Rabu, 08 Juli 2015

Yunani dan Pilihan Tolak Kreditor

Yunani dan Pilihan Tolak Kreditor

   Ismatillah A. Nu’ad ;  Peneliti Madya Institute for Social Research and Development
JAWA POS, 07 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PILIHAN tepat rakyat Yunani yang baru melakukan referendum kemarin perlu mendapat perhatian dari pemerintah kita. Kemenangan opsi menolak pemberian dana talangan (bailout) dari para kreditor atau kekuatan neolib di Zona Eropa bukan tanpa sebab. Pasalnya, kreditor telah terbukti tidak mengangkat derajat ekonomi suatu bangsa, malah menambah beban ekonomi negara.

Lebih dari 60 persen memilih ”tidak” untuk dana talangan. Sedangkan hampir 40 persen memilih ”ya”. Menanggapi kemenangan kubu penolak dana talangan dalam referendum, sejumlah pejabat senior di Zona Eropa bertemu guna membicarakan masa depan yang tepat bagi Yunani.

Para elite di Zona Eropa menilai Yunani wajib segera dibantu. Pasalnya, ekonomi Yunani memasuki kondisi darurat sehingga bisa menular ke negara-negara Eropa lainnya. Pada akhirnya itu bisa membahayakan kepercayaan pasar atas nilai tukar euro. Sebelum Yunani, sudah ada tiga negara anggota Zona Eropa yang ekonominya sakit, yaitu Spanyol, Irlandia, dan Portugal.

Sejumlah bank di Yunani menderita utang miliaran euro setelah terpukul karena terkena dampak resesi global. Para aktivis sosialdemokrat kerap melakukan kritik dan demonstrasi karena krisis Yunani. Mereka menganggap ada aroma kapitalisme yang tidak sedap bermain di negaranya. Mereka pun mengkritik roda pemerintahan di Yunani yang terlalu menjerumuskan diri pada utang dan bantuan kreditor serta lembaga finansial besar di Eropa. Padahal, sudah terbukti, lembaga-lembaga itu tak dapat menyelamatkan, malah semakin membenamkan.

Aroma menentang praktik kapitalisme sangat kental dilakukan para aktivis sosial-demokrat. Kapitalisme di situ seakan menjadi subjek isu paling krusial. Sebab, dalam kapitalisme, persaingan tidak sehat, di mana usaha yang tak diinvestasi secara besar-besaran, lalu akan mengalami kolaps memang merupakan gambaran yang telanjang di era globalisasi. Di dalamnya pasar merupakan segala-galanya dan yang mengendalikan adalah mereka para pemodal yang memiliki investasi dalam jumlah besar, apa yang kemudian disebut para kapitalis.

Kebijakan para pemilik modal yang hanya menguntungkan pribadi dan meniadakan apa yang seharusnya menjadi hak publik begitu kontras tergambar dalam kasus subprime mortgage. Jelaslah, kapitalisme dan korporasi global sebagai sebuah ” knowledge”, mengutip istilah Michel Foucault (1997), yang diciptakan itu memiliki kepentingan atau bahkan kerakusan. Itulah sebabnya globalisasi dan kapitalisme dikritik banyak kalangan, terutama kalangan sosial-demokrat seperti di Yunani.

Kritik tersebut sesungguhnya tertuju dari akibat yang ditimbulkannya, yaitu persaingan pasar yang tak sehat atau bahkan kerusakan alam oleh, misalnya, perusahaan global yang bermain di wilayah pertambangan seperti kasus Freeport, Newmont, dan Exxon Mobil dalam kasus di Indonesia dan yang paling mengenaskan adalah soal kemiskinan. Kapitalisme dan korporasi global ditengarai telah mengakibatkan kemiskinan di dunia. Bahkan, menurut buku Die Globalisierungsfalle yang ditulis Hans Peter dan Harald Schumann (2002), telah terjadi suatu fenomena sosial yang diistilahkan dengan masyarakat 20:80.
Yakni, 20 persen dari penduduk bumi ini sesungguhnya sudah cukup untuk mengendalikan dan menjaga terus berputarnya roda perekonomian dunia, sementara 80 persen sisanya adalah mereka yang ”tanpa pekerjaan”, menjadi ”sampah sosial”, dan tak lebih merupakan ”buih” yang takdir hidupnya dikendalikan berputarnya ekonomi dunia.

Berjuta-juta penganggur, ketidakpastian pekerjaan secara besar-besaran, suatu jurang yang makin melebar antara yang dibayar rendah dan yang berkecukupan. Globalisasi di satu sisi telah menyatukan dunia atau yang diistilahkan Anthony Giddens dalam Runaway World (2002) bahwa dunia semula terbatasi dengan letak geografis, namun kini disatukan menjadi sebuah global village. Namun, di sisi lain, globalisasi telah menjadikan dunia lepas kendali, dunia menjadi ambruk, bahkan menurut Giddens ia dapat meretakkan hubungan harmonis dalam suatu keluarga sekalipun.

Hebatnya, kapitalisme dan fenomena korporasi global diciptakan para arsitek dan berlangsung secara evolutif. Ia bukanlah fenomena pragmatis. Karena itu, oleh para pembelanya, ia dianggap sebagai suatu fenomena yang tak dikehendaki siapa-siapa, tak dikehendaki ”Timur maupun Barat”, namun dikehendaki kita semua, ia terjadi secara sendirinya. (Shimon Peres, Shaping Globalisation, 1999)

Kapitalisme, misalnya, lewat para arsiteknya telah membuat aturan mainnya tersendiri, apa yang dikenal sebagai free enterprises, juga ada WTO, IMF, World Bank, demokrasi liberal, freedom expression, dan seterusnya. Semua negara dipaksa ikut dalam aturan main itu serta harus tunduk di dalamnya. Jika menyalahinya akan dikenai sanksi embargo dan semacamnya. Akan sulit suatu negara jika tak mengikuti aturan-aturan global itu meskipun di sisi lain, misalnya, negara tersebut tahu bahwa itu tak lebih sebagai jebakan-jebakan global.

Banyak pihak yang mengungkapkan bahwa ancaman destruktif kapitalisme bisa diantisipasi dengan cara mengembalikan pilihan pada diri kita sendiri, memperkuat otoritas negara, mesti berdikari, dan semacamnya (Jeremy Walden, On the Right of Man, 1987). Namun, di sisi lain, apakah hal itu hanya sebatas utopianisme, suatu perlawanan yang sesungguhnya hanya eskapisme dari realitas global itu sendiri?

Karena itu, kapitalisme dan korporasi global menjadi semacam haunt yang menyelimuti tatanan dunia baru. Ia adalah tirani, rezim, dan sebuah otoritarianisme yang mengekang masyarakat dunia setelah ambruknya komunisme pada akhir abad ke-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar