Reshuffle Kabinet,
Semoga Kita Tidak Mendengar Suara Tokek
M
Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 07 Juli 2015
Isu perombakan kabinet (reshuffle) selalu menjadi wacana seksi
di era presiden siapa pun juga. Sebab, selalu ada dua reaksi: ada yang
ketar-ketir karena terancam diganti, tetapi ada yang berbunga-bunga karena
berharap ditelepon presiden untuk menempati posisi menteri yang dicopot itu.
Dan, reshuffle kabinet
pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla nyatanya menjadi
konsumsi lebih luas lagi, setelah sekitar sembilan bulan sejak pelantikan
pada Oktober 2014. Tidak hanya di suprastruktur di kalangan elite politik,
tetapi juga di akar rumput di pojok-pojok warung kopi.
Sinyal reshuffle kabinet memang
tampak jelas, termasuk disampaikan Presiden sendiri. Pasalnya, ketidakpuasan
terhadap kinerja sejumlah menteri kabinet periode 2014-2019 ini mungkin sudah
sampai taraf ubun-ubun.
Sejak beberapa bulan belakangan
ini, tidak sedikit menteri yang ditengarai kinerjanya tidak perform. Presiden
pun sudah punya rapor masing-masing menteri. Banyak menteri memang
"tidak bunyi" juga.
Koordinasi antarlembaga saja
lemah, bagaimana mampu mewujudkan program di lapangan secara optimal. Bahkan,
ada menteri yang diduga insubordinasi terhadap Presiden. Politisi PDI-P,
partai pendukung pemerintah, bahkan mencak-mencak, mendesak Presiden Jokowi
agar mencopot menteri yang diduga mengata-katai Presiden tersebut.
Ekonomi
lesu
Paling runyam adalah kinerja
menteri-menteri di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun
2015 sekarang ini hanya mampu 4,7 persen. Kondisi tersebut jauh sekali
dibandingkan periode sama tahun-tahun sebelumnya.
Ekonomi benar-benar lesu. Di
berbagai pertemuan, bahkan sampai acara arisan di lingkungan komunitas pun,
kelesuan ekonomi menjadi keresahan publik. Karena itu, Kelesuan ekonomi tak
bisa dianggap sebagai hal biasa saja.
Pengalaman buruk paling mutakhir
adalah Yunani. Negara yang memiliki sejarah dan peradaban sangat panjang itu
menjadi negara maju pertama yang bangkrut. Yunani gagal membayar utang ke
Dana Moneter Internasional (IMF). Maka, kelesuan ekonomi adalah sinyal.
Tak bisa dijadikan apologia karena
kondisi ekonomi global juga tengah melemah. Sebab, kebangkrutan adalah
kegagalan dalam mengurus negara. Hanya orang-orang bodoh dan tidak
bertanggung jawab yang mau menjerumuskan negerinya dalam jurang kehancuran.
Maka, sangat menarik saat Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) memberi saran kepada Presiden Jokowi.
"Kami memberikan pertimbangan dan nasihat bagaimana memperbaiki kinerja
ekonomi kita. Kita harus bangkit lagi dan stabilitas ekonomi kita bisa
terjaga. Meningkatkan ekonomi agar bisa kompetitif itu hal yang harus
dilakukan pemerintah," tutur Ketua Wantimpres Sri Adiningsih seusai
bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Senin (6/7).
Lalu, mungkinkah menteri-menteri
ekonomi diganti? Jika melihat kondisi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri,
penyegaran menteri-menteri di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya
menjadi sangat mendesak. Apalagi prestasi menteri seharusnya berbasis
kinerja, bukan semata berakar relasi politis.
Memang, jalur menteri dikenal
lewat partai politik dan kelompok profesional. Namun, menjadi tidak relevan
lagi kalau ukuran-ukuran itu tetap dipertahankan. Misalnya, banyak yang
menduga Presiden tidak akan berani mencopot menteri-menteri yang berasal dari
parpol karena hal itu akan menjadi ancaman terhadap posisi Presiden sendiri.
Ada asumsi menyatakan, apabila Presiden mencopot menteri-menteri yang berasal
dari parpol, sama saja dengan menggergaji kakinya sendiri.
Suara-suara seperti itu pasti
menjadi tekanan dan ancaman terhadap Presiden. Apalagi dikabarkan bahwa
Presiden dan Wapres belum tentu sepandangan dalam isu reshuffle. Misalnya ada
menteri yang mau dicopot oleh Presiden, tetapi justru ditolak oleh Wapres.
Atau bisa terjadi sebaliknya. Karena, sudah menjadi rahasia umum jika ada
menteri-menteri yang dikenal "orang presiden", "orang
wapres", "orang partai", dan lain-lain.
Peta
politik bisa berubah
Memang menjadi tidak mudah tatkala
presiden berada di antara kekuatan-kekuatan politik lain. Ini konsekuensi
ketika presiden bukanlah ketua partai dan bukan pemilik mayoritas suara.
Apalagi cap sangat sinikal sebagai "petugas partai" kerap keluar
dari PDI-P, yang sebetulnya tidak pada tempatnya lagi. Padahal, Presiden
Jokowi selama ini harus benar-benar kuat menghadapi tekanan aksi-aksi manuver
Koalisi Merah Putih yang menguasai parlemen, yang sering kali membuat program
pemerintah tidak berjalan mulus. Namun dalam takaran tertentu, Presiden
Jokowi juga sering diusik oleh gerakan-gerakan di internal Koalisi Indonesia
Hebat.
Jadi, ada benarnya juga ketika
terjadi reshuffle, Presiden Jokowi diminta menyiapkan tempat untuk KMP. PDI-P
juga yang justru mewacanakan politisi KMP supaya dapat masuk kabinet. Pada
Jumat (3/7), Wakil Sekjen PDI-P Ahmad Basarah menyampaikan usulan reshuffle
kabinet kepada Presiden Jokowi.
"Presiden harus berusaha agar
menteri-menteri jajaran parpol di luar KIH itu dapat ditarik masuk kabinet
untuk membangun pemerintahan," kata Basarah. Tentu ini alasan praktis
agar pemerintah tidak lagi mendapat gangguan. Peta politik relasi eksekutif
(pemerintah) dan legislatif (DPR) kemungkinan berubah.
Setidaknya perlawanan parlemen
tidak sesengit ketika KMP tidak mendapat posisi sama sekali di pemerintahan
(kabinet). Namun, alasan substantifnya adalah saatnya membangun negeri ini
secara bersama-sama, bahu-membahu, gotong royong. Bagaimana pun tidak elok
rasanya mengurus negeri besar ini hanya diisi dengan saling tuding dan saling
ganggu. Terlalu pandir rasanya jika tetap melanggengkan perseteruan di era
Pilpres 2014.
Lantas, apakah jadi reshuffle
kabinet? Sekarang masih suasana Ramadhan dan baru saja kita ditimpa bencana
jatuhnya pesawat Hercules di Medan yang membuat bangsa ini berduka.
Bisa jadi setelah Lebaran,
reshuffle menteri-menteri benar-benar dilakukan. Hanya saja Presiden Jokowi
perlu diingatkan bahwa reshuffle tidak hanya di tingkat menteri, tetapi juga
di sejumlah tingkatan yang dinilai tidak cakap di posisinya.
Contohnya di staf kepresidenan.
Bagaimana mungkin kesalahan terjadi berulang-ulang? Masak presiden harus
menarik atau merevisi lagi peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang
diteken sendiri. Di sini dibutuhkan staf kepresidenan yang mumpuni di
bidangnya.
Oleh karena itu, Presiden harus
benar-benar mengevaluasi semua lini dan tingkatan. Jabatan menteri atau
posisi-posisi strategis negeri ini benar-benar diisi orang-orang yang mau
bekerja keras, tangguh, pantang menyerah, cakap, dan kredibel, serta
berintegritas tinggi.
Tidak ada tempat bagi mereka yang
tidak cakap dan tidak kredibel, apalagi cuma ikut ngegandoli. Saya jadi teringat integritas menteri-menteri di era
perjuangan dulu. Ketika Moh Hatta memimpin Kabinet Republik Indonesia Serikat
(Desember 1949-September 1950), kesulitan luar biasa berada di depan mata,
terutama di bidang moneter. Dan, untuk pertama kali pula menteri-menteri
menata administrasi untuk seluruh Tanah Air, terkecuali Irian Barat yang
masih dikuasai Belanda.
"Para menteri harus
menjalankan administrasi bagi seluruh negara dalam keadaan serba sulit.
Padahal, mereka bukanlah orang-orang yang berpengalaman dalam menjalankan
pemerintahan. Namun, kekurangan pengalaman itu diisi dengan akal dan
keberanian moral, dilandasi kejujuran dan kesungguhan hati" (Wilopo 70
Tahun, 1979).
Itulah gambaran keseriusan
tokoh-tokoh bangsa mengurus negeri ini di awal-awal kemerdekaan. Kini, tahun
2015, 65 tahun berlalu sudah. Namun, semangat, kerja keras, dan kesungguhan hati
untuk mengurus negeri ini tidak boleh kendur.
Bahkan, seharusnya lebih
meluap-luap lagi agar negeri ini bisa maju dan makmur. Karena itu, dibutuhkan
orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk negara ini secara
sungguh-sungguh. Pertimbangan itulah yang sepatutnya menjadi acuan ketika
reshuffle nanti. Semoga saja kita tidak mendengar suara tokek..., tekek...
tekek... tekek.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar