Gelembung Politik DPR
Gun
Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KOMPAS,
08 Juli 2015
Ruang politik kita akhir-akhir ini
disesaki sejumlah isu yang memantik nalar kritis publik atas peran kelompok
elite politisi berlabel wakil rakyat. Utak-atik revisi Undang-Undang KPK yang
berpotensi menjadi pintu masuk pelemahan KPK, akal nakal penggelontoran dana
aspirasi, dan manuver liar tekanan politik kepada KPU soal kesiapan menggelar
pilkada serentak yang dikait-kaitkan dengan hasil audit BPK. Meski beragam
isu itu memiliki dinamikanya sendiri-sendiri, benang merahnya sama, prinsip
bonum commune atau mengedepankan kepentingan umum tersisihkan. Inilah deretan
gelembung isu politik yang ditiupkan DPR dan kini menjadi perhatian publik.
Secara substansial, publik tak memperoleh kemanfaatan nyata dari isu-isu yang
berhamburan itu. Wajar jika banyak yang menilai, DPR berjalan dengan logika
dan kepentingannya sendiri.
Watak
hegemonik
Gelembung politik di DPR
menghadirkan sejumlah kontradiksi. Penentangan datang dari berbagai kalangan
terutama menyangkut logika dan pertimbangan sehat di balik isu dan manuver
para politisi itu. Soal revisi UU KPK, ada lima poin yang dikhawatirkan, soal
pencabutan kewenangan penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan,
pembentukan dewan pengawas KPK, pengetatan rumusan kolektif kolegial, dan
kewenangan menghentikan perkara (SP3).
Soal usulan program pembangunan
daerah pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi, muncul sejumlah gugatan terutama
terkait mekanisme penganggaran, aspek keadilan dan pemerataan, tumpang tindih
peran dan kewenangan, serta akuntabilitas publik pelaksanaan anggaran.
Demikian juga dengan isu soal temuan audit BPK atas pengelolaan anggaran KPU
2013- 2014. Tak ada hubungannya antara temuan BPK itu dan tahapan pilkada
serentak.
Kenyataannya, beberapa politisi
DPR menggulirkan pernyataan di media massa yang menyudutkan KPU. Menurut
mereka, kesiapan menyelenggarakan pilkada serentak bisa saja terganggu jika
KPU belum menindaklanjuti temuan BPK. Logika liar yang seolah sedang
menyatukan puzzle berbeda dalam dialektika kontekstual yang seolah-olah ada
hubungannya.
Gelembung isu ini menunjukkan
lemahnya koherensi karakterologis dalam membangun narasi politik. Dalam
perspektif teori naratif Walter Fisher di bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason,
Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi
adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya. Wajar
kecurigaan publik terhadap politisi DPR teramat tinggi karena ada benang
merah yang terbaca atau terasa sama. Banyak politisi yang jadi aktor lebih
sering menunjukkan kepentingan diri dan kelompoknya daripada kepentingan
rakyat.
Saat ini, ada kecenderungan
terjadinya retrogresi politik atau penurunan kualitas politik yang disebabkan
ulah politisi yang bekerja dengan mekanisme semata-mata mendapatkan jatah
kekuasaan. Selain soal jatah, ada juga mekanisme pertahanan diri dan pengokohan
oligarki di tubuh parpol. Semua ini merupakan watak hegemonik laku politik
kaum elite. Politisi DPR sebagai wakil rakyat seharusnya menghadirkan
komunikasi deliberatif dengan menyodorkan konsultasi, musyawarah, proses
menimbang-nimbang dan terpenting lagi mendengarkan suara rakyat melalui
beragam kanal. Komunikasi deliberatif berupaya meningkatkan intensitas
partisipasi warga negara dalam menyalurkan aspirasinya saat proses
pembentukan kebijakan publik.
Deliberasi lewat diskursus publik
ini jalan tepat guna merealisasikan konsep demokrasi regierung der regierten (pemerintahan oleh yang diperintah).
Dengan demikian, ada kemauan dan kemampuan membentuk konsensus berbasis
rasionalitas warga. Bukan sebaliknya, mereka meniup terus-menerus gelembung
politik, sementara pilihan logika dan tindakannya tercerabut dari aspirasi
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Resonansi
isu
Dalam perspektif komunikasi
politik, guliran isu harus dibaca dialektika kontekstualnya. Hal ini,
terhubung dengan momentum yang memang sengaja diciptakan agar mendapat
resonansi atau gaung di media massa, media sosial dan perbincangan publik
lainnya. Gaung politik yang ditiupkan lewat media massa bahwa revisi UU No
30/2002 tentang KPK merupakan kebutuhan mendesak sehingga harus masuk ke
dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, usulan dana aspirasi yang
dikesankan prorakyat, serta memengaruhi opini soal kesiapan KPU
menyelenggarakan pilkada serentak, bisa kita maknai sebagai permainan opini
publik.
Sebagian besar politisi sangat
paham bahwa hal dominan dalam politik adalah persepsi publik, sehingga
beragam operasi mengendalikan opini dianggap sangat penting. Maxwell McCombs
dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka ”The Agenda Setting Function of Mass Media” yang dipublikasikan Public Opinion Quarterly pada 1972
mengungkapkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, media akan
memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.
Perspektif agenda setting
memandang media massa bisa memengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang
dianggap penting. Namun, nyatanya, upaya para politisi melakukan operasi
pengendalian opini telah gagal! Reaksi publik tetap keras dan memandang
ketiga agenda tadi sesungguhnya tak dalam bingkai prorakyat melainkan strategi
mengamankan diri dan kelompok mereka semata. Konteks lain yang juga menarik
dibaca adalah situasi transisi pemerintahan. Secara faktual, pergantian rezim
kekuasaan dari SBY ke Jokowi masih menyisakan sejumlah persoalan.
Pemerintahan Jokowi-JK belum sampai di titik keseimbangan politiknya. Meski
sudah melewati fase turbulensi saat tinggal landas Kabinet Kerja, Jokowi
masih dihadapkan sejumlah tekanan elite partai di dalam dan di luar koalisi.
Para politisi sangat paham,
situasi acak seperti sekarang, memungkinkan mereka memasang sejumlah jerat
politik atas nama konsensus. Tesis Arend Lijhart dalam Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries (1999) menyebutkan, realitas masyarakat majemuk yang tak ada
partai dominannya, cenderung menggunakan demokrasi model konsensus. Jeratan
konsensus di banyak kasus, selain politik akomodasi dalam koalisi juga upaya
menciptakan zona nyaman kekuasaan. Prinsip ”semua senang, semua menang”
menyebabkan pemerintah tersandera politisi.
Akankah Jokowi mengikuti irama
yang didendangkan DPR? Inilah ujian nyata sekaligus pertaruhan kepemimpinan
Jokowi. Posisi pemerintah sangat strategis. Jika Jokowi tak mengeluarkan
surat yang isinya menugaskan menteri terkait membahas UU tentang KPK dengan
DPR, revisi UU itu tak bisa dibahas meski sudah disetujui DPR dalam rapat
paripurna. Jokowi harus konsisten dengan pernyataannya yang menolak rencana
revisi UU KPK. Demikian juga soal dana aspirasi. Pemerintah masih mungkin
menolak dengan tak mengakomodasi program ini dalam APBN 2016.
Sesuai dengan sifatnya, gelembung
selalu menampakkan banyak isu yang seolah-olah realitas nyata. Saat kita
serius menggapainya, gelembung itu sirna, pecah dalam tempo sesaat atau
berganti dengan tiupan gelembung lain yang lebih besar. Butuh ketepatan dan
kecermatan memilah antara kebijakan prorakyat dan gelembung politik para
politisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar