|
KORAN
SINDO, 03 Mei 2013
Gagalnya eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap
Susno Duadji menyisakan sejumlah pertanyaan. Setidaknya mengusik rasa keadilan
masyarakat. Jika rakyat kecil yang terkena kasus, begitu sigap hukum bergerak.
Sebaliknya, kalau mantan pejabat apalagi masih menjabat, hukum sangat berhatihati, bahkan tidak punya nyali. Mantan Kabareskrim Polri itu bisa memperdaya aparat kejaksaan yang akan mengeksekusinya dengan berbagai dalih. Kubu Susno berpendapat, putusan MA tidak memiliki kekuatan eksekusi karena dalam amar putusan tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan...” seperti dimaksud Pasal 197 ayat (1) huruf-k KUHAP.
Malah disebutkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut ”batal demi hukum” alias batal dengan sendirinya (Pasal 197 ayat 2 KUHAP). Putusan MA tidak “mengadili sendiri” perkara itu sehingga dalam amar putusan tidak perlu mengulang isi putusan pengadilan di bawahnya. Kelaziman MA yang menolak kasasi sehingga dalam amar putusan hanya menguatkan putusan di bawahnya.
Dalam hal ini putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan memidana terdakwa 3,5 tahun penjara, plus denda dan membayar uang pengganti sejumlah dana yang terbukti dikorup. Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, kewajiban bagi jaksa untuk melaksanakan putusan setelah salinan surat putusan diterima (Pasal 270 KUHAP).
Beda Tafsir
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 November 2012 memutuskan uji materi Pasal 197 ayat (1) huruf-k KUHAP bahwa jika hakim tidak mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Tetapi, Susno berpegang bahwa putusan MK tidak berlaku surut terhadap putusan pengadilan negeri. Apabila mengikuti alur pikir Susno, semua putusan kasasi yang ditolak MA akan batal demi hukum. Tetapi, ini perlu dijadikan pelajaran berharga bagi para hakim agar tidak keliru dalam membuat putusan karena bisa menimbulkan beda tafsir.
Berbeda sekiranya MA “mengadili sendiri” kemudian mengurangi atau menambah hukuman atau membebaskan terdakwa harus dicantumkan dalam amar putusan. Tetapi, gagalnya eksekusi bisa disebut sebagai “uji nyali” bagi aparat hukum dalam menegakkan hukum. Wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terusik dan memerintahkan Jaksa Agung dan Kepala Polri untuk menegakkan hukum dengan tegas.
Apalagi publik dibuat heboh oleh penolakan eksekusi yang secara materiil Susno terbukti bersalah. Ini bisa jadi preseden buruk, seorang pesakitan akan berkilah dan mempermainkan pasal-pasal dengan tafsirnya sendiri. Akan banyak putusan kasasi yang ditolak MA tidak bisa dilaksanakan dengan alasan tidak mencantumkan hukuman yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya.
Berkaca pada pemberitaan, tidak bisa disangkal bahwa Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat ikut campur terlalu jauh. Dengan alasan melindungi warga negara, Susno tidak berhasil dibawa aparat kejaksaan untuk menjalani putusan. Seharusnya Polri membantu kejaksaan, bukan memberi peluang bagi Susno untuk mengelak. Melindungi warga negara tidak dalam rangka mengelak dari putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi menjaganya dari ancaman kejahatan.
Ada kesan Polda Jawa Barat mencampuradukkan antara kepentingan hukum dan balas jasa terhadap mantan petinggi Polri berbintang tiga. Tetapi, yang dimenangkan adalah balas jasa, bukan penegakan hukum. Mestinya hukum disamakan terhadap setiap orang. Jika pun ada perbedaan persepsi atas putusan, ranahnya di tempat lain, tetapi putusan harus tetap dilaksanakan. Apabila keberatan, masih diberi kesempatan melakukan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali, bisa juga meminta grasi kepada presiden.
Perluas Rivalitas?
Putusan hakim merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tetapi, yang perlu diingat, adalah hanya yang tercantum dalam amar putusan yang akan dilaksanakan. Supaya tidak terjadi lagi perdebatan ke depan, hakim harus mengikuti ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf-k KUHAP dalam amar putusannya.
Jangan berdebat kusir karena hanya akan membuat rakyat bingung, apakah hukum untuk hukum atau hukum untuk masyarakat. Kita bisa berharap atas perintah presiden, apalagi Kepala Polri siap mengamankan kejaksaan melaksanakan putusan. Jadi pertanyaan, apakah sikap Kepala Polda Jawa Barat yang terkesan tidak netral akan kembali menimbulkan persepsi negatif di mata publik? Publik masih ingat, gara-gara Susno mencurigai teleponnya disadap KPK sehingga disamakan sebagai perlawanan “Cicak versus Buaya”.
Saat itu publik mulai tidak respek lantaran melecehkan KPK meski kemudian berubah jadi simpati lantaran Susno berani mengungkap dugaan kebobrokan di institusinya. Kekeliruan tafsir dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara harus segera diluruskan. Perintah Kepala Polri agar Kapolda Jawa Barat diperiksa patut diapresiasi, jangan sampai ada kesan memperluas rivalitas antarpenegakan hukum karena akan menyulut persoalan baru.
Kalau selama ini Polri dan KPK pernah bersitegang dalam berbagai penanganan kasus korupsi, kemudian melebar lagi terhadap kejaksaan, boleh jadi publik akan semakin tidak percaya pada Polri. Apakah putusan Susno akan diikuti kekuatan hukum atau hukum justru berbelok arah? Biar publik yang menilai, apakah uji nyali yang ditebar Susno bagi aparat kejaksaan bisa bersambut dengan “ketegasan”.
Akan lebih elegan kalau Susno menyerahkan diri. Ke depan putusan hakim harus benar-benar bisa diterima semua pihak lantaran memiliki kejelasan dan kepastian yang terjalin antara fakta hukum, pertimbangan hukum, dan amar putusan. Tidak boleh mengandung celah dan multitafsir yang bisa dimanfaatkan untuk mengelak dari sanksi. ●
Sebaliknya, kalau mantan pejabat apalagi masih menjabat, hukum sangat berhatihati, bahkan tidak punya nyali. Mantan Kabareskrim Polri itu bisa memperdaya aparat kejaksaan yang akan mengeksekusinya dengan berbagai dalih. Kubu Susno berpendapat, putusan MA tidak memiliki kekuatan eksekusi karena dalam amar putusan tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan...” seperti dimaksud Pasal 197 ayat (1) huruf-k KUHAP.
Malah disebutkan, putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut ”batal demi hukum” alias batal dengan sendirinya (Pasal 197 ayat 2 KUHAP). Putusan MA tidak “mengadili sendiri” perkara itu sehingga dalam amar putusan tidak perlu mengulang isi putusan pengadilan di bawahnya. Kelaziman MA yang menolak kasasi sehingga dalam amar putusan hanya menguatkan putusan di bawahnya.
Dalam hal ini putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan memidana terdakwa 3,5 tahun penjara, plus denda dan membayar uang pengganti sejumlah dana yang terbukti dikorup. Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, kewajiban bagi jaksa untuk melaksanakan putusan setelah salinan surat putusan diterima (Pasal 270 KUHAP).
Beda Tafsir
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 November 2012 memutuskan uji materi Pasal 197 ayat (1) huruf-k KUHAP bahwa jika hakim tidak mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Tetapi, Susno berpegang bahwa putusan MK tidak berlaku surut terhadap putusan pengadilan negeri. Apabila mengikuti alur pikir Susno, semua putusan kasasi yang ditolak MA akan batal demi hukum. Tetapi, ini perlu dijadikan pelajaran berharga bagi para hakim agar tidak keliru dalam membuat putusan karena bisa menimbulkan beda tafsir.
Berbeda sekiranya MA “mengadili sendiri” kemudian mengurangi atau menambah hukuman atau membebaskan terdakwa harus dicantumkan dalam amar putusan. Tetapi, gagalnya eksekusi bisa disebut sebagai “uji nyali” bagi aparat hukum dalam menegakkan hukum. Wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terusik dan memerintahkan Jaksa Agung dan Kepala Polri untuk menegakkan hukum dengan tegas.
Apalagi publik dibuat heboh oleh penolakan eksekusi yang secara materiil Susno terbukti bersalah. Ini bisa jadi preseden buruk, seorang pesakitan akan berkilah dan mempermainkan pasal-pasal dengan tafsirnya sendiri. Akan banyak putusan kasasi yang ditolak MA tidak bisa dilaksanakan dengan alasan tidak mencantumkan hukuman yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya.
Berkaca pada pemberitaan, tidak bisa disangkal bahwa Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat ikut campur terlalu jauh. Dengan alasan melindungi warga negara, Susno tidak berhasil dibawa aparat kejaksaan untuk menjalani putusan. Seharusnya Polri membantu kejaksaan, bukan memberi peluang bagi Susno untuk mengelak. Melindungi warga negara tidak dalam rangka mengelak dari putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, tetapi menjaganya dari ancaman kejahatan.
Ada kesan Polda Jawa Barat mencampuradukkan antara kepentingan hukum dan balas jasa terhadap mantan petinggi Polri berbintang tiga. Tetapi, yang dimenangkan adalah balas jasa, bukan penegakan hukum. Mestinya hukum disamakan terhadap setiap orang. Jika pun ada perbedaan persepsi atas putusan, ranahnya di tempat lain, tetapi putusan harus tetap dilaksanakan. Apabila keberatan, masih diberi kesempatan melakukan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali, bisa juga meminta grasi kepada presiden.
Perluas Rivalitas?
Putusan hakim merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tetapi, yang perlu diingat, adalah hanya yang tercantum dalam amar putusan yang akan dilaksanakan. Supaya tidak terjadi lagi perdebatan ke depan, hakim harus mengikuti ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf-k KUHAP dalam amar putusannya.
Jangan berdebat kusir karena hanya akan membuat rakyat bingung, apakah hukum untuk hukum atau hukum untuk masyarakat. Kita bisa berharap atas perintah presiden, apalagi Kepala Polri siap mengamankan kejaksaan melaksanakan putusan. Jadi pertanyaan, apakah sikap Kepala Polda Jawa Barat yang terkesan tidak netral akan kembali menimbulkan persepsi negatif di mata publik? Publik masih ingat, gara-gara Susno mencurigai teleponnya disadap KPK sehingga disamakan sebagai perlawanan “Cicak versus Buaya”.
Saat itu publik mulai tidak respek lantaran melecehkan KPK meski kemudian berubah jadi simpati lantaran Susno berani mengungkap dugaan kebobrokan di institusinya. Kekeliruan tafsir dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara harus segera diluruskan. Perintah Kepala Polri agar Kapolda Jawa Barat diperiksa patut diapresiasi, jangan sampai ada kesan memperluas rivalitas antarpenegakan hukum karena akan menyulut persoalan baru.
Kalau selama ini Polri dan KPK pernah bersitegang dalam berbagai penanganan kasus korupsi, kemudian melebar lagi terhadap kejaksaan, boleh jadi publik akan semakin tidak percaya pada Polri. Apakah putusan Susno akan diikuti kekuatan hukum atau hukum justru berbelok arah? Biar publik yang menilai, apakah uji nyali yang ditebar Susno bagi aparat kejaksaan bisa bersambut dengan “ketegasan”.
Akan lebih elegan kalau Susno menyerahkan diri. Ke depan putusan hakim harus benar-benar bisa diterima semua pihak lantaran memiliki kejelasan dan kepastian yang terjalin antara fakta hukum, pertimbangan hukum, dan amar putusan. Tidak boleh mengandung celah dan multitafsir yang bisa dimanfaatkan untuk mengelak dari sanksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar