Kamis, 09 Juli 2015

Reshuffle Kabinet, Semoga Kita Tidak Mendengar Suara Tokek

Reshuffle Kabinet,

Semoga Kita Tidak Mendengar Suara Tokek

   M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 07 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Isu perombakan kabinet (reshuffle) selalu menjadi wacana seksi di era presiden siapa pun juga. Sebab, selalu ada dua reaksi: ada yang ketar-ketir karena terancam diganti, tetapi ada yang berbunga-bunga karena berharap ditelepon presiden untuk menempati posisi menteri yang dicopot itu.

Dan, reshuffle kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla nyatanya menjadi konsumsi lebih luas lagi, setelah sekitar sembilan bulan sejak pelantikan pada Oktober 2014. Tidak hanya di suprastruktur di kalangan elite politik, tetapi juga di akar rumput di pojok-pojok warung kopi.

Sinyal reshuffle kabinet memang tampak jelas, termasuk disampaikan Presiden sendiri. Pasalnya, ketidakpuasan terhadap kinerja sejumlah menteri kabinet periode 2014-2019 ini mungkin sudah sampai taraf ubun-ubun.

Sejak beberapa bulan belakangan ini, tidak sedikit menteri yang ditengarai kinerjanya tidak perform. Presiden pun sudah punya rapor masing-masing menteri. Banyak menteri memang "tidak bunyi" juga.

Koordinasi antarlembaga saja lemah, bagaimana mampu mewujudkan program di lapangan secara optimal. Bahkan, ada menteri yang diduga insubordinasi terhadap Presiden. Politisi PDI-P, partai pendukung pemerintah, bahkan mencak-mencak, mendesak Presiden Jokowi agar mencopot menteri yang diduga mengata-katai Presiden tersebut.

Ekonomi lesu

Paling runyam adalah kinerja menteri-menteri di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun 2015 sekarang ini hanya mampu 4,7 persen. Kondisi tersebut jauh sekali dibandingkan periode sama tahun-tahun sebelumnya.

Ekonomi benar-benar lesu. Di berbagai pertemuan, bahkan sampai acara arisan di lingkungan komunitas pun, kelesuan ekonomi menjadi keresahan publik. Karena itu, Kelesuan ekonomi tak bisa dianggap sebagai hal biasa saja.

Pengalaman buruk paling mutakhir adalah Yunani. Negara yang memiliki sejarah dan peradaban sangat panjang itu menjadi negara maju pertama yang bangkrut. Yunani gagal membayar utang ke Dana Moneter Internasional (IMF). Maka, kelesuan ekonomi adalah sinyal.
Tak bisa dijadikan apologia karena kondisi ekonomi global juga tengah melemah. Sebab, kebangkrutan adalah kegagalan dalam mengurus negara. Hanya orang-orang bodoh dan tidak bertanggung jawab yang mau menjerumuskan negerinya dalam jurang kehancuran.

Maka, sangat menarik saat Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) memberi saran kepada Presiden Jokowi. "Kami memberikan pertimbangan dan nasihat bagaimana memperbaiki kinerja ekonomi kita. Kita harus bangkit lagi dan stabilitas ekonomi kita bisa terjaga. Meningkatkan ekonomi agar bisa kompetitif itu hal yang harus dilakukan pemerintah," tutur Ketua Wantimpres Sri Adiningsih seusai bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Senin (6/7).

Lalu, mungkinkah menteri-menteri ekonomi diganti? Jika melihat kondisi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, penyegaran menteri-menteri di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya menjadi sangat mendesak. Apalagi prestasi menteri seharusnya berbasis kinerja, bukan semata berakar relasi politis.

Memang, jalur menteri dikenal lewat partai politik dan kelompok profesional. Namun, menjadi tidak relevan lagi kalau ukuran-ukuran itu tetap dipertahankan. Misalnya, banyak yang menduga Presiden tidak akan berani mencopot menteri-menteri yang berasal dari parpol karena hal itu akan menjadi ancaman terhadap posisi Presiden sendiri. Ada asumsi menyatakan, apabila Presiden mencopot menteri-menteri yang berasal dari parpol, sama saja dengan menggergaji kakinya sendiri.

Suara-suara seperti itu pasti menjadi tekanan dan ancaman terhadap Presiden. Apalagi dikabarkan bahwa Presiden dan Wapres belum tentu sepandangan dalam isu reshuffle. Misalnya ada menteri yang mau dicopot oleh Presiden, tetapi justru ditolak oleh Wapres. Atau bisa terjadi sebaliknya. Karena, sudah menjadi rahasia umum jika ada menteri-menteri yang dikenal "orang presiden", "orang wapres", "orang partai", dan lain-lain.

Peta politik bisa berubah

Memang menjadi tidak mudah tatkala presiden berada di antara kekuatan-kekuatan politik lain. Ini konsekuensi ketika presiden bukanlah ketua partai dan bukan pemilik mayoritas suara. Apalagi cap sangat sinikal sebagai "petugas partai" kerap keluar dari PDI-P, yang sebetulnya tidak pada tempatnya lagi. Padahal, Presiden Jokowi selama ini harus benar-benar kuat menghadapi tekanan aksi-aksi manuver Koalisi Merah Putih yang menguasai parlemen, yang sering kali membuat program pemerintah tidak berjalan mulus. Namun dalam takaran tertentu, Presiden Jokowi juga sering diusik oleh gerakan-gerakan di internal Koalisi Indonesia Hebat.

Jadi, ada benarnya juga ketika terjadi reshuffle, Presiden Jokowi diminta menyiapkan tempat untuk KMP. PDI-P juga yang justru mewacanakan politisi KMP supaya dapat masuk kabinet. Pada Jumat (3/7), Wakil Sekjen PDI-P Ahmad Basarah menyampaikan usulan reshuffle kabinet kepada Presiden Jokowi.

"Presiden harus berusaha agar menteri-menteri jajaran parpol di luar KIH itu dapat ditarik masuk kabinet untuk membangun pemerintahan," kata Basarah. Tentu ini alasan praktis agar pemerintah tidak lagi mendapat gangguan. Peta politik relasi eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) kemungkinan berubah.

Setidaknya perlawanan parlemen tidak sesengit ketika KMP tidak mendapat posisi sama sekali di pemerintahan (kabinet). Namun, alasan substantifnya adalah saatnya membangun negeri ini secara bersama-sama, bahu-membahu, gotong royong. Bagaimana pun tidak elok rasanya mengurus negeri besar ini hanya diisi dengan saling tuding dan saling ganggu. Terlalu pandir rasanya jika tetap melanggengkan perseteruan di era Pilpres 2014.

Lantas, apakah jadi reshuffle kabinet? Sekarang masih suasana Ramadhan dan baru saja kita ditimpa bencana jatuhnya pesawat Hercules di Medan yang membuat bangsa ini berduka.

Bisa jadi setelah Lebaran, reshuffle menteri-menteri benar-benar dilakukan. Hanya saja Presiden Jokowi perlu diingatkan bahwa reshuffle tidak hanya di tingkat menteri, tetapi juga di sejumlah tingkatan yang dinilai tidak cakap di posisinya.

Contohnya di staf kepresidenan. Bagaimana mungkin kesalahan terjadi berulang-ulang? Masak presiden harus menarik atau merevisi lagi peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang diteken sendiri. Di sini dibutuhkan staf kepresidenan yang mumpuni di bidangnya.

Oleh karena itu, Presiden harus benar-benar mengevaluasi semua lini dan tingkatan. Jabatan menteri atau posisi-posisi strategis negeri ini benar-benar diisi orang-orang yang mau bekerja keras, tangguh, pantang menyerah, cakap, dan kredibel, serta berintegritas tinggi.

Tidak ada tempat bagi mereka yang tidak cakap dan tidak kredibel, apalagi cuma ikut ngegandoli. Saya jadi teringat integritas menteri-menteri di era perjuangan dulu. Ketika Moh Hatta memimpin Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949-September 1950), kesulitan luar biasa berada di depan mata, terutama di bidang moneter. Dan, untuk pertama kali pula menteri-menteri menata administrasi untuk seluruh Tanah Air, terkecuali Irian Barat yang masih dikuasai Belanda.

"Para menteri harus menjalankan administrasi bagi seluruh negara dalam keadaan serba sulit. Padahal, mereka bukanlah orang-orang yang berpengalaman dalam menjalankan pemerintahan. Namun, kekurangan pengalaman itu diisi dengan akal dan keberanian moral, dilandasi kejujuran dan kesungguhan hati" (Wilopo 70 Tahun, 1979).

Itulah gambaran keseriusan tokoh-tokoh bangsa mengurus negeri ini di awal-awal kemerdekaan. Kini, tahun 2015, 65 tahun berlalu sudah. Namun, semangat, kerja keras, dan kesungguhan hati untuk mengurus negeri ini tidak boleh kendur.

Bahkan, seharusnya lebih meluap-luap lagi agar negeri ini bisa maju dan makmur. Karena itu, dibutuhkan orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk negara ini secara sungguh-sungguh. Pertimbangan itulah yang sepatutnya menjadi acuan ketika reshuffle nanti. Semoga saja kita tidak mendengar suara tokek..., tekek... tekek... tekek....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar