Rabu, 22 Mei 2013

Solidaritas Antikorupsi


Solidaritas Antikorupsi
Adnan Topan Husodo ;  Anggota Perkumpulan Indonesia Corruption Watch (ICW); Mahasiswa S-2 Program Development Studies University of Melbourne
KORAN TEMPO, 21 Mei 2013

Sejak reformasi bergulir dan pemilu "demokratis" untuk pertama kalinya digelar setelah lengsernya kekuasaan otoritarian Order Baru, Indonesia memasuki fase transisi menuju demokrasi. Salah satu ciri yang bisa dijelaskan dari proses itu adalah lahirnya banyak partai politik dengan berbagai macam latar belakang ideologi-setidaknya sebagaimana tercantum dalam AD/ART partai-munculnya aktor demokrasi, pers yang cukup bebas, lahirnya institusi penyelenggara pemilu yang relatif independen dengan pemerintah berkuasa, dan berkembangnya kelompok non-government organization yang menyuarakan beragam agenda perubahan. Namun, setelah melalui masa transisi yang lumayan panjang, eksistensi demokrasi yang diharapkan justru berlumur noda korupsi. Korupsi lantas menjadi ciri dominan dari periode reformasi di Indonesia.
Bisa dikatakan, hampir tidak ada ruang yang bebas dari korupsi, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai kajian, studi, survei, penelitian, ataupun publikasi media massa, baik lokal maupun nasional. Upaya pemberantasan korupsi yang berkesinambungan dari satu presiden ke presiden berikutnya tampak tidak berhasil membangun sistem tata kelola pemerintahan yang bersih. Bahkan lembaga politik (partai) yang diharapkan menjadi panglima dalam pemberantasan korupsi justru babak belur dihantam isu korupsi yang menjerat para elitenya. Termasuk partai yang selama ini dipersepsikan bersih, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga diterpa kasus dugaan korupsi-bahkan lebih dramatis-karena melibatkan presidennya.
Pertanyaannya, mengapa persepsi tentang lembaga negara, baik partai, penegak hukum, maupun badan pemerintah yang dianggap relatif bebas dari korupsi sering kali tak cukup bertahan lama. Lebih lanjut, mengapa dugaan korupsi-untuk menghormati proses penegakan hukum yang belum final-juga sanggup memperdayai kalangan tertentu yang dianggap lebih kebal terhadap korupsi karena memiliki nilai moralitas tertentu, seperti nilai agama, sebagai contoh? Lantas, adakah sistem nilai yang bisa diharapkan untuk melawan korupsi yang telah berurat akar?
Good governance
Sejatinya, proyek good governance di Indonesia tidak berasal dari orisinalitas konsep yang melekat pada budaya, sistem, dan tradisi Indonesia sendiri, melainkan pendekatan yang berangkat dari krisis ekonomi sebagai akar persoalan. Adalah lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan lembaga multi-donor lainnya, yang mempromosikan secara gencar agenda antikorupsi sebagai salah satu instrumen untuk memperbaiki sistem ekonomi nasional yang porak-poranda. 
Ada dua persoalan besar yang melekat pada pendekatan ini. Pertama, isu antikorupsi menjadi sangat instrumental karena mengabdi pada tujuan yang lebih besar, yakni pembangunan ekonomi. Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah-salah satunya-praktek korupsi. Maka, ukuran korupsi atau tidaknya sebuah negara adalah bilamana sistem tata kelola pemerintahan yang ada ramah, efektif, dan efisien terhadap iklim bisnis dan investasi.
Kedua, persoalan yang melekat pada konsep antikorupsi yang didatangkan dari pengalaman sejarah serta konteks sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda adalah kekurangannya dalam mengidentifikasi persoalan korupsi yang merajalela di negara tertentu. Mungkin saja ada formula generik untuk memerangi korupsi, meski hasilnya akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain. Korupsi, bagaimanapun, adalah fenomena kompleks, yang di dalamnya melibatkan banyak faktor dan berada pada ruang sosial-ekonomi dan politik tertentu. Karena itu, membaca persoalan korupsi tidak bisa hanya dengan satu sudut pandang belaka, melainkan membutuhkan kacamata yang multi-disipliner.
Civil society
Pengalaman Indonesia dalam memerangi korupsi merupakan pengalaman berharga untuk merefleksikan kembali dari mana kita akan mulai membenahi bangsa ini. Selama ini, pendekatan good governance di Indonesia terlalu bertopang pada program penegakan hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa disebut sebagai pusat dari upaya dan perang melawan korupsi. Meski selama ini hasilnya cukup menjanjikan, pelaku korupsi bak pepatah, mati satu tumbuh seribu. KPK ibarat pemadam kebakaran, yang harus mematikan api, tapi sumber api berada di berbagai tempat.
Karena itu, bertumpu pada penegakan hukum saja tidak cukup, meski KPK perlu terus didukung dan diawasi kinerjanya. Korupsi tampaknya bukan sesuatu yang sederhana dan dirumuskan hanya dalam penjumlahan niat dan kesempatan. Kejahatan ini bertahan serta berkembang dalam struktur dan kultur yang mendukungnya. Korupsi juga sepertinya mencerminkan penyakit kita (masyarakat dan elitenya) sebagai bangsa yang dikenal ugal-ugalan di jalan raya, pemuja materialisme, semrawut, amuk (represif), serta menggilai pangkat dan jabatan.
Mungkin kita merindukan hal yang sama dengan negara lain yang pejabatnya mengundurkan diri jika terkena skandal, meski kasusnya belum dibuktikan di pengadilan. Namun adanya tradisi semacam itu tidak lahir secara instan, melainkan dari pergulatan dan proses dialektik antar-individu, kelompok, dan berbagai macam faktor lainnya yang membentuk nilai bersama serta pada akhirnya menjadi pressure alamiah jika terjadi penyimpangan.
Dengan demikian, logis jika pemberantasan korupsi mensyaratkan masyarakat yang aktif, solid, serta memiliki nilai bersama yang dapat menjadi pegangan dan solidaritas. Solidaritas korupsi harus dilawan dengan solidaritas antikorupsi. Pada akhirnya, kita tidak hanya membutuhkan lembaga, undang-undang, aturan, dan petunjuk pelaksanaan-petunjuk teknis lainnya untuk memberantas korupsi. Yang lebih esensial, kita membutuhkan lompatan transformatif untuk menjadi masyarakat baru yang sanggup-dengan sistem nilainya-mengontrol dan mengoreksi perilaku pejabat publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar