Jumat, 10 Juli 2015

Sekolah Indonesia dan Diplomasi RI

Sekolah Indonesia dan Diplomasi RI

   Djoko Susilo  ;  Dubes RI di Swiss 2010–2014
                                                         JAWA POS, 08 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KBRI Yangon bukanlah kantor perwakilan RI yang besar, meski mewakili pemerintah di salah satu negara ASEAN. Hanya ada enam home staff, termasuk Duta Besar Ito Sumardi dan seorang atase pertahanan. Meski demikian, KBRI Yangon mempunyai kontribusi besar bagi perjuangan diplomasi RI karena memiliki: Sekolah Indonesia.

Berbeda dengan sekolah Indonesia di beberapa negara lain, khususnya di Eropa yang banyak ditutup atau di negara lain di kawasan ASEAN yang kondisinya seperti mati segan tapi hidup pun tak mau, Sekolah Indonesia makin berjaya dan menjadi sekolah favorit di Myanmar. Sekolah itu memiliki hampir 600 murid yang hampir 90 persen bukan WNI alias warga Myanmar dan warga asing lain di Yangon. Di antara lebih dari separo murid Sekolah Indonesia yang merupakan warga Myanmar, hampir separonya adalah anak keluarga pejabat tinggi negara itu.

Sekolah Indonesia Myanmar mempunyai jenjang pendidikan mulai tingkat TK sampai SMA. Sekolah tersebut menjadi favorit karena –selain belajar dalam bahasa Myanmar, Inggris, dan Indonesia– pelajar diberi pendidikan agama. Yang beragama Islam, baik WNI maupun Myanmar, juga diberi pendidikan agama Islam. Yang beragama Buddha atau Kristen juga diberi pelajaran sesuai dengan agama yang dianut mereka. Hal tersebut sangat menggembirakan orang tua murid di Myanmar. Meski mayoritas penduduk negara itu beragama Buddha, tidak ada pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta lainnya.

Itulah yang membuat warga Myanmar percaya dengan menyekolahkan anak mereka di Sekolah Indonesia. Selain pendidikan umum yang baik, mereka mendapat pelajaran agama yang baik. Karena itu, setiap awal tahun seperti ini, sekolah terpaksa menolak sejumlah calon murid karena daya tampung yang tidak mencukupi.

Untuk meningkatkan kualitas dan fasilitas, Dubes Ito Sumardi terus berusaha memberikan dukungan maksimal, baik melalui jalur pemerintahan maupun swasta. Salah satu rencana besarnya adalah mendirikan masjid di lingkungan kompleks sekolahan, selain untuk warga masyarakat Indonesia, juga untuk pelajar yang beragama Islam atau warga lain.

Dengan demikian, sekolah maupun masjid akan menjadi sarana diplomasi publik yang efektif. Para pelajar setingkat SMP umumnya sudah lancar berbahasa Indonesia. Bahkan banyak yang suka menyanyikan lagu-lagu Indonesia ala Slank atau penyanyi pop lain. Tentu saja tarian klasik seperti tari saman dan tari Jawa atau Bali dikuasai dengan baik.

Bisa dikatakan, Sekolah Indonesia telah menjadi pusat pendidikan dasar para calon intelektual, bisnis maupun pemimpin bangsa Myanmar, yang punya hubungan khusus dan bersahabat baik dengan Indonesia. Beberapa perguruan tinggi seperti UGM atau UI sudah memiliki kerja sama yang baik. Lulusan sekolah Indonesia di Yangon bisa mendaftar karena dijamin sudah bisa berbahasa Indonesia dan mempunyai kemampuan akademik yang memadai. 
Menurut Gufron, kepala Sekolah Indonesia di Yangon, kualitas pendidikan yang dimiliki sekolah yang dipimpinnya setara atau bahkan lebih unggul dari sekolah milik asing di Myanmar, meski SPP-nya sangat murah.

Bagi mantan diplomat atau anggota Komisi I DPR seperti saya, Sekolah Indonesia itu ibarat oase di tengah keringnya diplomasi publik RI. Bisa dikatakan, selama ini diplomasi publik RI kering dengan terobosan gagasan maupun kegiatan. Bahkan, di banyak negara, karena minimnya dukungan dana, kegiatan diplomasi publik macet atau tidak bisa berkembang sama sekali.

Diplomasi RI tidak hanya terhambat kurangnya dana, tetapi juga kurangnya perhatian kepada masalahmasalah nonpolitik. Bisa dimaklumi, masalahnya, diplomat RI sudah lama dikurung dalam kotak sempit urusan politik. Sangat benar jika pada awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi sempat mengingatkan para diplomat agar tidak terlalu berfokus pada urusan politik saja, tetapi juga harus mengembangkan dan mendukung kepentingan ekonomi dan sosial budaya bangsa.

Harapan presiden itu, tampaknya, masih agak lama bisa diwujudkan. Sebab, yang menjadi ’’bintang’’ di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) umumnya adalah mereka yang bertahun-tahun berkecimpung di dunia politik. Mereka akan merasa menggapai puncak jika ditempatkan di PTRI New York atau PTRI di Jenewa. Baik di level duta besar atau level junior setingkat sekretaris III. Para diplomat merasa bangga kalau ditempatkan di dua pos tersebut. Penempatan di direktorat yang membidangi ekonomi atau diplomasi publik dianggap kurang bergengsi.

Persoalan di Kemenlu menjadi makin akut karena selain kekurangan dana, para pejabat tinggi Kemenlu tidak mempunyai political leverage atau bargaining politic dengan instansi lain. Penyebab utamanya, pejabat tinggi Kemenlu, termasuk para duta besarnya, terdidik sebagai birokrat PNS yang sudah biasa tunduk pada perintah. Mereka sudah biasa nrimo ing pandum dan tidak berusaha memperjuangkan hak serta nasib dengan maksimal. Bahkan, pada masa kepemimpinan Marty Natalegawa, seluruh pejabat tinggi dilarang berhubungan dengan DPR atau Kementerian Keuangan dengan tujuan lobi.

Meski Menlu Retno telah berusaha memperbaiki keadaan, karena kerusakan yang terjadi sudah sangat parah, dibutuhkan kerja ekstrakeras untuk memulihkan kemampuan diplomasi Kemenlu selevel di masa kepemimpinan Hassan Wirajuda. Diplomasi publik, budaya, dan ekonomi yang dulu menjadi andalan harus dipulihkan dan didukung habis-habisan.

Hanya dengan cara demikian, kerja keras Dubes Ito Sumardi serta para guru di Sekolah Indonesia Myanmar akan membuahkan hasil lebih baik. Dubes Ito akan mengakhiri tugasnya dengan bangga karena Indonesia makin berjaya dan dikagumi bukan karena kiprah politiknya saja, tetapi juga karena peran pendidikan serta budayanya. Seyogianya Mendikbud Anies Baswedan juga menaruh perhatian terhadap masalah diplomasi pendidikan dan budaya ini. Jangan biarkan KBRI Yangon berjuang sendiri tanpa dukungan memadai dari pemerintah RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar