Momentum Tamu Kehormatan
Agus
M Irkham ; Pegiat
Literasi
|
KOMPAS,
09 Juli 2015
Indonesia menjadi tamu kehormatan
(guest of honour) pada Frankfurt
Book Fair 2015, yang akan digelar pekan kedua Oktober 2015. Berbagai
persiapan dilakukan. Di antaranya berupa penerjemahan 200 buku (sastra) ke
dalam bahasa Inggris dan Jerman. Presiden Joko Widodo juga menerima 17
wartawan Jerman di Istana Kepresidenan. Para wartawan tersebut datang dengan
niat menulis tentang Indonesia selaku tamu kehormatan dalam Frankfurt Book
Fair itu.
Selain itu, menurut keterangan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan, sebagai bentuk
dukungan pemerintah, Presiden Jokowi juga berencana hadir dalam helatan
tersebut.
Oleh pemerintah, pameran buku terakbar
dunia itu akan dijadikan momentum kebangkitan literasi sebagai ujung tombak
kebangkitan bangsa Indonesia.Melalui penerjemahan terutama karya-karya
sastra, diharapkan menjadi sarana mengenalkan Indonesia kepada dunia.
Mengenalkan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki pemikiran sendiri, tidak
kalah penting dengan urusan ekonomi dan budaya.
Sebuah visi yang patut kita dukung
bersama. Hanya saja impian tersebut dalam jangka panjang tidak akan
berkelanjutan jika tidak didukung perbaikan ekosistem industri perbukuan dan
kesamaan agenda: gerakan budaya baca di Tanah Air.
Problem
makro
Ada berderet problem makro dalam
industri perbukuan dan gerakan budaya baca di Indonesia. Indeks reading per
capita kita hanya 0,36 (sepertiga buku). Jauh di bawah negeri tetangga,
Malaysia (1,07) bahkan Vietnam sekalipun (0,53). Jumlah penerbit, 90 persen
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Secara nasional toko buku hanya berjumlah 1.500
yang artinya rerata jarak antartoko buku sejauh 1.281 kilometer. Itu pun luas
perairan yang kita miliki tidak dihitung. Dari jumlah tersebut 80 persen di
Pulau Jawa.
Jumlah perpustakaan di Indonesia
hanya 61.477. Dari jumlah tersebut mayoritas masih berada di Pulau Jawa,
36.929 perpustakaan (60 persen). Bandingkan misalnya dengan Kalimantan 3.031 perpustakaan
(4,9 persen), dan Maluku-Papua 246 perpustakaan (0,4 persen).
Dari sisi regulasi, Rancangan
Undang-Undang Sistem Perbukuan Nasional yang disiapkan sejak 2006 hingga kini
tidak kunjung disahkan menjadi undang-undang.Sebaliknya, Presiden Jokowi
justru membubarkan keberadaan Dewan Buku Nasional (DBN).
Padahal, saat DBN dibentuk tahun
1999, dimaksudkan untuk membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan
strategi dalam pengembangan perbukuan, minat dan kegemaran baca tulis
masyarakat serta kemampuan sumber daya manusia perbukuan secara nasional.
Ketiadaan payung hukum yang
melindungi serta lembaga pemerintah yang secara khusus membina dunia
perbukuan membuat noble industry
(industri mulia) ini mengalami peyatiman. Tanpa ayah. Tanpa arah. Menjadi
autopilot sektor swasta.
Ketimpangan
literasi
Beberan perangkaan serta fakta di
atas memunculkan masalah akut berupa berlangsungnya ketimpangan literasi
antara Jawa dan luar Jawa, terutama di kawasan Indonesia timur. Wujud
ketimpangan tersebut baik dari segi distribusi (buku) bacaan maupun produksi,
yaitu menumpuknya penulis di Jawa.
Akibatnya dalam lalu lintas wacana
ilmu pengetahuan dan informasi, masyarakat terutama di kawasan Indonesia
timur, lebih banyak menjadi obyek. Kontribusinya minim sekali terhadap
pengetahuan yang terpadatkan dalam bentuk buku.
Sejatinya inisiatif untuk
memperpendek bentangan jarak ketimpangan tersebut sudah berlangsung melalui
pembentukan komunitas literasi. Paling kurang ada 50 komunitas literasi di
Indonesia (Agus M Irkham, Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara,
Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).
Dalam catatan saya, dari 50
komunitas literasi itu, banyak yang telah mampu melakukan edukasi dan promosi
melalui media cetak dan elektronik. Baik berupa feature tentang pegiat literasi, penjagaan tema budaya baca
sebagai isu nasional agar tidak hilang tertelan oleh pergantian isu yang
datang bergulung-gulung, maupun berupa liputan kegiatan.
Tidak hanya itu, beragam komunitas
literasi tersebut juga berhasil memotivasi dan mendampingi masyarakat untuk
tidak saja membaca, tetapi juga menulis, bahkan menerbitkan buku.Mereka juga
menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang bisa menggerakkan masyarakat
untuk menggali sejarah sosial masing-masing daerahnya.
Hanya saja ada masalah mendasar
yang dihadapi komunitas literasi tersebut, yaitu berupa ketiadaan post
gerakan literasi. Karena setelah mampu melakukan edukasi dan promosi melalui
media cetak dan elektronik, lantas apa? Apakah sudah juga mampu menciptakan
isu literasi sebagai isu nasional yang arahnya mampumemengaruhi kebijakan di
bidang literasi.
Kalaupun komunitas literasi memang
telah berhasil ”memprovokasi” masyarakat untuk tidak saja membaca, tetapi
juga menulis, bahkan menerbitkan buku, lantas apa? Sudah seberapa efektifkah
tulisan-tulisan dan buku-buku itu dalam membangun awareness masyarakat sekitar tentang-tentang isu-isu tertentu dan
mendorong perubahan perilaku yang signifikan?
Selain ketiadaan post-agenda,
problem lainnya adalah tidak adanya setting agenda bersama. Tiap komunitas
asyik sendiri dengan agenda kultural masing-masing dan sudah merasa puas
menjadi obyek atau pelaksana dari suatu regulasi. Tanpa ada niatan untuk
membangun sebuah komitmen bersama agar bisa turut pula berkontribusi, menjadi
”kelompok penekan” dalam proses pembuatan kebijakan. Terutama terkait dengan
pembangunan ekosistem industri perbukuan dan gerakan budaya membaca di Tanah
Air.
Saya melihat, persoalan makro
ekosistem industri perbukuan dan perkembangan budaya baca adalah persoalan
luar bisa, tentu diperlukan cara-cara yang luar biasa pula. Tentunya negara
harus hadir. Terpilihnya Indonesia sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book
Fair2015 semoga bisa menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk
memperbaiki problem makro ekosistem industri perbukuan di Indonesia, serta
menyadarkan para pegiat literasi untuk menyusun dan melaksanakan post-agenda
literasi bersama? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar