Uji Publik Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Syamsul Rizal ; Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh
|
KOMPAS,
14 September 2015
Setelah vakum sekian
lama—karena penundaan pemberlakuan Permendikbud tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi—muncul surat dari Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Kemenristekdikti, Intan Ahmad, tertanggal7 September 2015, tentang Uji Publik
SN Dikti.
Berdasarkan surat
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan ini, Permendikbud berganti nama menjadi
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Permenristekdikti). Adapun judulnya tetap sama: Standar Nasional Pendidikan
Tinggi (SN Dikti).
Sebelumnya, pada 20
Mei 2015, tepat di Hari Kebangkitan Nasional, Menristekdikti Muhammad Nasir
mengeluarkan surat edaran Nomor 01/M/SE/V/2015 tentang Evaluasi Permendikbud.
Salah satu yang dievaluasi adalah SN Dikti.
Tak serius
Seperti yang sudah
saya duga sebelumnya, dalam artikel yang berjudul ”SN Dikti dan Publikasi
Internasional”(Kompas, 30 Mei 2015), yang akan menjadi titik krusial dalam SN
Dikti dan pasti akan dievaluasi adalah masalah publikasi internasional. Apa
sebab saya sebut krusial? Karena hal ini menyangkut masa depan dan marwah
bangsa kita.
Memang sangat
mengejutkan, saat Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla ingin tancap
gas dalam bidang riset, teknologi, dan pendidikan tinggi—ini terbukti dari
dibentuknya kementerian tersendiri yang terpisah dari Kemendikbud—justru
Kemenristekdikti yang terkesan tak serius mendukung kebijakan ini.
Dalam rancangan baru
SN Dikti yang harus diuji publik, masalah publikasi internasional ini jadi
sangat minimalis, bahkan menjadi nol. Pada SN Dikti versi Permenristekdikti
tertulis: ”Yang menjadi pembimbing utama mahasiswa S-3, sudah cukup kalau
punya 1 karya ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi. Demikian juga
mahasiswa S-3, sudah boleh diluluskan kalau sudah punya 1 publikasi nasional
terakreditasi”.
Sebelumnya, pada SN
Dikti versi Permendikbud tertulis: ”Yang menjadi pembimbing utama mahasiswa
S-3 harus sudah pernah memublikasikan paling sedikit 2 karya ilmiah pada
jurnal internasional, dan mahasiswa S-3 baru bisa diluluskan kalau mempunyai
2 publikasi internasional”. Rancangan terbaru ini sungguh mengalami
kemunduran yang sangat luar biasa!
Kalau rancangan
Permenristekdikti disahkan dalam keadaan seperti draf sekarang ini, cita-cita
kita untuk mengalahkan Malaysia, misalnya, dalam hal publikasi internasional,
sudah tidak mungkin lagi. Sudah tutup buku! Malaysia berlari kencang sekali,
dan kita masih merangkak seperti kura-kura.
Generasi kita yang
hidup sekarang ini pun di kemudian hari harus menanggung beban sejarah yang
tidak ringan. Kita membiarkan seorang profesor berkarya secara minimalis, dan
menjalankan pendidikan S-3 tanpa ada kontrol publikasi internasional.
Saya yakin, dalam
20-30 tahun ke depan—dengan SN Dikti versi Permendikbud pun—Malaysia belum
bisa kita kalahkan. Akan tetapi, paling tidak generasi kita sudah
mempersiapkan fondasi yang kuat untuk memenangi pertarungan ini di masa yang
akan datang.
Harus kita akui,
negara-negara yang maju ekonominya memiliki korelasi yang erat dengan jumlah
publikasi internasional yang dimilikinya. Amerika Serikat, Tiongkok, Inggris,
Jerman, Jepang, Perancis, dan Korea Selatan, misalnya, adalah negara-negara
yang hebat secara ekonomi. Ternyata mereka juga sangat hebat dalam jumlah
publikasi internasionalnya.
Jumlah publikasi kita
sekarang ini berada di posisi nomor 57 dunia. Posisi ini masih di bawah
Nigeria (urutan ke-51), Tunisia (52), apalagi dengan Malaysia (36) dan
Singapura (32). Kalau jumlah publikasi ini dibagi dengan jumlah penduduk,
peringkat negara kita akan melorot jauh sekali ke bawah.
Dengan posisi yang
sangat memalukan ini, keputusan Presiden Jokowi menggabung Ristek dan Dikti
dalam satu kementerian sudah tepat. Namun, yang tidak tepat adalah kalau saja
Rancangan Permenristekdikti disahkan dalam keadaan seperti sekarang ini.
Langkah ke depan
Ada beberapa langkah
yang harus kita persiapkan kalau kita ingin meningkatkan jumlah publikasi internasional
kita ke depan. Pertama, masalah publikasi internasional dalam SN Dikti versi
Permendikbud harus kita pertahankan.
Kedua, setiap
perekrutan pengajar di perguruan tinggi harus ada kontrak bahwa yang
bersangkutan harus bersedia melanjutkan pendidikan S-3-nya. Kalau mereka
sudah lulus S-3, baru mereka bisa ditetapkan sebagai pengajar permanen.
Ketiga, harus kita
akui bahwa publikasi internasional kita sangat kurang, salah satu penyebabnya
adalah kemampuan para pengajar dan peneliti kita dalam penguasaan bahasa
Inggris yang juga sangat kurang. Celakanya, kita selalu membenturkan
pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam format dua kutub:
nasionalis dan a-nasionalis.
Akibatnya,
pembelajaran bahasa Inggris di level SD dan menengah terasa termarjinalkan di
sekolah-sekolah negeri karena dianggap a-nasionalis. Alhasil, usia emas untuk
belajar bahasa asing bagi anak-anak kita terlewatkan begitu saja tanpa
perhatian khusus. Sungguh sangat mubazir. Akibatnya, saat mereka sudah
dewasa, sudah sangat sulit untuk belajar bahasa Inggris karena usia emas
telah lewat.
Konsep dan definisi
nasionalisme di Indonesia memang sudah harus berubah. Kalau dulu berkaitan
erat dengan patriotisme, sekarang konsep nasionalisme seharusnya berkaitan
erat dengan prestasi (achievement). Negara dan nasionalisme kita terpuruk
karena prestasi kita terpuruk di segala bidang: olahraga, ekonomi, teknologi,
pangan, lingkungan, dan lain-lain.
Nasionalisme hanya
bisa muncul kalau ada prestasi. Prestasi akan terus terpuruk kalau pendidikan
dasar, menengah, dan tinggi kita juga terpuruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar