Rabu, 08 Juli 2015

Revisi Undang-Undang KPK

Revisi Undang-Undang KPK

   Indriyanto Seno Adji  ;  Plt. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
KORAN TEMPO, 07 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Permasalahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mengemuka kembali dan menjadi isu yang tidak saja menjadi perdebatan, tapi juga menimbulkan pro-kontra, baik perdebatan melalui pendekatan hukum, sosial, maupun ranah politik. Perdebatan ini muncul manakala Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan peninjauan terhadap lima poin dalam UU KPK. Yang menonjol dan mendapat reaksi dari publik adalah soal "penyadapan".

Menteri berpendapat diperlukan (revisi) agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM. Penyadapan nantinya hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro justitia. Bahkan lembaga eksekutif saling tuding dengan badan legislatif mengenai inisiatif perubahan revisi UU KPK ini-saat Presiden Jokowi menolak secara tegas niat revisi ini.

Penyadapan memang bagian dari pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen atau coercive force) penegak hukum. Karena itu, badan peradilan merupakan pengawas atas pelaksanaan upaya paksa ini, sesuai dengan amanat International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR).

Hal yang wajar adanya kontrol peradilan terhadap pelaksanaan upaya paksa oleh penegak hukum terhadap tersangka. International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) menegaskan hal yang sama. Pada negara dengan sistem common law, kontrol tersebut dilakukan melalui lembaga Magistrate Court, dan lembaga Rechter Commissaris (Belanda) pada sistem civil law. Pasal 9 ICCPR merupakan landasan perlindungan hak asasi tersangka terhadap upaya paksa berupa penangkapan (arrested) dan penahanan (detained) yang diajukan sesuai dengan prinsip promptly and speedy trial.

Lembaga kontrol badan peradilan terhadap pelaksanaan upaya paksa atas diri tersangka inilah yang akan menentukan keabsahan para penegak hukum dalam melaksanakan kewenangannya. Tanpa kontrol peradilan, dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan (detournement de pouvoir) penegak hukum.

Namun kontrol peradilan ini pun harus dalam batas-batas kewenangan yang tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang (abus de droit), sehingga antara lembaga kontrol dan lembaga yang dikontrol memiliki suatu batas-batas equal and balance.

Eksistensi lembaga KPK ini memang selalu menjadi sorotan publik, bahkan pada akhirnya menimbulkan persoalan klasik atas penegakan hukum, manakala terjadi gesekan dengan lembaga-lembaga negara.

KPK telah menjalankan tugas kewenangan penegakan hukum dan beberapa kali berposisi sebagai korban penegakan hukum dalam bingkai konstitusional politik ketatanegaraan, dan pola gesekan selalu berakhir pada kehendak pelemahan melalui jubah revisi UU KPK. Pola dan bingkai konstitusional ini bisa terlihat dalam bentuk dan cara berikut ini.

Pertama, tekanan melalui mekanisme kelembagaan eksekutif dan legislatif. Salah satu alasan diajukan suatu revisi regulasi KPK adalah soal penyadapan. Secara historis, eksistensi kelembagan KPK adalah bersifat khusus, luas, dan menyebar (special, wide and spread), baik regulasi maupun karakter wewenangnya, yang tentunya berlainan dengan penegak hukum lainnya, mengingat KPK adalah lembaga trigger mechanism.

Penyadapan (wiretapping) maupun tindakan pengawasan/pengamatan (surveillance) merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh KPK pada tahap penyelidikan. Dan sesuai dengan Pasal 44 UU KPK, dalam tahap penyelidikan, pasal ini memberikan kewenangan KPK untuk menemukan bukti permulaan cukup (setidaknya dua alat bukti).

Tahap penyelidikan inilah yang berperan dalam operasi tangkap tangan untuk dugaan perbuatan suap. Operasi ini memerlukan setidaknya dua alat bukti yang hanya bisa dilakukan pada tahap penyelidikan, bukan tahap penyidikan yang pro justitia.

Harus diakui, Pasal 44 dan Pasal 12 UU KPK merupakan marwah dan bumper terdepan KPK dalam penindakan korupsi, khususnya suap korupsi melalui operasi tangkap tangan yang 100 persen memiliki manfaat bagi negara ini. Upaya suatu revisi penyadapan mengenai ketentuan tersebut sama saja mencabut roh dan menghilangkan marwah KPK.

Kedua, mekanisme konstitusional lainnya melalui kelembagaan yudikatif, yaitu membanjirnya proses dan kasus praperadilan yang sebenarnya sebagai suatu kewajaran sepanjang tidak dilakukan secara excessive (berlebihan). Seperti dikatakan Prof Stephen C. Thaman, ahli hukum pidana dari St Louis University dan Harvard Law School, "the formal preliminary investigation, the centerpiece of inquisitorial criminal procedure, is still conducted in secrecy," sehingga memang tidak layak alat bukti diuji keabsahannya dengan sangkaan unsur pidana pada proses pre trial court, seperti halnya praperadilan.

Secara universal, investigating judge yang demikian ini menjadi kewenangan hakim pengadilan yang melakukan pemeriksaan atas perkara pokoknya, bukan hakim praperadilan. Pada kasus Hadi Poernomo, hakim praperadilan menyatakan ketidakabsahan penyelidik/penyidik KPK yang non-Polri sebagai dasar menyatakan ketidakabsahan penetapan tersangka. Hal ini juga menuai perdebatan publik mengenai eksistensi UU KPK.

Penilaian hakim praperadilan atas ketidakabsahan pengangkatan penyelidik dan penyidik yang nonpolisi adalah tidak tepat karena pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK oleh pimpinan KPK (Pasal 43 dan Pasal 45) dalam Peraturan Komisi merupakan otoritas hakim tata usaha negara, mengingat surat pengangkatan tersebut bersifat konkret, individual, dan final. Dampak ini juga akan berakibat terhadap penyidik PPNS yang dibenarkan oleh UU (pajak, lingkungan hidup, pasar modal, OJK, kehutanan, perikanan, dan lainnya), mengingat para penyelidiknya juga non-Polri.

Ketiga, pemberhentian sementara pimpinan KPK sudah menjadi semacam tradisi kepemimpinan KPK melalui Pasal 32 UU KPK. Dalam hal ini, ada keterkaitan dengan sangkaan tindak pidana yang dilakukan sebelum si person memegang jabatan pimpinan, yang kemudian dikenal sebagai kriminalisasi terhadap (pemimpin) KPK.

Dari dua mekanisme konstitusional, baik melalui kelembagaan judisial maupun lembaga eksekutif-legislatif, tampaknya yang akan terjadi bukanlah suatu penguatan kelembagaan KPK, melainkan pelemahan dan tereduksinya kewenangan KPK secara terstruktur. Hal ini justru dapat meniadakan kelembagaan antirasuah ini. Apa yang telah "diperbuat" (facta) KPK, ternyata memiliki keampuhan (kekuatan) daripada sekadar mempermasalahkan kehendak revisi melalui "perkataan" (verbis) saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar