|
KORAN SINDO, 02 Mei 2013
“Kepergian” dai
populer Ustad Jefry Al Buchory, Jumat (26/4) dini hari menyentak kita semua.
Umat Islam, baik kalangan muda, tua, selebritas, narapidana, ataupun anak-anak
kecil ikut sedih atas kepergian “sang ustad gaul” tersebut.
Maklumlah, Ustad Jefry seorang dai yang bisa memasuki semua kalangan dengan “cara”-nya yang indah, penuh humor, namun tidak kehilangan sentuhan dan ajakan untuk mendekat kepada Allah. Itulah sebabnya, begitu banyak masyarakat yang ikut takziah dan mengiringi kepergiannya ke haribaan Ilahi Rabbi. Apa yang menarik dari Uji— panggilan Ustad Jefry Al Buchori—adalah julukannya sebagai ustad gaul. Julukan ini mempunyai makna yang dalam dari aspek kultural.
Ini karena gaul mempunyai makna akrab, toleran, dan mempunyai empati kepada siapa pun. Menurut pengakuan teman-temannya, Uje memang seorang yang tidak pernah mau menyakiti temantemannya. Dia selalu menghibur orang-orang di sekitarnya, baik dalam kondisi suka maupun duka. Dia bahkan sering minta doa kepada orang-orang awam yang secara kasatmata jauh di bawah level dirinya.
Ini berbeda dengan tradisi minta doa yang umum yang biasanya minta kepada orangorang tertentu yang dianggap alim atau ulama. Dengan pendekatan inilah, Uje memperluas akses sasaran dakwahnya. Ini strategi dakwah kultural yang emansipatoris. Uje, sadar atau tidak, telah melakukannya dengan sangat baik.
Dengan kata lain, Uje telah menerapkan prinsip-prinsip toleransi dan saling menghormati dengan mengembangkan pendekatan kemanusiaan (humanis) dan kebudayaan (kultural) dalam dakwah seperti dilakukan Rasulullah. Metode dakwah ini pula yang telah dipraktikkan oleh penyebar Islam di Pulau Jawa abad XV.
Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq, seorang Wali Sangha (Wali Suci, biasa dikenal Wali Sanga atau Wali Sembilan, yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa) mengajarkan metode dakwah dengan pendekatan kebudayaan yang toleran. Metode dakwah Sunan Kudus ini juga telah dilakukan sebelumnya oleh Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga dalam menjalankan dakwahnya selalu mengadopsi kearifan budaya lokal di mana “murid-murid dan pengikut-pengikut”-nya berada. Salah satu nilai toleransi yang diperlihatkan Sunan Kudus terhadap pengikutnya dalam dakwah adalah melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya saat Idul Qurban. Hal itu dilakukan Sunan Kudus untuk menghormati pengikut agama Hindu yang saat itu mayoritas dan menjadi sasaran dakwahnya.
Di zaman Sunan Kudus, sapi juga sering ditempatkan di dekat masjid. Ini pun sebuah cara untuk memberitahukan kepada umat Hindu bahwa Islam juga menghargai sapi. Menghargai sapi (binatang) bukan untuk disembah, melainkan menghargai sesama makhluk Allah seperti yang diajarkan Islam. Sebagai gantinya, Sunan Kudus meminta murid-muridnya untuk menyembelih kerbau di hari Idul Qurban.
Sampai hari ini pun kita lihat, daging kerbau masih lebih merakyat di Kudus ketimbang daging sapi. Langkah Sunan Kudus tersebut mengundang rasa simpati masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal dan dari sanalah pintu dakwah Islam terbuka lebar. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas saat itu dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat “sapi”—bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudu di masjid Kudus. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika.
Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Buddha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat Hindu saat itu. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Buddha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara di masjid tersebut. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat azan dan tempat untuk memukul beduk setiap kali datang bulan Ramadan. Kini menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus. Strategi dakwah Sunan Kudus dengan pendekatan budaya tersebut jelas amat efektif dalam mengislamkan orang Jawa yang beragama Hindu. Apalagi kemudian Sunan Bonang menciptakan wayang berikut gendingnya yang kemudian ditransformasikan ke dalam Islam.
Sunan Bonang menciptakan dongeng kesaktian jimat Kalimososo (kalimat Syahadat) yang dipakai Arjuna untuk menghadapi lawan-lawannya. Jimat Kalimosodo adalah senjata pamungkas Pandawa untuk mengalahkan Kurawa. Dalam bahasa Dakwahnya: Kalimat Syahadat adalah kata kunci masuk Islamnya seseorang— yang awalnya jahat (Kurawa) menjadi baik (Pandawa). Sayangnya, dakwah kultural itu sekarang mengalami degradasi.
Toleransi beragama misalnya kini berada di tebing jurang. Toleransi beragama kini dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal, tetapi sudah menjadi sesuatu yang nyaris langka. Kondisinya bahkan makin menyempit lagi. Sebagian umat Islam tidak hanya merusak gereja, tapi juga merusak masjid-masjid yang pengajiannya dianggap tidak sejalan dengan umat Islam mayoritas.
Ada sekelompok umat Islam bahkan mau bunuh diri dan membunuh orang lain atas nama dakwah. Kondisi ini jelas memprihatinkan. Untuk mengatasi hal itu, umat Islam harus segera mengubah strategi dakwahnya. Umat Islam tampaknya harus merevitalisasi dakwah Wali Sanga untuk menghidupkan spirit dan esensi Islam sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad.
Di masa depan, ketika hak asasi manusia (HAM) dan humanisme menjadi isu sentral kemanusiaan di seluruh dunia (global), dakwah dengan pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan seperti diajarkan Wali Sanga dan telah dipraktikkan Uje perlu dihidupkan kembali. Alquran menyatakan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku untuk saling menghormati.
Sedangkan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa (Al-Hujarat 13). Dalam konteks inilah seharusnya dakwah di masa depan harus berpijak! Berpijak pada basis kultural seperti yang telah dipraktikkan Uje dengan gayanya yang gaul dan humanis! ●
Maklumlah, Ustad Jefry seorang dai yang bisa memasuki semua kalangan dengan “cara”-nya yang indah, penuh humor, namun tidak kehilangan sentuhan dan ajakan untuk mendekat kepada Allah. Itulah sebabnya, begitu banyak masyarakat yang ikut takziah dan mengiringi kepergiannya ke haribaan Ilahi Rabbi. Apa yang menarik dari Uji— panggilan Ustad Jefry Al Buchori—adalah julukannya sebagai ustad gaul. Julukan ini mempunyai makna yang dalam dari aspek kultural.
Ini karena gaul mempunyai makna akrab, toleran, dan mempunyai empati kepada siapa pun. Menurut pengakuan teman-temannya, Uje memang seorang yang tidak pernah mau menyakiti temantemannya. Dia selalu menghibur orang-orang di sekitarnya, baik dalam kondisi suka maupun duka. Dia bahkan sering minta doa kepada orang-orang awam yang secara kasatmata jauh di bawah level dirinya.
Ini berbeda dengan tradisi minta doa yang umum yang biasanya minta kepada orangorang tertentu yang dianggap alim atau ulama. Dengan pendekatan inilah, Uje memperluas akses sasaran dakwahnya. Ini strategi dakwah kultural yang emansipatoris. Uje, sadar atau tidak, telah melakukannya dengan sangat baik.
Dengan kata lain, Uje telah menerapkan prinsip-prinsip toleransi dan saling menghormati dengan mengembangkan pendekatan kemanusiaan (humanis) dan kebudayaan (kultural) dalam dakwah seperti dilakukan Rasulullah. Metode dakwah ini pula yang telah dipraktikkan oleh penyebar Islam di Pulau Jawa abad XV.
Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq, seorang Wali Sangha (Wali Suci, biasa dikenal Wali Sanga atau Wali Sembilan, yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa) mengajarkan metode dakwah dengan pendekatan kebudayaan yang toleran. Metode dakwah Sunan Kudus ini juga telah dilakukan sebelumnya oleh Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga dalam menjalankan dakwahnya selalu mengadopsi kearifan budaya lokal di mana “murid-murid dan pengikut-pengikut”-nya berada. Salah satu nilai toleransi yang diperlihatkan Sunan Kudus terhadap pengikutnya dalam dakwah adalah melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya saat Idul Qurban. Hal itu dilakukan Sunan Kudus untuk menghormati pengikut agama Hindu yang saat itu mayoritas dan menjadi sasaran dakwahnya.
Di zaman Sunan Kudus, sapi juga sering ditempatkan di dekat masjid. Ini pun sebuah cara untuk memberitahukan kepada umat Hindu bahwa Islam juga menghargai sapi. Menghargai sapi (binatang) bukan untuk disembah, melainkan menghargai sesama makhluk Allah seperti yang diajarkan Islam. Sebagai gantinya, Sunan Kudus meminta murid-muridnya untuk menyembelih kerbau di hari Idul Qurban.
Sampai hari ini pun kita lihat, daging kerbau masih lebih merakyat di Kudus ketimbang daging sapi. Langkah Sunan Kudus tersebut mengundang rasa simpati masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal dan dari sanalah pintu dakwah Islam terbuka lebar. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas saat itu dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat “sapi”—bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudu di masjid Kudus. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika.
Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Buddha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat Hindu saat itu. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Buddha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara di masjid tersebut. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat azan dan tempat untuk memukul beduk setiap kali datang bulan Ramadan. Kini menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus. Strategi dakwah Sunan Kudus dengan pendekatan budaya tersebut jelas amat efektif dalam mengislamkan orang Jawa yang beragama Hindu. Apalagi kemudian Sunan Bonang menciptakan wayang berikut gendingnya yang kemudian ditransformasikan ke dalam Islam.
Sunan Bonang menciptakan dongeng kesaktian jimat Kalimososo (kalimat Syahadat) yang dipakai Arjuna untuk menghadapi lawan-lawannya. Jimat Kalimosodo adalah senjata pamungkas Pandawa untuk mengalahkan Kurawa. Dalam bahasa Dakwahnya: Kalimat Syahadat adalah kata kunci masuk Islamnya seseorang— yang awalnya jahat (Kurawa) menjadi baik (Pandawa). Sayangnya, dakwah kultural itu sekarang mengalami degradasi.
Toleransi beragama misalnya kini berada di tebing jurang. Toleransi beragama kini dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal, tetapi sudah menjadi sesuatu yang nyaris langka. Kondisinya bahkan makin menyempit lagi. Sebagian umat Islam tidak hanya merusak gereja, tapi juga merusak masjid-masjid yang pengajiannya dianggap tidak sejalan dengan umat Islam mayoritas.
Ada sekelompok umat Islam bahkan mau bunuh diri dan membunuh orang lain atas nama dakwah. Kondisi ini jelas memprihatinkan. Untuk mengatasi hal itu, umat Islam harus segera mengubah strategi dakwahnya. Umat Islam tampaknya harus merevitalisasi dakwah Wali Sanga untuk menghidupkan spirit dan esensi Islam sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad.
Di masa depan, ketika hak asasi manusia (HAM) dan humanisme menjadi isu sentral kemanusiaan di seluruh dunia (global), dakwah dengan pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan seperti diajarkan Wali Sanga dan telah dipraktikkan Uje perlu dihidupkan kembali. Alquran menyatakan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku untuk saling menghormati.
Sedangkan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa (Al-Hujarat 13). Dalam konteks inilah seharusnya dakwah di masa depan harus berpijak! Berpijak pada basis kultural seperti yang telah dipraktikkan Uje dengan gayanya yang gaul dan humanis! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar