|
MEDIA
INDONESIA, 16 Mei 2013
KETIKA dunia sedang larut dalam
euforia peringatan May Day 2013 sebagai momentum perjuangan buruh untuk
mendapatkan hak-hak konstitusionalnya, publik tiba-tiba dikejutkan kabar
praktik perbudakan di Desa Lebak Wangi, Sepatan, Tangerang, Banten. Ditemukan,
34 buruh menjadi korban praktik perbudakan dalam industri rumahan yang
menghasilkan aneka panci dan wajan dari aluminium bekas. Dengan dibantu
sejumlah centeng termasuk dari oknum aparat Polri dan TNI, Juki Irawan selaku
pemilik CV Cahaya Logam tega mengintimidasi dan menyekap buruhnya selama
berbulan-bulan. Para buruh mengaku sering disiksa dan dipaksa bekerja 18
jam/hari hanya dengan pasokan makanan ala kadarnya.
Lebih ironis lagi karena semua barang pribadi milik para
buruh disita dan mereka hanya mengenakan pakaian lusuh, kumal, dan kotor.
Mereka pun tidur berdesakan dalam satu kamar yang hanya beralaskan tikar, tak
ubahnya seperti tahanan. Selama bekerja, mereka sama sekali tak pernah menerima
gaji. Meski jumlah mereka lebih besar daripara centeng yang menindas, mereka
tak berani melawan karena mengalami trauma berat lantaran mendapat teror berupa
ancaman penembakan dari oknum aparat yang menjadi beking sang majikan.
Melalui penelusuran sedemikian rupa, mereka ternyata juga
menjadi korban human trafficking dari para calo buruh yang diupah secara khusus
oleh sang majikan. Memang begitulah karakteristik perbudakan yang pernah
dipraktikkan dari masa ke masa.
Tragedi perbudakan yang menimpa 34 buruh di pabrik panci
milik Juki Irawan sebagian dialami juga sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI)
yang bekerja di Malaysia ataupun Timur Tengah. Karena mereka didatangkan ke
negara tersebut dengan biaya yang cukup besar, setiap majikan yang berminat
mempekerjakan mereka harus membayar fulus cukup mahal. Akibatnya, mereka sebetulnya
diperlakukan sebagai objek perdagangan orang, yang pada masa lalu disebut budak
belian. Tragisnya karena, sebagian besar di antara mereka tidak dilengkapi
dengan dokumen resmi sehingga dianggap pendatang haram.
Penderitaan mereka semakin lengkap karena tingkat
pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki sangat minim. Tidak mengherankan
jika mereka benar-benar dianggap sebagai budak oleh majikannya sehingga
diperlakukan dengan cara apa pun termasuk diperkosa atau dibunuh, dan itu merupakan
hal yang dianggap halal. Lebih mengherankan lagi, di daerah asal, mereka kerap
disanjung sebagai pahlawan devisa. Keluarga yang di tinggal sering berkhayal
akan mendapat kiriman ringgit atau riyal yang sanggup untuk mengubah nasib.
Padahal, yang sering datang malah jenazah kalau bukan dalam keadaan sakit parah
atau hamil. Begitulah nasib para pahlawan devisa yang berujung pada korban
perbudakan.
Dilindungi aparat
Sayangnya, dari sekian banyak kasus perbudakan yang telah
menimpa sebagian anak negeri, hampir semuanya menguap tanpa ada tindakan hukum
yang adil bagi korban dan keluarganya. Kalau pun ada, umumnya hanya di tangani
ala kadarnya. Tengoklah kesimpulan hasil investigasi yang dilakukan Komnas HAM
terhadap kasus perbudakan di Lebak Wangi, Tangerang. Semua pelaku hanya
digiring dalam konteks ordinary crime
menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Itu sangat tragis karena praktik perbudakan dalam UU No 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sudah merupakan extraordinany crime dengan kualifikasi pelanggaran HAM berat,
khususnya pada kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). Rangkaian kejahatan yang dilakukan Juki
Irawan dan para centengnya sungguh-sungguh telah memenuhi unsur delik yang
tertuang dalam Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, khususnya para huruf C (perbudakan
an perdagangan orang), huruf E (perampasan kemerdekaan), huruf F (penyiksaan),
dan huruf H (penganiayaan).
Pemandangan yang jauh lebih memiriskan hati tampak pada
proses penegakan hukum oleh kepolisian atas perkara tersebut. Meski para buruh
yang menjadi korban perbudakan telah menyampaikan testimoni secara gamblang
tentang keterlibatan oknum aparat dalam kasus itu, terdapat indikasi yang kuat
bahwa polisi berupaya keras melokalisasi penegakan hukum hanya pada Juki Irawan
dengan mandornya. Adapun keterlibatan oknum aparat cenderung dikesampingkan
dengan alasan yang dicari-cari. Misalnya, “Mereka
hanya berteman dengan Juki dll.“ Padahal, keterangan dari para korban
menyebut oknum aparat berperan aktif mengintimidasi mereka dengan todongan
senjata, bahkan dengan tembakan ke tanah.
Namun, polisi tampak gamang dan lebih mau mendengar
keterangan Juki dan anak buahnya daripada cerita polos para korban yang
merasakan langsung penderitaan itu. Padahal, di mana pun di dunia ini pelaku
kejahatan pasti selalu menyangkal perbuatannya bahkan dengan sumpah atas nama
Tuhan sekalipun. Lebih mengherankan lagi karena polisi justru memfasilitasi
Juki Irawan tampil berwawancara di beberapa media TV untuk membantah seluruh
tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Fasilitasi polisi seperti itu sangat
diskriminatif karena hampir semua tahanan di kepolisian tidak ada yang pernah
diberi kesempatan sebagaimana yang dinikmati Juki.
Bukankah itu menjadi sinyal kuat bahwa hubungan kedekatan Juki
dengan polisi sampai pada level tertentu sulit terbantahkan sehingga polisi
dalam melakukan proses penegakan hukum ter hadap kasus tersebut sudah tidak
netral dan tidak fair?
Bandingkan dengan perlakuan kepolisian terhadap tersangka
terorisme. Jangankan fasilitasi berbicara ke media untuk sekadar kunjungan
keluarga, bahkan tim advokatnya sangat dibatasi. Lebih aneh lagi, dalam
penangan kasus terorisme, semua orang yang dianggap punya hubungan dengan
tersangka langsung ditangkap, ditahan, atau langsung dieksekusi polisi meski
perannya tidak berkaitan dengan terorisme itu sendiri.
Alangkah kontras perlakuan polisi terhadap oknum aparat
yang terlibat sebagai beking Juki Irawan. Semuanya justru dilindungi sebagai
bentuk pengejawantahan loyalitas korsa. Padahal, sebagai penegak hukum, polisi
sangat paham bahwa siapa saja yang mengetahui adanya tindak pidana wajib
melapor kepada pihak yang berwenang (Pasal 1 angka 24 jo Pasal 108 ayat 2
KUHAP).
Kejanggalan penganan kasus itu oleh kepolisian sebenarnya
memang sudah terasa sejak awal. Ketika para korban didampingi Kontras melapor
ke Polsek Sepatan ataupun Polresta Tigaraksa, kedua institusi kepolisian
tersebut enggan menindaklanjuti laporan korban dengan alasan tidak cukup bukti.
Namun setelah Komnas HAM dan Kontras melaporkan kasus
tersebut Ke Mabes Polri, barulah kedua institusi yang ada di bawahnya melakukan
tindakan meski dengan kesan mereduksi dan memproteksi dugaan keterlibatan
jajaran mereka dalam perkara tersebut. Karena itu, penulis mendesak Kapolri dan
Panglima TNI agar tidak ragu-ragu mengusut dan menindak tegas anak buah pada
semua tingkatan yang diduga terlibat langsung atau tidak langsung dalam kasus
itu, terutama kapolsek dan kapolres setempat bersama pejabat lain yang diduga
menerima upeti dari Juki Irawan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar