|
MEDIA
INDONESIA, 16 Mei 2013
`Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan
kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa
yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.' Als ik eens Nederlander was
KUTIPAN dari tulisan Ki Hajar
Dewantara yang terkenal itu ber nada sinisme, yang diistilahkan olehnya ibarat
membangunkan bangsa besar dari tidurnya. Jika aku seorang Belanda merupakan
satu permulaan kebangkitan api semangat kemerdekaan. Semangat keindonesiaan
dimulai oleh kaum terdidik. Mereka melakukan pencerahan bagi jutaan masyarakat
Indonesia yang dibodohkan oleh penjajahan. Melalui semangat kebangkitan
nasional, kesadaran pribadi warga negara terhadap entitas kebangsaan bukanlah
kesadaran sosial semata, melainkan sangat politis.
Memasuki abad 20, kesadaran-kesadaran sosial atas persamaan
nasib sebagai bangsa terjajah menggerakkan kalangan terdidik pribumi untuk
berkumpul. Boleh saja disebut organisasi Boedi Oetomo pada 1908 sebagai
organisasi pertama yang menjadi cikal bakal kesadaran nasional, atau munculnya
Serikat Dagang Islam tiga tahun sebelumnya sebagai benih perlawanan terhadap
dominasi dagang yang menyulitkan pengusaha batik. Kedua organisasi itu akhirnya
disadari tak mampu berbuat lebih jika tidak berjuang di ranah politik.
Kemunculan Indische Partij,
Perhimpunan Indonesia, Parindra, bahkan Serikat Dagang Islam berganti nama
menjadi Serikat Islam, dan organisasi bersifat politis lainnya, membawa
tujuan-tujuan perjuangan atas nama Indonesia untuk cita-cita kemerdekaan.
Benar bahwa spirit kebangkitan nasional adalah spirit yang
tak hanya mengecam penjajahan oleh bangsa asing, tapi juga semangat autokritik
terhadap bangsa sendiri, yang masih tak legawa
menanggalkan feodalisme di lautan keringat saudara sendiri. Semangat
kebangkitan nasional adalah disobedience
rakyat tertindas atas kekuasaan rajat raja kecil yang ketakutan kehir langan
tanah dan penghasilan. Spirit kebangkitan itu pula yang memunculkan tokoh-tokoh
nasionalis sebagai kontra bagi kaum priyayi yang mengecewakan rakyat. Setelah
105 tahun kita memperingati hari kebangkitan nasional, kita diminta kembali
untuk mencari pemimpin yang mampu menerjemahkan spirit itu dalam konteks
Indonesia modern.
Kesadaran politik
Jika memperhatikan perkembangan masyarakat dulu dan kini
secara dialektis, kita akan menemukan spirit dan denyut nadi dari pergerakan
kebangkitan nasional ini. Melalui tulisan fenomenal di atas dan tulisan-tulisan
lainnya dari banyak tokoh di abad ke-20, kebangkitan kesadaran nasional dalam
pergerakan politik menjadi tujuan untuk membentuk suatu kesadaran politik dan
kekuatan politik bagi bumiputra. Sebuah tugas untuk mendidik publik menuju
kesadaran politik (political consciousness) yang dikoreksi oleh Moh Hatta,
setelah Soekarno ditangkap 1929, melalui Pendidikan Nasional Indonesia (PNI
Baru). Setiap isu tentang kebangkitan dan persatuan bangsa adalah isu politik
yang seharusnya menjadi kesadaran bagi setiap warga. Namun, apakah masih ada
semangat berjuang yang sama dengan Haji Agus Salim di Hindia Belanda atau Moh
Hatta dan kawan-kawan di Belanda kala itu?
Jika semangat kebangkitan nasional hanya kita kaji sebagai
momentum setahun sekali belaka, kita tidak akan pernah belajar dari hal ini.
Oleh karena itu, kita perlu menyadari bahwa kebangkitan nasional adalah
kebangkitan politik.
Boleh jadi masa kebangkitan nasional di awal abad 20 begitu
riuh dengan berbagai partai, dialektika bermacam ideologi, dan keluar masuk
penjara bagi para pemimpin akibat aktivitas politik mereka. Sedangkan
kebangkitan nasional di abad ke-21 ini riuh dengan pemberitaan media massa,
bukan berisi propaganda pergerakan, melainkan soal tingkah polah politisi dan
parpol mereka, dialektika berbau kepentingan kelompok, dan keluar masuk penjara
karena terindikasi korupsi.
Tidakkah kita telah membuat distorsi terhadap politik itu
sendiri? Bahwa partai politik yang dulu menjadi kristalisasi semangat
kebangkitan nasional sekarang menjadi antitesis bagi peran pentingnya itu. Jika
ingin berterima kasih kepada pihak yang telah mengakarkan kesadaran kebangkitan
nasional, kita patut berterima kasih kepada partai politik. Karena orang-orang
di dalamnyalah yang menjadi motor penggerak, inspirasi pergerakan, guru kader,
dan kaum intelektual partai politik kala itu.
Bagi mereka, politik adalah soal berjuang, menggerakkan,
dan soal harapan serta cita-cita. Seperti kata Douwes Dekker tentang tujuan
Indische Partij adalah soal hak kita menjaga negeri sendiri dan patriotisme
yang harus kita penuhi serta harus kita dapatkan.
Kebangkitan
politik
Kenyataan politik hari ini adalah distorsi yang diciptakan
oleh aktor politik itu sendiri. Keikhlasan masyarakat yang mempercayakan hidup
mereka kepada segelintir orang bukan dimaknai sebagai tuntutan mewujudkan
kebangkitan nasional. Apatisme publik terhadap politik adalah buah dari
`perilaku menyimpang' segelintir orang. Lalu bagaimana lagi kita hendak
memaknai kebangkitan nasional sebagaimana adanya?
Jika kita berbicara kebangkitan nasional hari ini, kita
juga berbicara optimisme.
Karena setiap zaman melahirkan anak-anaknya, yang akan menjadi pejuang di
zamannya. Dahulu para tokoh lahir dalam seleksi hidup ketat di tanah jajahan,
menyeruak ke kerumunan dengan keyakinan maju yang dimilikinya, dan melampaui
pemikiran di zaman mereka.
Seleksi tokoh politik kita dalam Indonesia kini adalah
saluran politik formal, yang diselenggarakan oleh negara melalui proses pemilu.
Dari proses demokrasi ini, kita mempercayakan nasib kebangsaan kepada tokoh
yang namanya tersurat dalam kertas suara. Seperti iklan sebelum pemilu,
menentukan nasib negara, hanya 5 menit untuk 5 tahun, jangan salah pilih.
Kita sebagai masyarakat Indonesia memiliki kekuasaan
menilai track record. Bukan hanya 5
menit, tapi 5 tahun lamanya. Pun di saat sinisme yang muncul akibat 90,5%
anggota DPR mencalonkan diri kembali pada Pemilu 2014. Sehingga diperkirakan
kualitas parlemen tidak ada perubahan berarti. Tetapi faktor penentu
utama
belum dimasukkan di dalam perkiraan tersebut, yakni keputusan pemilih.
Jika rakyat bersepakat bahwa kualitas politik dan politisi
5 tahun terakhir sudah mencapai titik nadir kebobrokan, kualitas calon
incumbent patut untuk dievaluasi dan dipertanyakan. Lima tahun masyarakat
mendapatkan pelajaran politik, bahwa kualitas intelektual pemimpin tidak dapat
kita serahkan hanya pada popularitas, manuver atau statement paling
kontroversial. Tahun 2013 sebagai tahun politik adalah waktu
bagi masyarakat
untuk menemukan dan menilai pemimpin kita nantinya.
Kita patut menyimpan optimisme kebangkitan nasional. Kita
juga masih bisa menaruh harapan akan adanya praktik berpolitik baru. Jika
pemilu menjadi alat seleksi pemimpin kita saat ini, seleksi dari kita pula yang
mampu membersihkan wajah pergerakan kebangkitan nasional di panggung politik
kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar