|
IndoPROGRESS, 08 Mei 2013
SELAMA
lebih dari satu dekade, diskursus mengenai Islam dan Muslim di Indonesia,
didominasi oleh kalangan Islam Liberal dan Islam Fundamentalis. Dan dalam
konteks konsolidasi demokrasi, menarik untuk melihat bagaimana produksi wacana
kalangan Muslim pro-demokrasi di Indonesia.
Dalam
amatan saya, selama ini produksi wacana politik Muslim pro demokrasi di
Indonesia pasca Orde Baru masih terpaku pada pendekatan kultural dan dan
teologis. Kelemahan utama dari pendekatan ini adalah melewatkan realitas bahwa
praktik wacana kaum Muslim Pro-Demokrasi di Indonesia tidak berjalan di ruang
hampa kekuasaan. Mengingat kenyataan konkrit politik Islam pasca Orde baru
memunculkan proses persinggungan dialektis antara penyebaran ide dengan konteks
struktural dari bekerjanya relasi kekuasaan ekonomi-politik. Kontestasi dan
konsolidasi di antara kekuatan-kekuatan politik ini bekerja untuk memperkuat
posisi kekuasaan maupun kemakmuran kelompoknya melalui aksi politik di dalam
proses kelembagaan politik yang tengah berjalan (Richard Robison 2010; 25).
Dalam
konteks demikian, agensi Muslim Pro-Demokrasi bukanlah entitas yang steril dari
penggelaran pertarungan kekuasaan tersebut. Mereka adalah bagian dari aktor
yang terlibat dalam proses kontestasi dengan melakukan aliansi politik atau
melawan kekuatan-kekuatan sosial yang tengah bertarung. Melalui pendekatan ini
kita dapat memahami bagaimana proses interaksi antara pemikiran kalangan Muslim
beserta ideologinya berkorespondensi dengan formasi struktur ekonomi politik
yang menyejarah, tempat berlangsungnya pertarungan konkret di antara aliansi
kekuatan-kekuatan sosial sebagai konteks sosial kalangan Muslim berinteraksi
dalam ruang politik di Indonesia.
Kategori
Muslim pro-demokrasi yang digunakan dalam artikel ini tidak digunakan secara
longgar, dalam artian semua kalangan aktor-aktor politik Muslim yang
memanfaatkan proses politik dalam kelembagaan politik demokrasi untuk
memperjuangkan tujuan-tujuan politiknya. Pengertian Muslim pro-demokrasi
merujuk pada kalangan aktor-aktor Muslim yang memiliki komitmen terhadap
perjuangan kesetaraan dalam hak-hak sipil dan politik, memperjuangkan ide-ide
toleransi dan pluralisme dalam bingkai kebangsaan, dan memisahkan diri dari
agenda politik menegakkan syariah dan Negara Islam. Perjuangan kaum Muslim
pro-demokrasi ini memiliki komitmen terhadap penafsiran Pancasila sebagai
sebuah pijakan ideologi bersama warga Negara Indonesia dengan tidak
mengutamakan ideologi Islam di atas yang lainnya. Dari pembatasan ini, tulisan
ini tidak terbatas pada menguji komitmen mereka terhadap nilai-nilai kultural
demokrasi (toleransi, pluralisme dan nilai-nilai inklusifitas) serta perjuangan
hak sipil dan politik, namun juga memotret komitmen kaum Muslim pro-demokrasi
terhadap-agenda yang selama ini tak tersentuh dalam wacana Islam dan demokrasi
di Indonesia- berbagai bentuk imperatif dalam ekonomi-politik liberal (menolak
distorsi politik terhadap berjalannya ekonomi pasar, pemerintahan yang
transparan, anti oligarkhi dan aliansi bisnis-politik, penciptaan kondisi
politik demokratik yang bersih dari praktik politik uang, korupsi serta agenda
politik liberal lainnya).
Dari
pembacaan atas interaksi antara ideologi kaum Muslim demokratis, tindakan
agensi yang mereka lakukan dan pertemuannya dengan struktur ekonomi-politik
yang tengah berproses di Indonesia pasca-otoritarianisme, kita menemukan bahwa
sebuah ide tidak begitu saja secara determinatif membentuk praktik dan tindakan
politik dari suatu kelompok. Sebagai contoh, perjuangan politik
aktor-aktor Muslim pro-demokrasi di Indonesia tidak dapat begitu saja kita
nilai dari corak pemikiran yang mereka usung lengkap dengan segenap uraiannya
(Islam Liberal, civil Islam, Islam Moderat). Yang terjadi, gagasan tersebut dapat
terseleksi, mengalami proses deviasi atau menjelma menjadi sebuah praktik
politik yang berbeda dengan ide awalnya, yang mana hal itu sangat ditentukan
oleh pertemuan atau perselisihan kepentingan dari aktor yang mengusungnya
dengan koalisi sosial yang mereka bangun. Sehingga, dalam pemahaman akan
kontestasi diskursus Islam di Indonesia pasca-Orde Baru ini tidak melupakan
bagaimana bias kepentingan ekonomi-politik mempengaruhi praksis ideologi yang
bekerja dalam kontestasi politik tersebut, serta kendala konkret apa yang
muncul dari implementasi gagasan dalam realitas politik, dan bagaimana kita
memahami relasi antara wacana dan praktik politik dalam struktur
ekonomi-politik di dalamnya.
Terkait dengan kajian Muslim
pro-demokrasi di Indonesia yang cenderung menggunakan kajian kultural dan
menekankan pada aspek social capital (Robert W Hefner, Civil
Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000; Luthfi
Assyaukanie, Islam and The Secular State in Indonesia, 2009;
dan Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan
Partisipasi Politik di Indonesia, 2007. Perspektif kultural ini
memiliki persoalan setidaknya dalam tiga aspek:
Pertama, asumsi bahwa kalangan Muslim demokrat dalam dirinya adalah agensi utama yang mempromosikan nilai-nilai civic culture dan toleransi, sehingga dengan sendirinya kehadiran mereka akan menjadi penggerak bagi proses demokratisasi di Indonesia. Meskipun karya Robert W. Hefner dalam Civil Islam juga menyinggung aspek sosial ekonomi dan persoalan politik kuasa, namun demikian unsur tersebut tidak menjadi kerangka teorinya dalam menganalisis kaum Civil Islam di Indonesia. Dalam perspektif strukturalis, pendekatan kultural ini problematik, karena seperti diutarakan Salwa Ismail dalam Rethinking Islamist Politics: Culture, The State and Islamism (2006; 16-17), diskursus Muslim dan aktor yang mengartikulasikannya terikat pada situasi historis yang spesifik, dimana makna dan tindakan ditentukan dalam hubungannya dengan kondisi basis material dan hubungan-hubungan institusional maupun posisi tiap-tiap aktor dalam kekuasaan. Ketika kita melupakan relasi antara wacana yang diartikulasikan baik dengan kondisi material maupun posisi agensi dalam kekuasaan, maka kita melupakan apa hambatan-hambatan sosial yang membatasi bergulirnya suatu wacana maupun kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh struktur ekonomi-politik untuk mendukung bergulirnya sebuah gagasan dalam ruang sosial.
Pertama, asumsi bahwa kalangan Muslim demokrat dalam dirinya adalah agensi utama yang mempromosikan nilai-nilai civic culture dan toleransi, sehingga dengan sendirinya kehadiran mereka akan menjadi penggerak bagi proses demokratisasi di Indonesia. Meskipun karya Robert W. Hefner dalam Civil Islam juga menyinggung aspek sosial ekonomi dan persoalan politik kuasa, namun demikian unsur tersebut tidak menjadi kerangka teorinya dalam menganalisis kaum Civil Islam di Indonesia. Dalam perspektif strukturalis, pendekatan kultural ini problematik, karena seperti diutarakan Salwa Ismail dalam Rethinking Islamist Politics: Culture, The State and Islamism (2006; 16-17), diskursus Muslim dan aktor yang mengartikulasikannya terikat pada situasi historis yang spesifik, dimana makna dan tindakan ditentukan dalam hubungannya dengan kondisi basis material dan hubungan-hubungan institusional maupun posisi tiap-tiap aktor dalam kekuasaan. Ketika kita melupakan relasi antara wacana yang diartikulasikan baik dengan kondisi material maupun posisi agensi dalam kekuasaan, maka kita melupakan apa hambatan-hambatan sosial yang membatasi bergulirnya suatu wacana maupun kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh struktur ekonomi-politik untuk mendukung bergulirnya sebuah gagasan dalam ruang sosial.
Kedua, kajian atas
wacana Islam dan demokrasi di Indonesia yang menekankan pengaruh gagasan,
orientasi etis dan wacana dalam mempengaruhi ruang publik di Indonesia juga
tidak mempertimbangkan bagaimana interaksi dialektik antara gagasan dan kondisi
sosial yang dihadapi mempengaruhi posisi wacana dalam proses politik yang
terjadi. Seperti diutarakan Vedi R. Hadiz dan Khoo Boo Teik dalam C
ritical Connections: Islamic Politics and Political Economy in Indonesia and
Malaysia (2010), memahami politik Islam tidak dapat dijelaskan merujuk
pada Islam itu sendiri maupun hanya pada variabel budaya saja. Pembacaan yang
seksama tentang realitas politik Islam, harus terintegrasi dengan basis sosial
dari kelompok Islam, transformasi kapitalisme yang berjalan, kebijakan negara,
kontur kehidupan ekonomi dan dinamika kebangkitan kekuatan Islam yang bekerja.
Pandangan ini sejalan dengan
analisis mendiang Fred Halliday, professor kajian Hubungan Internasional asal London School of Economics and Political
Theory (LSE), dalam karyanya The Middle East and International
Relations: Power, Politics and Ideology (2005), ketika ia mengritik
beberapa pendekatan esensialis tentang Islam Politik yang menggunakan
nilai-nilai kultural Islam sebagai variabel utama untuk menjelaskan politik
Islam di Timur Tengah. Menurut Halliday, ketika kita menyadari pentingnya
variabel budaya dalam politik bukan berarti kita menempatkannya sebagai faktor
utama yang menentukan analisis politik kita atas suatu subyek seperti Islam
Politik. Dalam bingkai analisis ekonomi-politik, berbagai faktor seperti
kepentingan, konfigurasi kelas, struktur kuasa yang menyejarah dalam politik
Islam harus mendapatkan posisi penting dalam membaca dinamika politik Islam.
Sehingga alih-alih menempatkan secara tautologis eksisnya kaum Muslim
Demokratik sebagai premis utama yang harus ada bagi keberlangsungan demokrasi
di Indonesia, maka analisis politik Islam berbasis ekonomi-politik ini mesti
melihat bagaimana hubungan antara ideologi yang diperjuangkan oleh kalangan
Muslim Demokratik dengan tindakan politik yang terjadi dalam hubungannya dengan
kekuatan-kekuatan politik yang ada. Hubungan mana bisa berbentuk konflik maupun
kerjasama saling menguntungkan.
Ketiga, determinasi
variabel modal sosial (social capital)
dalam karya-karya mereka tentang Islam dan demokrasi membuatnya mengabaikan
pengaruh struktur sosial yang timpang, yang berpengaruh atas peran modal sosial
dalam membangun tradisi demokrasi. Gagasan tentang modal sosial sendiri awalnya
digunakan oleh Pierre Bourdeau dalam artikelnya berjudul Le Capital
sociale: notes provisoires (1980), sebagai elemen dalam formasi kapital
yang mempengaruhi pembentukan konfigurasi sosial dan pertarungan kelas dalam
wahana budaya. Robert Putnam dalam Making Democracy Works: Civic
Traditions in Modern Italy (1993), kemudian memodifikasi dan memotong
tendensi konflik dan pertarungan kelasnya dengan mendefinisikannya sebagai
sifat dari organisasi sosial seperti jejaring (network), norma,
kepercayaan sosial (social trust) yang memfasilitasi kerjasama untuk
mencapai keuntungan bersama. Gagasan ini selanjutnya bergaung besar dan
digunakan sebagai elemen utama dalam proyek-proyek pembangunan Good Governance.
Seperti diutarakan oleh John Harris dalam Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital (2002; 6), yang mengritik penggunaan variabel social capital dalam diskursus pembangunan, bahwa analisis social capital digunakan dalam kajian pembangunan maupun analisis sosial untuk mempertemukan aparatus negara, agensi pembangunan dan aktor bisnis untuk membangun aksi kolektif. Karena itu, analisis yang berpijak pada variabel modal sosial ini melupakan variabel struktural relasi kuasa yang eksis (existing power relationship) yang mempengaruhi ketimpangan sosial maupun posisi tawar dari masing-masing aktor. Bagi Harris, modal sosial adalah instrumen anti-politik dalam narasi pembangunan untuk menempatkan kajian pembangunan semata-mata sebagai proses kolaborasi antara aktor strategis pembangunan dan melupakan pengaruh dari distribusi kekuasaan maupun variabel dominasi elite politik dalam tatanan sosial yang eksis di dalamnya. Dalam konteks struktur ekonomi politik yang korup yang ditandai dengan hadirnya oligarkhi ekonomi politik yang menentukan ruang publik paska rezim otoriter, maka pendekatan modal sosial bukan saja tidak dapat bekerja namun aktivasi nilai-nilai tersebut di dalamnya berpeluang memperkuat bekerjanya tatanan sosial yang cenderung korup tersebut.
Berangkat
dari pembacaan kritis atas pendekatan kultural yang begitu kuat mempengaruhi
cara pandang terhadap kajian politik Islam di Indonesia pasca-otoritarianisme,
ada beberapa pertanyaan kritis yang patut untuk diletakkan diatas meja. Dalam
konteks bertahtanya kekuatan oligarkhis yang memegang konsentrasi kekuasaan
ekonomi-politik yang melimpah dan mampu berdiri di atas hukum dan kelembagaan
demokrasi serta menggunakan kekuasaan mereka untuk membayar institusi-institusi
demokrasi seperti di Indonesia (Jeffrey Winters 2011), dimanakah letak dari
kekuatan aktivisme maupun intelektual Islam pro-demokrasi maupun liberal?
Apakah mereka mampu menghadapi pembajakan kelembagaan politik demokrasi dan
konsisten dengan agenda demokrasi liberal mereka, ataukah mereka justru
terserap menjadi instrumen dan kaki tangan dari kekuatan oligarkhis tersebut
yang kontras dengan agenda-agenda reformis yang selama ini mereka kumandangkan?
Jawaban atas pertanyaan
tersebut agaknya mengkhawatirkan bagi arah masa depan kalangan Muslim
Demokratik liberal di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa aktor-aktor strategis
dari kalangan ini dalam real aliansi formasi ekonomi-politik di Indonesia,
telah terinkorporasi dan bergantung secara basis material dengan kekuatan
politik oligarkhis tersebut sebagai lembaga pemikiran yang memberikan supply pengetahuan-pengetahuan
liberal terhadapnya. Akibatnya, aktivitas-aktivitas predatoris dan pembajakan
lembaga demokrasi maupun tatanan pelembagaan hukum dan ekonomi politik yang
dilakukan oleh kalangan oligarkhis tertutupi oleh pencitraan diskursus liberal
yang diolah dan ditampilkan oleh para intelektual-intelektual kondang pendukung
gagasan Islam demokratik-liberal. Pada beberapa kasus yang menyangkut
penghancuran hak milik privat dan penghancuran ekologis, seperti pada kasus
lumpur Lapindo, para proponen Islam demokratik-liberal yang telah menjadi kaki
tangan oligarkhis terbukti bungkam seribu basa.
Sementara para aktivis Muslim
demokratik yang masuk didalam arus politik formal dan memiliki jabatan-jabatan
strategis didalam partai, telah terjebak dalam permainan predatoris yang dalam
sirkulasi kapital yang bergulir semuanya berujung pada pertarungan bertendensi
demokrasi kriminal oleh para elite-elite oligarkhis di Indonesia (seperti pada
kasus bank Century, penggelapan pajak maupun kasus Hambalang dan Wisma Atlet).
Sehingga meskipun dalam konteks ide mereka menyodorkan agenda-agenda
reformasi liberal secara ekonomi-politik, dan sesekali menunjukkan bahwa mereka
juga memiliki perhatian terhadap agenda-agenda politik progresif, namun dalam
akar koalisi ekonomi-politik yang mereka bangun terindikasi ikut terlibat atau
diam terhadap bentuk-bentuk manifestasi praktik demokrasi kriminal di Indonesia.
Beberapa
fakta-fakta sosial di atas agaknya menyajikan gambaran muram tentang aktivitas
politik kalangan Muslim Demokratik di Indonesia, apabila dilihat dari konteks
pertautan kepentingannya dengan kontestasi kekuatan sosial di Indonesia? Selama
15 tahun terakhir, ternyata mereka tidak memiliki perhatian serius atas
agenda-agenda demokrasi yang mereka perjuangkan sendiri, seperti penegakan
hukum yang imparsial, pemberantasan korupsi, penyelenggaraan pemilu yang fair
maupun agenda-agenda pembangunan yang melayani kepentingan publik (mengingat
pada ranah-ranah tersebutlah kerapkali kaum oligarkh melakukan aktivitas
pembajakan demokrasi). Pada kenyataannya mereka tidak memiliki perhatian serius
terhadap agenda-agenda yang menjadi jargon politik liberal mereka sendiri,
ketika dalam praktiknya hal itu bertentangan dengan kepentingan kaum oligarkhi.
Sehingga, sebenarnya perhatian utama mereka hanyalah pada relasi-relasi formasi
kekuatan sosial dominan yang dapat memberikan, merawat dan menjaga kemakmuran
mereka sendiri. Akhirnya, penglihatan tajam terhadap agenda Muslim demokrasi
ini membawa pada sebuah teguran keras bagi para aktivisnya, karena alih-alih
mereka menjadi pejuang otentik demokrasi seperti yang mereka suarakan
selama ini, sebaliknya kaum Muslim demokratik liberal inilah yang menjadi
bagian dari penghalang dan masalah dari agenda demokrasi yang selama ini mereka
kemukakan.
Kenyataan ini menjadi sebuah peringatan penting bagi
kalangan Muslim demokratik progresif, bahwa deviasi dan kontradiksi internal
dalam gagasan liberal yang tengah menjadi praktik aktor demokrasi Muslim
Indonesia, tengah membawa praktik politik ide-ide pengetahuan liberal di
Indonesia menuju takdir kebangkrutannya. Inilah saatnya menempuh jalan lain,
jalan baru yang lebih bermartabat dan terhormat bersama-sama dengan koalisi
rakyat dan kekuatan sosial yang selama ini tertindas di Indonesia, untuk
mengusung artikulasi kepentingan mereka bersama dengan kelompok-kelompok yang
beragam mengusung agenda demokrasi progresif abad ke-21. ●
Kepustakaan:
Assyaukanie, Luthfi (2009). Islam and the Secular State in
Indonesia. ISEAS.
Bourdieu, Pierre. (1980). Le Capital Social: Notes
Provisoires. Actes de la Recherce en
Science Sociales.
Hadiz, Vedi R dan Khoo Boo
Teik (2010), Critical Connections: Islamic
Politics and Political Economy in Indonesia and Malaysia. Institute of Developing Economics.
Harriss, John (2002). Depoliticizing Development: The
World Bank and Social Capital. Anthem Press.
Hefner, Robert W. (2000). Civil Islam: Muslims and
Democratization in Indonesia. Cambridge.
Halliday, Fred (2005). The Middle East in
International Relations: Power, Politics and Ideology.Cambridge
Ismail, Salwa (2006). Rethinking Islamist Politics: Culture,
the State and Islamism. IB Tauris.
Mujani, Saiful (2007). Muslim Demokrat: Islam, Budaya
Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia. Gramedia.
Putnam, Robert. (1993). Making Democracy Works: Civic
Traditions in Modern Italy. Princeton NJ.
Robison, Richard (2010). How Policy Agendas are Shaped
by Different Concepts of Political Economy. The Elephant in the Room: Politics
in the Development Problem. ADRA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar