Deregulasi, Rupiah, dan Banjir Likuiditas
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
KOMPAS,
14 September 2015
Pekan lalu pemerintah
mengeluarkan banyak kebijakan deregulasi. Langkah itu praktis dilakukan di
semua sektor, baik sektor riil maupun finansial. Namun, kurs rupiah tetap
belum beranjak dari level Rp 14.300-an per dollar AS. Mengapa? Ada dua
penjelasan.
Pertama, pasar
finansial dunia masih melanjutkan tren memberi sentimen positif terhadap
perekonomian Amerika Serikat (AS). Apa pun indikator ekonomi AS yang berbau
membaik langsung direspons dengan ”memegang” erat-erat dollar AS. Hanya
sepenggal pernyataan Janet Yellen, bos The Fed, bahwa dia tetap berencana
menaikkan suku bunga yang kini 0,25 persen menjadi 0,5 persen saja, sudah
membuat pontang-panting pasar.
Belakangan ini juga
muncul fenomena baru, indikator penyerapan tenaga kerja baru (non-farm payroll) juga sanggup
membangkitkan euforia. Indikator lain yang juga dipantau adalah penjualan
mobil.
Oleh karena itu,
ketika pekan lalu terungkap angka pengangguran di AS terus menurun pesat
menjadi 5,1 persen, atau hanya separuh dari posisi terjelek 10 persen (2009),
respons positif pun mengalir ke dollar AS. Indeks saham di New York pun
berangsur menghijau ke 16.433.
Perilaku pasar
finansial yang sedemikian sensitif tersebut merupakan konsekuensi dari
peristiwa sebelumnya, yakni Pemerintah AS memompa likuiditas dollar AS
melalui kebijakan tiga kali pelonggaran likuiditas (quantitative easing) pada 2009, 2011, dan 2013. Jumlah peredaran
dollar AS ke seluruh dunia bertambah 4,2 triliun dollar AS, atau signifikan
jika dibandingkan dengan produk domestik brutonya 17,5 triliun dollar AS.
Melimpahnya peredaran
dollar AS inilah yang merisaukan Yellen. Sesuai teori John Maynard Keynes
(1936), tingginya uang yang beredar rawan menimbulkan tindak spekulasi.
Karena itulah, Yellen berniat menaikkan suku bunga AS, untuk meminimalkan
kemungkinan spekulasi.
Sayangnya, menaikkan
suku bunga bisa menimbulkan implikasi negatif bagi AS, yakni dollar AS akan
menguat lagi sehingga menurunkan daya saingnya. Ini pasti tidak dimaui AS,
apalagi di saat Pemerintah Tiongkok sudah nekat melakukan devaluasi yuan.
Berdasarkan analisis
tersebut, tampaknya perekonomian dunia masih akan terombang-ambing oleh
bergeraknya likuiditas global ke sana kemari. Secara umum, likuiditas itu
bergerak menuju ke New York, ibaratnya ”dollar AS pulang kandang”. Namun,
jika itu terus-menerus terjadi, pasti akan terjadi koreksi. Indeks saham Dow
Jones yang pernah mencapai 18.300 pernah pula terjerembap hingga 15.800. Saya
menduga ayun-ayunan semacam ini masih akan terus berlangsung. Tidak mudah
untuk segera mencapai titik ekuilibrium yang permanen.
Kedua, kebijakan
deregulasi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia baru akan memberi dampak
jangka menengah dan panjang. Kita tidak bisa segera berharap solusi instan,
misalnya rupiah mendadak menguat hingga Rp 13.000 per dollar AS, atau bahkan
lebih kuat lagi.
Pada saat ini, kita
tengah menghadapi persoalan struktural-fundamental yang tidak bisa segera
diubah, yakni struktur ekspor yang bias ke arah komoditas primer serta sektor
manufaktur yang lemah sehingga sensitif terhadap impor. Ketika masyarakat
kelas menengah tumbuh cepat, ternyata kita kedodoran. Sektor manufaktur kita
tidak mampu melakukan swasembada sehingga harus mengimpor, baik barang-barang
konsumsi, barang modal, barang setengah jadi, maupun barang input. Inilah
yang menimbulkan defisit perdagangan dan transaksi berjalan menganga lebar.
Berbagai paket
kebijakan deregulasi yang diluncurkan pemerintah sudah tepat, tetapi kita
tidak bisa serta-merta menuai hasilnya. Misalnya, warga asing boleh membuka
rekening di bank-bank nasional, lalu pembebasan visa bagi puluhan negara. Ini
semua berpotensi mengalirkan dana asing masuk. Namun, kapan? Saya duga
dampaknya paling cepat baru terasa pada akhir tahun ini.
Kebijakan memberikan
pembebasan pajak (tax holiday) bagi sektor-sektor pionir juga hal yang baik.
Isu ini dulu termasuk sensitif. Padahal esensinya adalah, kita memberikan
apresiasi kepada para investor yang berani ”pasang badan” memasuki
sektor-sektor yang belum terjamah, padahal potensial.
Dalam pertemuan kedua
para ekonom dengan Presiden Joko Widodo, saya menangkap kesan bahwa beliau
paham betul bahwa kita perlu mendorong industrialisasi besar-besaran. Karena
itu, proyek-proyek infrastruktur harus dikebut. Caranya, Presiden
terus-menerus memonitornya, tidak cuma sebatas peletakan batu pertama.
Ibarat seorang petani,
pemerintah sekarang memang harus terus menanam agar menuai panenannya kelak.
Tidak ada solusi instan dalam kasus gonjang-ganjing perekonomian dunia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar