas kekuasaan eksekutif. Konsep ikut membantu
domain eksekutif melalui kewenangan UP2DP atau mengusulkan program yang
dibiayai oleh dana aspirasi ditakutkan berpotensi menambah berat kinerja DPR
yang membuatnya menjadi kurang fokus.
Akhirnya, dua kausa di atas secara
implisit "melarang" pelaku kekuasaan legislatif beralih pos sebagai
pelaksana kekuasaan eksekutif. Penting bagi DPR mereposisi kekuasaan
legislatifnya.
Sebelum terpeleset dalam kubangan kekeliruan
menahbiskan kedudukan kekuasaan legislatif, DPR kudu mengambil langkah
reposisi sebagai berikut. Pertama, menghentikan gerakan ngotot meminta jatah
dana aspirasi melalui UP2DP. Kedua, demi menghindari niatan yang
sewaktu-waktu dapat muncul kembali, Pasal 80 huruf j—termasuk juga huruf k
dan huruf l—UU Nomor 17 Tahun 2014 harus dihapus. Dengan demikian, tidak akan
ada lagi celah godaan bagi segelintir oknum anggota Dewan yang kepingin
mengumbar syahwat politiknya dengan mengorbankan kesucian kedudukan kekuasaan
legislatif. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar