Jumat, 17 Mei 2013

Kebangkitan (Politik) Nasional


Kebangkitan (Politik) Nasional
Willy Aditya ;  Direktur Eksekutif Populis Institute
MEDIA INDONESIA, 16 Mei 2013

`Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.' Als ik eens Nederlander was

KUTIPAN dari tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal itu ber nada sinisme, yang diistilahkan olehnya ibarat membangunkan bangsa besar dari tidurnya. Jika aku seorang Belanda merupakan satu permulaan kebangkitan api semangat kemerdekaan. Semangat keindonesiaan dimulai oleh kaum terdidik. Mereka melakukan pencerahan bagi jutaan masyarakat Indonesia yang dibodohkan oleh penjajahan. Melalui semangat kebangkitan nasional, kesadaran pribadi warga negara terhadap entitas kebangsaan bukanlah kesadaran sosial semata, melainkan sangat politis.

Memasuki abad 20, kesadaran-kesadaran sosial atas persamaan nasib sebagai bangsa terjajah menggerakkan kalangan terdidik pribumi untuk berkumpul. Boleh saja disebut organisasi Boedi Oetomo pada 1908 sebagai organisasi pertama yang menjadi cikal bakal kesadaran nasional, atau munculnya Serikat Dagang Islam tiga tahun sebelumnya sebagai benih perlawanan terhadap dominasi dagang yang menyulitkan pengusaha batik. Kedua organisasi itu akhirnya disadari tak mampu berbuat lebih jika tidak berjuang di ranah politik. Kemunculan Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, Parindra, bahkan Serikat Dagang Islam berganti nama menjadi Serikat Islam, dan organisasi bersifat politis lainnya, membawa tujuan-tujuan perjuangan atas nama Indonesia untuk cita-cita kemerdekaan.

Benar bahwa spirit kebangkitan nasional adalah spirit yang tak hanya mengecam penjajahan oleh bangsa asing, tapi juga semangat autokritik terhadap bangsa sendiri, yang masih tak legawa menanggalkan feodalisme di lautan keringat saudara sendiri. Semangat kebangkitan nasional adalah disobedience rakyat tertindas atas kekuasaan rajat raja kecil yang ketakutan kehir langan tanah dan penghasilan. Spirit kebangkitan itu pula yang memunculkan tokoh-tokoh nasionalis sebagai kontra bagi kaum priyayi yang mengecewakan rakyat. Setelah 105 tahun kita memperingati hari kebangkitan nasional, kita diminta kembali untuk mencari pemimpin yang mampu menerjemahkan spirit itu dalam konteks Indonesia modern.

Kesadaran politik

Jika memperhatikan perkembangan masyarakat dulu dan kini secara dialektis, kita akan menemukan spirit dan denyut nadi dari pergerakan kebangkitan nasional ini. Melalui tulisan fenomenal di atas dan tulisan-tulisan lainnya dari banyak tokoh di abad ke-20, kebangkitan kesadaran nasional dalam pergerakan politik menjadi tujuan untuk membentuk suatu kesadaran politik dan kekuatan politik bagi bumiputra. Sebuah tugas untuk mendidik publik menuju kesadaran politik (political consciousness) yang dikoreksi oleh Moh Hatta, setelah Soekarno ditangkap 1929, melalui Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Setiap isu tentang kebangkitan dan persatuan bangsa adalah isu politik yang seharusnya menjadi kesadaran bagi setiap warga. Namun, apakah masih ada semangat berjuang yang sama dengan Haji Agus Salim di Hindia Belanda atau Moh Hatta dan kawan-kawan di Belanda kala itu?

Jika semangat kebangkitan nasional hanya kita kaji sebagai momentum setahun sekali belaka, kita tidak akan pernah belajar dari hal ini. Oleh karena itu, kita perlu menyadari bahwa kebangkitan nasional adalah kebangkitan politik.

Boleh jadi masa kebangkitan nasional di awal abad 20 begitu riuh dengan berbagai partai, dialektika bermacam ideologi, dan keluar masuk penjara bagi para pemimpin akibat aktivitas politik mereka. Sedangkan kebangkitan nasional di abad ke-21 ini riuh dengan pemberitaan media massa, bukan berisi propaganda pergerakan, melainkan soal tingkah polah politisi dan parpol mereka, dialektika berbau kepentingan kelompok, dan keluar masuk penjara karena terindikasi korupsi.

Tidakkah kita telah membuat distorsi terhadap politik itu sendiri? Bahwa partai politik yang dulu menjadi kristalisasi semangat kebangkitan nasional sekarang menjadi antitesis bagi peran pentingnya itu. Jika ingin berterima kasih kepada pihak yang telah mengakarkan kesadaran kebangkitan nasional, kita patut berterima kasih kepada partai politik. Karena orang-orang di dalamnyalah yang menjadi motor penggerak, inspirasi pergerakan, guru kader, dan kaum intelektual partai politik kala itu.

Bagi mereka, politik adalah soal berjuang, menggerakkan, dan soal harapan serta cita-cita. Seperti kata Douwes Dekker tentang tujuan Indische Partij adalah soal hak kita menjaga negeri sendiri dan patriotisme yang harus kita penuhi serta harus kita dapatkan.

Kebangkitan politik

Kenyataan politik hari ini adalah distorsi yang diciptakan oleh aktor politik itu sendiri. Keikhlasan masyarakat yang mempercayakan hidup mereka kepada segelintir orang bukan dimaknai sebagai tuntutan mewujudkan kebangkitan nasional. Apatisme publik terhadap politik adalah buah dari `perilaku menyimpang' segelintir orang. Lalu bagaimana lagi kita hendak memaknai kebangkitan nasional sebagaimana adanya?
Jika kita berbicara kebangkitan nasional hari ini, kita juga berbicara optimisme.
Karena setiap zaman melahirkan anak-anaknya, yang akan menjadi pejuang di zamannya. Dahulu para tokoh lahir dalam seleksi hidup ketat di tanah jajahan, menyeruak ke kerumunan dengan keyakinan maju yang dimilikinya, dan melampaui pemikiran di zaman mereka.

Seleksi tokoh politik kita dalam Indonesia kini adalah saluran politik formal, yang diselenggarakan oleh negara melalui proses pemilu. Dari proses demokrasi ini, kita mempercayakan nasib kebangsaan kepada tokoh yang namanya tersurat dalam kertas suara. Seperti iklan sebelum pemilu, menentukan nasib negara, hanya 5 menit untuk 5 tahun, jangan salah pilih.

Kita sebagai masyarakat Indonesia memiliki kekuasaan menilai track record. Bukan hanya 5 menit, tapi 5 tahun lamanya. Pun di saat sinisme yang muncul akibat 90,5% anggota DPR mencalonkan diri kembali pada Pemilu 2014. Sehingga diperkirakan kualitas parlemen tidak ada perubahan berarti. Tetapi faktor penentu 
utama belum dimasukkan di dalam perkiraan tersebut, yakni keputusan pemilih.

Jika rakyat bersepakat bahwa kualitas politik dan politisi 5 tahun terakhir sudah mencapai titik nadir kebobrokan, kualitas calon incumbent patut untuk dievaluasi dan dipertanyakan. Lima tahun masyarakat mendapatkan pelajaran politik, bahwa kualitas intelektual pemimpin tidak dapat kita serahkan hanya pada popularitas, manuver atau statement paling kontroversial. Tahun 2013 sebagai tahun politik adalah waktu 
bagi masyarakat untuk menemukan dan menilai pemimpin kita nantinya.

Kita patut menyimpan optimisme kebangkitan nasional. Kita juga masih bisa menaruh harapan akan adanya praktik berpolitik baru. Jika pemilu menjadi alat seleksi pemimpin kita saat ini, seleksi dari kita pula yang mampu membersihkan wajah pergerakan kebangkitan nasional di panggung politik kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar