Jumat, 03 Mei 2013

Upaya Pengurangan Dampak Bencana


Upaya Pengurangan Dampak Bencana
Ari Mochammad ;  Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
TEMPO.CO, 03 Mei 2013


Banjir, tanah longsor, dan puting beliung saat musim hujan di Indonesia menimbulkan kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang berdampak pada kondisi sosial masyarakat. Belum ada angka resmi total kerugian secara nasional maupun lokal. Estimasi kerugian akibat banjir di Jakarta, Januari 2013, adalah sebesar Rp 1 triliun (Kompas, 17 Februari 2013). Gubernur Jokowi memperkirakan kerugian mencapai Rp 20 triliun. Sementara itu, banjir yang terjadi di wilayah Banten, menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten, menimbulkan kerugian mencapai lebih dari Rp 180,78 miliar.

Tiga perempat (75-80 persen) bencana alam merupakan bencana yang terkait dengan iklim. Hal yang sama disampaikan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) bahwa sebagian besar bencana yang terjadi selama 1851-2012 merupakan bencana hidrometeorologis. Secara global, kerugian bencana iklim mencapai US$ 50-100 miliar per tahun. Jumlah kematian meningkat 50 persen per dekade (World Disaster Report , 2001).

UNISDR, Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Bencana, menyebutkan, untuk bencana tanah longsor, Indonesia menduduki peringkat pertama dari 165 negara, dengan korban manusia 197.327. Untuk banjir, peringkat ke-6 dari 162 negara dengan 1.101.507 orang terkena dampaknya. Rendahnya kualitas pengelolaan lingkungan dan pelanggaran tata ruang wilayah/kota disertai ancaman perubahan iklim saat ini menjadikan wilayah/kota dalam tingkat yang rentan (vulnerable).

Bencana dan perubahan iklim berpotensi menggagalkan tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan nasional dan daerah. Menurut Nicholas Stern (ekonom perubahan iklim), bencana iklim adalah rintangan besar untuk pengurangan kemiskinan berkelanjutan di seluruh dimensi. Dengan demikian, sepatutnya manajemen bencana memasukkan pertimbangan adaptasi perubahan iklim (API) ke dalam pengurangan risiko bencana (PRB). Artinya, API dan PRB merupakan
pendekatan manajemen risiko secara menyeluruh.

Upaya adaptasi yang dilakukan sejak dini dapat mengurangi kerugian akibat bencana secara signifikan. Penelitian menunjukkan, setiap US$ 1 yang dikeluarkan untuk melakukan adaptasi dapat menyelamatkan sekitar US$ 7 biaya yang harus dikeluarkan untuk pemulihan bencana iklim (Biemans). Jika tidak ada upaya adaptasi yang terencana dilakukan dari sekarang, pada 2050 diperkirakan kerugian ekonomi mencapai US$ 300 miliar per tahun dan jumlah kematian bisa mencapai 100 ribu orang per tahun (SEI, IUCN, dan IISD, 2001).

Respons masyarakat global terhadap peristiwa dan kecenderungan bencana di masa mendatang ditunjukkan sejak pertemuan dunia mengenai PRB tahun 2005. Dalam pertemuan itu, para pihak sepakat mengurangi risiko yang diakibatkan perubahan iklim melalui pengintegrasian PRB dan API. Di sisi lain, dalam pertemuan Konferensi Perubahan iklim (UNFCCC) ke-13 di Bali (2007), para pihak mengakui pentingnya adaptasi sebagai upaya strategi pengurangan bencana. Hal ini secara jelas tercantum dalam kesepakatan Bali Action Plan dalam pembahasan mengenai Enhanced Action on Adaptation. Dalam perkembangannya di perundingan UNFCCC, ditegaskan bahwa PRB harus menjadi komponen kunci dari kerangka kerja Post 2012.

Di balik manfaat secara substansi, manfaat yang diperoleh lainnya dari sinergi kedua isu ini di antaranya adalah penggunaan anggaran, sumber daya alam, dan manusia yang lebih efisien. Pendekatan ini dapat meningkatkan keberlanjutan dan efektivitas. Bagi pelaku kebencanaan, sinergi kedua isu ini mendorong peran mereka dalam kebijakan, strategi, dan program API sehingga membantu secara aktif dan mempengaruhi kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional dan daerah.

Saat ini, di tingkat nasional, sudah muncul pemahaman dan kesadaran pentingnya API terintegrasi dalam strategi PRB pada lembaga, organisasi, dan pegiat kebencanaan lainnya. Sebut saja, intensitas komunikasi dan kerja sama antara Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah terjalin selama tiga tahun terakhir walau masih ada kekurangan dalam hal riset dan kajian yang meliputi dua isu tersebut. Meski demikian, masih banyak di tingkat daerah yang belum menyadari dan memahami urgensi diintegrasikannya API ke dalam strategi PRB. Belum optimalnya program kerja BPBD dalam struktur pemerintahan daerah dan belum optimalnya penyampaian serta penyebaran informasi API kepada mereka menjadi penyebab terjadinya kondisi itu.

Bagi kedua komunitas ini, adanya “persekutuan” antara API dan PRB akan meningkatkan kesadaran dan pemahaman serta mendorong dialog, pertukaran informasi, dan kerja sama dengan ahli serta praktisi, institusi penanggung jawab, pembuat kebijakan yang peduli terhadap kebencanaan, khususnya yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Diharapkan, kedua pendekatan di atas ini mampu secara tepat memfokuskan perhatian pada dimensi sosial-ekonomi dan politik dari manajemen risiko akibat iklim, baik pada level masyarakat maupun pelaku/pegiat kebencanaan. Strategi yang berbasis pada pengalaman dan kearifan yang dimiliki oleh masyarakat oleh kedua isu ini, baik API maupun PRB, diakui sebagai pendekatan yang relatif ampuh.

Selanjutnya, kedua isu ini semakin didorong ke dalam rencana pembangunan nasional dan daerah, strategi pengurangan kemiskinan, kebijakan sektor dan panduan teknis lainnya. Salah satu pengikat utama dari kedua isu ini adalah faktor variabilitas iklim dan risiko perubahan iklim harus menjadi pertimbangan dalam penilaian dan perencanaan proyek.

Adanya panduan yang dapat dimanfaatkan oleh kedua komunitas ini secara bersama sangat membantu pelaku/pegiat, bahkan pengambil kebijakan, termasuk perunding yang mengikuti perundingan isu adaptasi maupun kebencanaan di dunia internasional, khususnya dalam membangun ketahanan komunitas terhadap bencana dan perubahan iklim sebagai bagian dari rencana pembangunan. Sudah banyak panduan dan tools lainnya yang dapat diakses dan diperoleh dari berbagai sumber. Namun semuanya harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik wilayah/daerah masing-masing.

Terakhir, adanya peta kebencanaan sangat esensial dalam menyusun strategi PRB. Melalui peta kebencanaan, digambarkan/diletakkan lokasi-lokasi yang berpotensi terkena bencana. Dengan demikian, respons dan strategi dapat direncanakan sejak awal guna menekan jumlah korban, kerusakan infrastruktur, dan lingkungan yang berakibat kerugian ekonomi. Namun, sayangnya, peta kebencanaan saat ini belum memasukkan pertimbangan perubahan iklim di dalamnya. Artinya, proyeksi kondisi iklim pada 30 atau 50 tahun tidak menjadi parameter atau indikator dalam menentukan wilayah atau lokasi sebagai lokasi yang berbahaya atau dibutuhkan adanya perhatian ketika ditetapkan sebagai kawasan tertentu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar