Kamis, 09 Juli 2015

Gelembung Politik DPR

Gelembung Politik DPR

   Gun Gun Heryanto  ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
                                                           KOMPAS, 08 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ruang politik kita akhir-akhir ini disesaki sejumlah isu yang memantik nalar kritis publik atas peran kelompok elite politisi berlabel wakil rakyat. Utak-atik revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi menjadi pintu masuk pelemahan KPK, akal nakal penggelontoran dana aspirasi, dan manuver liar tekanan politik kepada KPU soal kesiapan menggelar pilkada serentak yang dikait-kaitkan dengan hasil audit BPK. Meski beragam isu itu memiliki dinamikanya sendiri-sendiri, benang merahnya sama, prinsip bonum commune atau mengedepankan kepentingan umum tersisihkan. Inilah deretan gelembung isu politik yang ditiupkan DPR dan kini menjadi perhatian publik. Secara substansial, publik tak memperoleh kemanfaatan nyata dari isu-isu yang berhamburan itu. Wajar jika banyak yang menilai, DPR berjalan dengan logika dan kepentingannya sendiri.

Watak hegemonik

Gelembung politik di DPR menghadirkan sejumlah kontradiksi. Penentangan datang dari berbagai kalangan terutama menyangkut logika dan pertimbangan sehat di balik isu dan manuver para politisi itu. Soal revisi UU KPK, ada lima poin yang dikhawatirkan, soal pencabutan kewenangan penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan, pembentukan dewan pengawas KPK, pengetatan rumusan kolektif kolegial, dan kewenangan menghentikan perkara (SP3).

Soal usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi, muncul sejumlah gugatan terutama terkait mekanisme penganggaran, aspek keadilan dan pemerataan, tumpang tindih peran dan kewenangan, serta akuntabilitas publik pelaksanaan anggaran. Demikian juga dengan isu soal temuan audit BPK atas pengelolaan anggaran KPU 2013- 2014. Tak ada hubungannya antara temuan BPK itu dan tahapan pilkada serentak.

Kenyataannya, beberapa politisi DPR menggulirkan pernyataan di media massa yang menyudutkan KPU. Menurut mereka, kesiapan menyelenggarakan pilkada serentak bisa saja terganggu jika KPU belum menindaklanjuti temuan BPK. Logika liar yang seolah sedang menyatukan puzzle berbeda dalam dialektika kontekstual yang seolah-olah ada hubungannya.

Gelembung isu ini menunjukkan lemahnya koherensi karakterologis dalam membangun narasi politik. Dalam perspektif teori naratif Walter Fisher di bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya. Wajar kecurigaan publik terhadap politisi DPR teramat tinggi karena ada benang merah yang terbaca atau terasa sama. Banyak politisi yang jadi aktor lebih sering menunjukkan kepentingan diri dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat.

Saat ini, ada kecenderungan terjadinya retrogresi politik atau penurunan kualitas politik yang disebabkan ulah politisi yang bekerja dengan mekanisme semata-mata mendapatkan jatah kekuasaan. Selain soal jatah, ada juga mekanisme pertahanan diri dan pengokohan oligarki di tubuh parpol. Semua ini merupakan watak hegemonik laku politik kaum elite. Politisi DPR sebagai wakil rakyat seharusnya menghadirkan komunikasi deliberatif dengan menyodorkan konsultasi, musyawarah, proses menimbang-nimbang dan terpenting lagi mendengarkan suara rakyat melalui beragam kanal. Komunikasi deliberatif berupaya meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam menyalurkan aspirasinya saat proses pembentukan kebijakan publik.

Deliberasi lewat diskursus publik ini jalan tepat guna merealisasikan konsep demokrasi regierung der regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Dengan demikian, ada kemauan dan kemampuan membentuk konsensus berbasis rasionalitas warga. Bukan sebaliknya, mereka meniup terus-menerus gelembung politik, sementara pilihan logika dan tindakannya tercerabut dari aspirasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Resonansi isu

Dalam perspektif komunikasi politik, guliran isu harus dibaca dialektika kontekstualnya. Hal ini, terhubung dengan momentum yang memang sengaja diciptakan agar mendapat resonansi atau gaung di media massa, media sosial dan perbincangan publik lainnya. Gaung politik yang ditiupkan lewat media massa bahwa revisi UU No 30/2002 tentang KPK merupakan kebutuhan mendesak sehingga harus masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, usulan dana aspirasi yang dikesankan prorakyat, serta memengaruhi opini soal kesiapan KPU menyelenggarakan pilkada serentak, bisa kita maknai sebagai permainan opini publik.

Sebagian besar politisi sangat paham bahwa hal dominan dalam politik adalah persepsi publik, sehingga beragam operasi mengendalikan opini dianggap sangat penting. Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka ”The Agenda Setting Function of Mass Media” yang dipublikasikan Public Opinion Quarterly pada 1972 mengungkapkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Perspektif agenda setting memandang media massa bisa memengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Namun, nyatanya, upaya para politisi melakukan operasi pengendalian opini telah gagal! Reaksi publik tetap keras dan memandang ketiga agenda tadi sesungguhnya tak dalam bingkai prorakyat melainkan strategi mengamankan diri dan kelompok mereka semata. Konteks lain yang juga menarik dibaca adalah situasi transisi pemerintahan. Secara faktual, pergantian rezim kekuasaan dari SBY ke Jokowi masih menyisakan sejumlah persoalan. Pemerintahan Jokowi-JK belum sampai di titik keseimbangan politiknya. Meski sudah melewati fase turbulensi saat tinggal landas Kabinet Kerja, Jokowi masih dihadapkan sejumlah tekanan elite partai di dalam dan di luar koalisi.

Para politisi sangat paham, situasi acak seperti sekarang, memungkinkan mereka memasang sejumlah jerat politik atas nama konsensus. Tesis Arend Lijhart dalam Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan, realitas masyarakat majemuk yang tak ada partai dominannya, cenderung menggunakan demokrasi model konsensus. Jeratan konsensus di banyak kasus, selain politik akomodasi dalam koalisi juga upaya menciptakan zona nyaman kekuasaan. Prinsip ”semua senang, semua menang” menyebabkan pemerintah tersandera politisi.

Akankah Jokowi mengikuti irama yang didendangkan DPR? Inilah ujian nyata sekaligus pertaruhan kepemimpinan Jokowi. Posisi pemerintah sangat strategis. Jika Jokowi tak mengeluarkan surat yang isinya menugaskan menteri terkait membahas UU tentang KPK dengan DPR, revisi UU itu tak bisa dibahas meski sudah disetujui DPR dalam rapat paripurna. Jokowi harus konsisten dengan pernyataannya yang menolak rencana revisi UU KPK. Demikian juga soal dana aspirasi. Pemerintah masih mungkin menolak dengan tak mengakomodasi program ini dalam APBN 2016.

Sesuai dengan sifatnya, gelembung selalu menampakkan banyak isu yang seolah-olah realitas nyata. Saat kita serius menggapainya, gelembung itu sirna, pecah dalam tempo sesaat atau berganti dengan tiupan gelembung lain yang lebih besar. Butuh ketepatan dan kecermatan memilah antara kebijakan prorakyat dan gelembung politik para politisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar