Jumat, 17 Mei 2013

Politik Perbudakan dan Kegamangan Hukum


Politik Perbudakan dan Kegamangan Hukum
Saharuddin Daming ;  Anggota Departemen Hukum dan HAM Majelis Nasional KAHMI, Mantan Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 16 Mei 2013


KETIKA dunia sedang larut dalam euforia peringatan May Day 2013 sebagai momentum perjuangan buruh untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya, publik tiba-tiba dikejutkan kabar praktik perbudakan di Desa Lebak Wangi, Sepatan, Tangerang, Banten. Ditemukan, 34 buruh menjadi korban praktik perbudakan dalam industri rumahan yang menghasilkan aneka panci dan wajan dari aluminium bekas. Dengan dibantu sejumlah centeng termasuk dari oknum aparat Polri dan TNI, Juki Irawan selaku pemilik CV Cahaya Logam tega mengintimidasi dan menyekap buruhnya selama berbulan-bulan. Para buruh mengaku sering disiksa dan dipaksa bekerja 18 jam/hari hanya dengan pasokan makanan ala kadarnya.

Lebih ironis lagi karena semua barang pribadi milik para buruh disita dan mereka hanya mengenakan pakaian lusuh, kumal, dan kotor. Mereka pun tidur berdesakan dalam satu kamar yang hanya beralaskan tikar, tak ubahnya seperti tahanan. Selama bekerja, mereka sama sekali tak pernah menerima gaji. Meski jumlah mereka lebih besar daripara centeng yang menindas, mereka tak berani melawan karena mengalami trauma berat lantaran mendapat teror berupa ancaman penembakan dari oknum aparat yang menjadi beking sang majikan.

Melalui penelusuran sedemikian rupa, mereka ternyata juga menjadi korban human trafficking dari para calo buruh yang diupah secara khusus oleh sang majikan. Memang begitulah karakteristik perbudakan yang pernah dipraktikkan dari masa ke masa.

Tragedi perbudakan yang menimpa 34 buruh di pabrik panci milik Juki Irawan sebagian dialami juga sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia ataupun Timur Tengah. Karena mereka didatangkan ke negara tersebut dengan biaya yang cukup besar, setiap majikan yang berminat mempekerjakan mereka harus membayar fulus cukup mahal. Akibatnya, mereka sebetulnya diperlakukan sebagai objek perdagangan orang, yang pada masa lalu disebut budak belian. Tragisnya karena, sebagian besar di antara mereka tidak dilengkapi dengan dokumen resmi sehingga dianggap pendatang haram.

Penderitaan mereka semakin lengkap karena tingkat pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki sangat minim. Tidak mengherankan jika mereka benar-benar dianggap sebagai budak oleh majikannya sehingga diperlakukan dengan cara apa pun termasuk diperkosa atau dibunuh, dan itu merupakan hal yang dianggap halal. Lebih mengherankan lagi, di daerah asal, mereka kerap disanjung sebagai pahlawan devisa. Keluarga yang di tinggal sering berkhayal akan mendapat kiriman ringgit atau riyal yang sanggup untuk mengubah nasib. Padahal, yang sering datang malah jenazah kalau bukan dalam keadaan sakit parah atau hamil. Begitulah nasib para pahlawan devisa yang berujung pada korban perbudakan.

Dilindungi aparat

Sayangnya, dari sekian banyak kasus perbudakan yang telah menimpa sebagian anak negeri, hampir semuanya menguap tanpa ada tindakan hukum yang adil bagi korban dan keluarganya. Kalau pun ada, umumnya hanya di tangani ala kadarnya. Tengoklah kesimpulan hasil investigasi yang dilakukan Komnas HAM terhadap kasus perbudakan di Lebak Wangi, Tangerang. Semua pelaku hanya digiring dalam konteks ordinary crime menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Itu sangat tragis karena praktik perbudakan dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sudah merupakan extraordinany crime dengan kualifikasi pelanggaran HAM berat, khususnya pada kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). Rangkaian kejahatan yang dilakukan Juki Irawan dan para centengnya sungguh-sungguh telah memenuhi unsur delik yang tertuang dalam Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, khususnya para huruf C (perbudakan an perdagangan orang), huruf E (perampasan kemerdekaan), huruf F (penyiksaan), dan huruf H (penganiayaan).

Pemandangan yang jauh lebih memiriskan hati tampak pada proses penegakan hukum oleh kepolisian atas perkara tersebut. Meski para buruh yang menjadi korban perbudakan telah menyampaikan testimoni secara gamblang tentang keterlibatan oknum aparat dalam kasus itu, terdapat indikasi yang kuat bahwa polisi berupaya keras melokalisasi penegakan hukum hanya pada Juki Irawan dengan mandornya. Adapun keterlibatan oknum aparat cenderung dikesampingkan dengan alasan yang dicari-cari. Misalnya, “Mereka hanya berteman dengan Juki dll.“ Padahal, keterangan dari para korban menyebut oknum aparat berperan aktif mengintimidasi mereka dengan todongan senjata, bahkan dengan tembakan ke tanah.

Namun, polisi tampak gamang dan lebih mau mendengar keterangan Juki dan anak buahnya daripada cerita polos para korban yang merasakan langsung penderitaan itu. Padahal, di mana pun di dunia ini pelaku kejahatan pasti selalu menyangkal perbuatannya bahkan dengan sumpah atas nama Tuhan sekalipun. Lebih mengherankan lagi karena polisi justru memfasilitasi Juki Irawan tampil berwawancara di beberapa media TV untuk membantah seluruh tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Fasilitasi polisi seperti itu sangat diskriminatif karena hampir semua tahanan di kepolisian tidak ada yang pernah diberi kesempatan sebagaimana yang dinikmati Juki.

Bukankah itu menjadi sinyal kuat bahwa hubungan kedekatan Juki dengan polisi sampai pada level tertentu sulit terbantahkan sehingga polisi dalam melakukan proses penegakan hukum ter hadap kasus tersebut sudah tidak netral dan tidak fair?

Bandingkan dengan perlakuan kepolisian terhadap tersangka terorisme. Jangankan fasilitasi berbicara ke media untuk sekadar kunjungan keluarga, bahkan tim advokatnya sangat dibatasi. Lebih aneh lagi, dalam penangan kasus terorisme, semua orang yang dianggap punya hubungan dengan tersangka langsung ditangkap, ditahan, atau langsung dieksekusi polisi meski perannya tidak berkaitan dengan terorisme itu sendiri.

Alangkah kontras perlakuan polisi terhadap oknum aparat yang terlibat sebagai beking Juki Irawan. Semuanya justru dilindungi sebagai bentuk pengejawantahan loyalitas korsa. Padahal, sebagai penegak hukum, polisi sangat paham bahwa siapa saja yang mengetahui adanya tindak pidana wajib melapor kepada pihak yang berwenang (Pasal 1 angka 24 jo Pasal 108 ayat 2 KUHAP).

Kejanggalan penganan kasus itu oleh kepolisian sebenarnya memang sudah terasa sejak awal. Ketika para korban didampingi Kontras melapor ke Polsek Sepatan ataupun Polresta Tigaraksa, kedua institusi kepolisian tersebut enggan menindaklanjuti laporan korban dengan alasan tidak cukup bukti.

Namun setelah Komnas HAM dan Kontras melaporkan kasus tersebut Ke Mabes Polri, barulah kedua institusi yang ada di bawahnya melakukan tindakan meski dengan kesan mereduksi dan memproteksi dugaan keterlibatan jajaran mereka dalam perkara tersebut. Karena itu, penulis mendesak Kapolri dan Panglima TNI agar tidak ragu-ragu mengusut dan menindak tegas anak buah pada semua tingkatan yang diduga terlibat langsung atau tidak langsung dalam kasus itu, terutama kapolsek dan kapolres setempat bersama pejabat lain yang diduga menerima upeti dari Juki Irawan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar