Rabu, 08 Juli 2015

Mengawal Revisi UU Migas

Mengawal Revisi UU Migas

   M Kholid Syeirazi  ;  Sekjen PP ISNU;
Penulis Buku di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia
KORAN SINDO, 07 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), yang dipimpin ekonom Faisal Basri, telah mengakhiri tugasnya pada pertengahan Mei 2015. TRTKM merilis 12 rekomendasi final, mencakup reformasi tata kelola hulu dan tata niaga hilir.

Namun, sayangnya, TRTKM sama sekali tidak menyinggung dan merekomendasikan revisi UU Migas. Padahal, kerunyaman industri migas nasional banyak berhulu dari UU Migas yang sudah cacat lahir batin. Lahirnya cacat karena sudah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), batinnya keropos karena membelakangi roh konstitusi. Praktek perburuan rente terjadi di setiap rantai bisnis migas, dari hulu hingga hilir.

Kondisi ini terpelihara dan semakin parah sejak pemberlakuan UU Migas. Karena itu, mengarahkantembakanhanyakepada Petral tidak hanya dirasakan tidak adil, tetapi patut dicurigai adanya motif terselubung. TRTKM hanya menyoal akibat, tetapi mengabaikan sebab. Mengapa mafia impor merajalela? Karena lifting minyak anjlok dan kilang uzur. Lifting anjlok karena produksi mengandalkan sumur-sumur tua. Ini terjadi karena nihil temuan sumur minyak baru akibat minimnya eksplorasi.

Eksplorasi merosot karena sistemnya ruwet, birokratis, danrezimfiskalnya buruk. Sistem yang buruk ini dikembangkan UU Migas No 22/2001, yang didraf oleh USAID dan disahkan ketika Presiden Megawati berkuasa. Menyerang dan membubarkan Petral tanpa menyinggung alternatif UU Migas yang lebih konstitusional dan nasionalis dapat dianggap sekadar menciptakan prakondisi untuk menghambat pemulihan hak Pertamina sebagai alat negara mewujudkan kedaulatan dan ketahanan energi nasional.

Lima Agenda

Revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mutlak dilakukan karena dua hal. Pertama, secara politis, revisi UU Migas merupakan amanat Pansus BBM DPR pada 2008. Pansus menyimpulkan UU Migas berandil besar dalam menciptakan karut-marut tata niaga migas yang merugikan rakyat, karena itu harus direvisi.

Kedua, pasal-pasal yang menjadi jantung UU Migas sudah dinyatakan inkonstitusional oleh dua kali proses uji materi MK, yaitu pada 2004 dan 2012. Tidak kurang dari 22 Pasal UU Migas telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Artinya, industri migas nasional yang strategis itu tidak mempunyai pijakan hukum yang kuat.

Setelah menunggu cukup lama, revisi UU Migas sudah masuk dalam agenda Prolegnas. Belajar dari UU No 22/2001, pembentukan UU Migas yang baru harus lebih responsif, aspiratif, konstitusional, dan nasionalis. Beberapa hal perlu diperhatikan para pembentuk UU agar tidak mengulang kesalahan yang sama.

Pertama, format kelembagaan pengelola sektor migas nasional harus mampu menjamin tata kelola migas nasional yang efektif, efisien, memihak kepentingan nasional, dan bersifat khusus karena terkait dengan sektor strategis yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. BP Migas diputus inkonstitusional oleh MK karena gagal mewadahi prinsip-prinsip tersebut.

BP Migas dinilai tidak efektif karena dia bukan entitas bisnis yang eligible untuk menjalankan transaksi bisnis. Untuk menjual migas bagian negara, dia harus menunjuk pihak ketiga yang berakibat tidak optimalnya penerimaan negara. Inefektivitas model tata kelola semacam ini menciptakan rantai inefisiensi.

 Ketidakbolehan BP Migas (dan sekarang SKK Migas) untuk menjual migas bagian negara menciptakan praktik perburuan rente dan brokerage yang merugikan negara. Kasus penunjukan penjualan kondensat oleh BP Migas kepada PT TPPI merupakan letupan kecil dari fenomena gunung es.

Sebagai entitas pemerintah berbentuk BHMN, BP Migas tidak bisa menjadi operator yang terlibat dalam operasi produksi, karena itu tidak mempunyai benchmark untuk menilai kewajaran cost recovery. Aset-aset kontraktor yang habis masa kontrak juga tidak bisa langsung dikelola dan dimanfaatkan BP Migas dan SKK Migas. Format government to business (G2B), selain tidak kompatibel dengan prinsip kedaulatan, juga mengakibatkan rantai tata kelola migas lebih rumit dan birokratis.

Tidak kurang dari 341 perizinan harus dilalui untuk melakukan investasi hulu migas. Birokratisasi investasi ini membuat iklim investasi hulu migas anjlok. Dampaknya, eksplorasi migas merosot, lifiting turun, cost recovery naik karena produksi mengandalkan sumur-sumur tua. Secara nominal, investasi hulu migas memang naik, tetapi sebagian besar untuk produksi dan pengembangan, bukan eksplorasi.

Memburuknya iklim investasi hulu migas ini masih diperburuk dengan perombakan rezim fiskal akibat pencabutan asas lex specialis. Dengan UU No 8/1971, sektor migas diperlakukan khusus, termasuk dalam ketentuan perpajakan. Melalui UU No 22/2001, asas lex specialis dicabut. Akibatnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memungut pajak praproduksi yang membelakangi prinsip kontrak PSC yang diciptakan sendiri.

Belajar dari kelemahan UU No. 22/2001, kelembagaan pengelola industri migas nasional ke depan harus BUMN yang berfungsi sebagai pelaksana kuasa pertambangan pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan pertambangan migas. Sumber daya migas yang tersimpan di perut bumi milik rakyat, dikuasai negara melalui BUMN yang mengelola, mengurus, mengusahakan, dan memanfaatkannya untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. BUMN bisa bekerja sama dengan swasta dalam bentuk kontrak bagi hasil (PSC).

Kontraktor PSC adalah kontraktor pemberi jasa yang menerima bagian dari produksi sebagai imbalan atas jasanya. Kontraktor tidak mempunyai mineral right dan mining right, karena itu tidak bisa menguasai, memiliki, dan seterusnya memonetisasi cadangan dan sumber daya migas yang terkandung di perut bumi. Kontraktor berkontrak dengan BUMN secara B2B. Negara cq. pemerintah berdiri di atas kontrak dan bukan subjek perdata jika terjadi dengan dispute dan arbitrase.

Kedua, pelaku utama dari pengusahaan pertambangan migas nasional harus diperjelas. Jika kerangka kelembagaan tata kelola migas dikembalikan ke dalam format B2B, BUMN yang menjadi wakil negara haruslah BUMN yang sudah matang, berpengalaman, punya cukup modal, SDM, dan teknologi untuk mengurus, mengelola, dan menyelenggarakan kegiatan pertambangan migas.

Tidak lain BUMN tersebut adalah Pertamina. Diusulkan Pertamina dirombak menjadi holding, yang ditopang oleh anak-anak perusahaan yang bergerak di sektor hulu dan hilir migas. PGN yang kini menjadi perseroan terbuka yang telah listing di Bursa Efek, dibelisahamnya olehPertamina, sehingga Pertamina betul-betul menjadi pemain utama dalam bisnis minyak dan gas, dari hulu hingga hilir. Monopoli secara alamiah akan kembali terjadi dengan pola integrasi vertikal (vertically integrated).

Belajar dari kesalahan lama, peran dominan Pertamina ini harus diikuti dengan pengawasan yang ketat oleh berbagai stakeholders (DKPP/Trustee Board). Tujuannya agar Pertamina tidak menjadi sapi perah oleh pihak lain atau menjadi kerajaan bagi pengurusnya sendiri. Menjadikan Pertamina sebagai perusahaan terbuka, tetapi tidak listing (non-listing public company) menjadi salah satu opsi yang patut dipertimbangkan.

Ketiga, UU No 22/2001 tidak menampung konsep konservasi dalam pengertian memelihara, melestarikan, dan menjaga sumber daya dan cadangan migas, sehingga keberadaannya dapat dipertahankan selama mungkin. Konservasi mengandaikan kegiatan pencarian terus-menerus sehingga idealnya, jumlah cadangan yang dibentuk selalu lebih besar daripada cadangan yang dipakai.

Mencari dan kemudian mengonversi dari sumber daya ke cadangan perlu dana besar. Karena itu, perlu anggaran khusus yang disebut dengan petroleum fund. Dana ini adalah kas yang disiapkan pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan eksplorasi migas. Petroleum fund selama ini tidak ada karena penerimaan negara, baik yang bersumber dari penjualan migas bagian negara maupun dividen yang disetorkan Pertamina, langsung masuk ke APBN dan dibagi habis untuk mengisi pos-pos pembangunan.

Karena itu, perlu diatur penyediaan petroleum fund, yang diambil dan disisihkan dari keuntungan Pertamina sebelum disetorkan ke negara. Keempat, UU Migas yang baru harus mengatur soal cadangan minyak strategis (strategic petroleum reserves) untuk menopang ketahanan energi nasional.

Selama ini Indonesia tidak mempunyai SPR, yang ada adalah cadangan minyak operasional Pertamina selama 18 hari. Yang tersedia hanya tangki-tangki penampungan minyak mentah sementara, sebelum diolah di kilang domestik atau menunggu diangkut pembeli dari luar negeri. Mengacu kepada negara-negara lain, Indonesia setidaknya harus mempunyai SPR dengan kapasitas setara dengan 90 hari impor neto minyak mentah.

Tugas untuk penyediaan SPR di tangan pemerintah, bukan Pertamina. Kelima, UU Migas yang baru harus mengatur mekanisme sharing pendapatan kepada daerah penghasil selain bentuk participating interest (PI) yang faktanya telah banyak diselewengkan. Ketidakmampuan daerah dalam mengadakan pembiayaan memunculkan fenomena Ali-Baba, yakni swasta berkedok BUMD.

Benderanya BUMD, tetapi kendalinya swasta pemasok modal. Fenomena ini harus dihempang, misalnya, dengan mengonversi langsung PI menjadi royalti ke daerah, yang langsung disetor ke kas daerah. Lima hal ini, setidaknya, harus menjadi bagian dari semangat revisi UU Migas agar lahir UU Migas baru yang lebih baik dalam segala hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar