Jabatan Komisioner KPK
Eddy
OS Hiariej ; Guru
Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
08 Juli 2015
Saat ini, Pasal 32 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Secara eksplisit pasal tersebut
menyatakan, ”Dalam hal pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan,
diberhentikan sementara dari jabatannya.” Pasal tersebut dianggap
bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 32 Ayat (2)
undang-undang ini cukup rentan terhadap siapa pun yang menjabat komisioner
KPK untuk dicari-dicari kesalahannya.
Heijder dalam Kritieke Zones In De Strafrechtswetenschappen menulis, antara
lain, bahwa metodologi dari ilmu hukum modern harus memiliki perhatian yang
besar untuk hal-hal yang nyata ada. Salah satu fase pemikiran hukum pidana
yang sangat fundamental, kata Heijder, adalah refleksi filsafati. Fase
pemikiran ini menjadi penting dalam rangka penyusunan dan pembentukan suatu
aturan hukum agar tidak menyimpang dari tujuan dan fungsi aturan hukum itu
sendiri.
Konsep
perlindungan hukum
Pembentukan suatu ketentuan pidana
secara mutatis mutandis harus
bersinergi dengan tujuan dan fungsi hukum pidana itu sendiri. Tujuan hukum
pidana, selain melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan
negara, juga bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini
berpegang pada postulat le salut du
people est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah
perlindungan. Sementara fungsi hukum pidana, selain melindungi kepentingan
hukum, juga memberi keabsahan bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi
melindungi kepentingan hukum.
Konsep perlindungan hukum dalam
konteks hukum pidana dapat dilihat secara in
abstracto dan in concreto.
Perlindungan in abstracto
mengandung makna substansi suatu kaidah hukum haruslah memberikan
perlindungan. Sementara perlindungan hukum in concreto mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum harus
memberikan perlindungan.
Paling tidak ada dua parameter
yang dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan apakah perlindungan hukum in abstracto dikandung oleh suatu
norma hukum. Pertama, apakah suatu norma menjamin kepastian hukum. Kedua,
apakah suatu norma bersifat diskriminatif. Kedua parameter tersebut bersifat
kumulatif. Artinya, jika salah satu saja parameter tidak terpenuhi, dapat
dikatakan bahwa norma hukum tersebut tidak memberikan perlindungan secara in
abstracto.
Ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 tidaklah memberikan perlindungan hukum secara
in abstracto terhadap komisioner KPK karena tidak memberikan kepastian hukum
dan bersifat diskriminatif. Dasar argumentasinya adalah, pertama, penetapan
tersangka berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP hanyalah berdasarkan bukti
permulaan. Oleh karena itu, komisioner yang berstatus sebagai tersangka harus
tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila seseorang komisioner sebagai
tersangka harus diberhentikan dari jabatannya, hal ini melanggar asas praduga
tidak bersalah. Terlebih jika penetapan komisioner sebagai tersangka itu
dilakukan atas dugaan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum orang tersebut
menjadi pimpinan KPK.
Kedua, masih berkaitan dengan
kepastian hukum, seyogianya pasal ini ditafsirkan secara restriktif bahwa
pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan
sementara dari jabatannya jika dan hanya jika kejahatan tersebut dilakukan
pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai pimpinan KPK. Interpretasi yang
demikian adalah logis-sistematis-historikal, sebab untuk menjabat pimpinan
KPK melalui seleksi berjenjang yang sangat ketat dengan melibatkan
partisipasi publik. Tentunya rekam jejak orang tersebut juga ditelusuri. Jika
orang tersebut memiliki masalah hukum, semestinya panitia seleksi dan DPR
tidak memilih yang bersangkutan sebagai pimpinan KPK.
Ketiga, anak kalimat yang
menyatakan, ”...menjadi tersangka tindak pidana kejahatan...” dalam pasal ini
bersifat diskriminatif jika dibandingkan sejumlah ketentuan perundang-undangan
yang mengatur pemberhentian terhadap pejabat publik yang diduga melakukan
suatu tindak pidana. Tak ada pembatasan terkait tindak pidana kejahatan dalam
pasal ini membawa konsekuensi tindak pidana kejahatan apa pun yang dilakukan
oleh pimpinan KPK dan yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka harus
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Sebagai misal, kalau seorang
pimpinan KPK tidak memberi makan hewan piaraannya secara wajar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 302 KUHP, dan kemudian dijadikan tersangka, maka yang
bersangkutan harus diberhentikan sementara dari pimpinan KPK karena Pasal 302
KUHP tersebut terdapat dalam Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana kejahatan
meskipun hanya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan.
Bandingkan dengan ketentuan Pasal
7A UUD 1945 yang mengatur secara rinci kualifikasi tindak pidana yang dapat
digunakan untuk memberhentikan seorang presiden dan wakil presiden, yakni
hanya tindak pidana pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan
tindak pidana berat lainnya. Demikian pula ketentuan terhadap anggota Badan
Pemeriksa Keuangan dan anggota Komisi Yudisial yang diberhentikan karena
melakukan suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Perbedaan lain
juga jelas terlihat dalam UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan kepala
daerah diberhentikan sementara jika yang bersangkutan berstatus sebagai
terdakwa tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana
terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah
NKRI. Perbedaan pengaturan demikian menunjukkan adanya diskriminasi karena
tidak ada perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Seyogianya harus ada pembatasan
terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan. Lazimnya hanya sebatas
tindak pidana korupsi, terorisme, pelanggaran berat hak asasi manusia dan
narkotika. Hal ini karena kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan luar
biasa yang memiliki sifat dan karakter sebagai kejahatan internasional.
Pembatasan lain juga dapat ditujukan terhadap kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara 10 tahun ke atas. Hal ini memperlihatkan tingkat keseriusan
dari kejahatan tersebut. Dalam konteks KUHP, tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari 10 tahun adalah tindak pidana kejahatan
terhadap keamanan negara dan tindak pidana kejahatan terhadap nyawa.
Keempat, diskriminasi lainnya
adalah bahwa dalam pasal ini tidak diatur mengenai tindakan pemolisian. Hal
ini berbeda dengan sejumlah ketentuan UU terkait tindakan pemolisian terhadap
pejabat publik. Tindakan pemolisian terhadap hakim agung, hakim konstitusi,
anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan anggota Komisi Yudisial dilakukan
dengan perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden.
Prosedur yang demikian tidak berlaku dalam hal tertangkap tangan melakukan
suatu tindak pidana.
Perlu
ada pembatasan
Dalam rangka memberikan
perlindungan hukum terhadap komisioner KPK yang akan datang, seyogianya Pasal
32 Ayat (2) UU No 30/2002 dibatasi dalam tiga hal. Pertama, tindak pidana
kejahatan harus dipersempit hanya kejahatan korupsi, terorisme, narkotika,
pelanggaran berat HAM, dan tindak pidana yang diancam pidana lebih dari 10
tahun penjara.
Kedua, komisioner KPK
diberhentikan sementara dari jabatannya jika yang bersangkutan sebagai
tersangka terhadap tindak pidana kejahatan sebagaimana yang disebut di atas
dan jika tindak pidana kejahatan tersebut dilakukan dalam masa jabatannya.
Ketiga, jika tindak pidana
kejahatan tersebut dilakukan sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai
komisioner KPK, maka proses hukum terhadapnya dilakukan setelah yang
bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai komisioner KPK. Hal ini dapat
dilakukan dengan mekanisme rusten atau pembantaran daluwarsa dalam hukum
pidana, dengan maksud agar yang bersangkutan masih tetap dapat diproses
secara hukum setelah tidak lagi menjabat. Mekanisme rusten adalah untuk
mencegah daluwarsanya penuntutan pidana dan tidak memberikan imunitas
terhadap siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar