Jumat, 17 Mei 2013

Orasi Jalanan Bukti Lemahnya Negara


Orasi Jalanan Bukti Lemahnya Negara
Saifuddin Al-Mughniy Wakil Rektor III UVRI Makassar
KORAN SINDO, 17 Mei 2013

Sebagai sesi awal dalam memahami kelas menengah di Indonesia, tentu harus dibangun dari suatu konsensus dalam satu tatanan negara. Sebab, sejarah bangsa-bangsa di dunia telah mendefinisikan secara gamblang bahwa sebuah negara demokrasi tentu harus dibangun dari empat kekuatan. 

Pertama, kekuatan parlementaria sebagai representatif dari perwakilan politik rakyat. Kedua, kekuatan NGO (Non Governmnet Organization) atau lebih dikenal dengan LSM (lembaga swadaya masyarakat). Ketiga, kekuatan media (pers) sebagai corong suci bagi transformasi komunikasi dari pemerintah ke masyarakat demikian pula sebaliknya. Keempat, kekuatan mahasiswa sebagai moral force yang ampuh mendorong keberlangsungan perubahan demokrasi di suatu Negara. 

Di beberapa negara tentu mempunyai suatu performance dan kultur berbeda dalam memainkan peran-peran kelas menengahnya (middle class). Katakanlah di Indonesia, kelompokkelompok masyarakat sipil memainkan peranan pivotaldalam mengartikulasikan dan mengadvokasi suara-suara rakyat yang tidak mampu diakomodasi penguasa atau partai-partai politik. 

Kegagalan partai politik di dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat, tentu satu bukti bentuk pengkhianatan kepada rakyat, vox populi vox dei hanya menjadi simbol pembenaran atas kekuasaan. Dengan begitu, peran kelas menengah dalam suatu proses perubahan sangat ditentukan oleh kekuatan politik tertentu, sehingga memang prosesi politik antara Indonesia dengan Malaysia sangat berbeda. 

Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat fenomena politik dari kedua negara. Aksi buruh yang diperingati setiap 1 Mei kemudian disusul aksi Hari Pendidikan Nasional adalah satu fenomena bahwa kekuatan civil society masih ada dan sangat memungkinkan untuk melakukan perubahan di negeri ini. Hal ini ditandai kekuasaan Orde Baru misalnya, mampu dijatuhkan karena kekuatan civil societypada 21 Mei 1998.

Oleh karena itu, menurut saya ada beberapa varian utama menyebabkan perbedaan antara mainstream politik Malaysia dengan Indonesia, yakni ketidakmampuan rezim Soeharto memecahkan krisis ekonomi pada 1990-an, sehingga mendorong rakyat melirik sistem demokrasi sebagai suatu solusi terhadap krisis ekonomi. Sedangkan rezim Mahathir Muhammad mampu memecahkan krisis ekonomi dengan cepat, sehingga Malaysia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu keluar dari kekacauan ekonomi. 

Lalu di arena politik rezim Soeharto tidak mengizinkan oposisi di parlemen dan selalu mempergunakan pendekatan represif untuk meredam kritik, yang membuat rakyat Indonesia berkeinginan kuat menggantikan rezim agar mereka bisa berpartisipasi lebih dalam arena politik. Sementara itu, rezim Mahathir memberikan ruang bagi oposisi dan mempergunakan pendekatan civilian untuk mengatasi kritik terhadap pemerintah. 

Indonesia memiliki kelompok- kelompok masyarakat sipil yang relatif lebih kuat dibandingkan Malaysia. Perbedaan lain, kelas menengah di Indonesia relatif lebih independen daripada di Malaysia. Lalu Indonesia mendapatkan tekanan internasional lebih kuat melalui lembaga-lembaga keuangan internasional dan organisasi nonpemerintah, yang mendukung adanya perubahan pemerintah lebih demokratis terjadi di Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Akhirnya, perubahan juga disebabkan oleh suksesnya gerakan reformasi mengubah rezim di Indonesia pada 1998, sementara gerakan reformasi di Malaysia relatif gagal. 

Fenomena Politik 

Reformasi yang berjalan 15 tahun itu tentu menyisakan berbagai persoalan kebangsaan. Berbagai pendapat publik menyeruak di permukaan menyoroti kegagalan era Reformasi mendorong perubahan yang transendental di negeri ini. Betapa tidak, reformasi berhenti di persimpangan jalan. Kegagalan reformasi adalah bukan hanya kegagalan struktural, namun juga kegagalan kultural, di mana agenda-agenda reformasi gagal di tengah jalan. 

Kelompok anti Orde Baru sekaligus yang menurunkan orde tersebut jauh terpinggirkan dari kekuasaan politik, sehingga kebijakan yang lahir cenderung tidak paham pesanpesan reformasi. Mencoba pendekatan yang dipakai Anthony Giddens seorang ilmuwan sosial berkebangsaan Inggris pencetus gagasan “Jalan Ketiga” (The Third Way) yang terkenal itu, dalam satu bukunya berjudul “Beyond Left and Right”. 

Dia mengungkapkan adanya ketidakpastian umat manusia sekarang ini. Ketidakpastian yang dimaksudkan adalah sebuah konsekuensi logis yang harus diterima manusia akibat situasi sosio-politik tidak menentu. Kondisi ini tentu sejalan dengan situasi politik yang terjadi di negeri setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, sehingga Anthony Giddens mengilustrasikan bahwa ketidakpastian terjadi di Negara Barat lebih pada ketidakpastian teknologi. 

Sementara ketidakpastian yang terjadi di Indonesia lebih berdimensi politik. Merespons kondisi sosiopolitik tersebut memang akut dengan indikator-indikator signifikan. Restrukturalisasi politik adalah bagian sulit terpisahkan dari fragmentasi politik kekinian. Entah itu adalah aliran politik atau sebaliknya politik aliran. Tetapi, yang pasti dinamisasi dalam kehidupan politik terus bergulir seperti roda pedati yang bergerak dalam pusaran. 

Inifaktaempirisdekonstruksi sosial yang merupakan bagian terpenting dalam peran strategi yang harus dimainkan kelompok kelas menengah atau disebut sebagai civilsocietynyarismelebur dalam tren politik modern. Dalam pengertian posisi kelas menengah hampir termarginalkan, sebab di satu sisi kelompok ini tidak mampu memainkan perannya sebagai agen sosial. 

Oleh sebab itu, fenomena politikacapkalimengesampingkan kelompok satu ini dalam setiap pengambilan keputusan. Kontrol sosial sesungguhnya lebih banyak dimainkan oleh kekuatan ekstra parlemen di dalam mengapresiasikan keinginan- keinginan politiknya atasnamademokrasidanrakyat. Sekalipun memang tidak semua kelompok kelas menengah larut dalam frame kekuasaan, sehingga tidak tampak secara jelas mana kelas menengah dan mana yang bukan kelas menengah. 

Ini sering kali kita jumpai adanya perilaku “amplopisme” di kalangan middle class. Pelacuran intelektual kelihatan sulit terhindarkan akibat adanya tuntutan ekonomi sesaat. Bahkan, tidak sedikit para pegiat sosial larut dalam ritme kekuasaan, ironisnya mereka jadi pekerja-pekerja politik oknum dan kelompok tertentu. 

Berkaca dari Luar 

Melihat fenomena kelas menengah di Indonesia tidak cukup hanya melihat Malaysia sebagai negara tetangga terdekat. Thailand sebagai negara Asia Tenggara juga mempunyai fenomena berbeda dengan Indonesia. Panggung Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra pada 2007 lalu, kemudian menyusul perdana menteri berikutnya yang jatuh pada 2008. 

Sesungguhnya kejatuhan rezim tersebut pada dasarnya sangat dipelopori oleh kelompok kelas menengah, yang melakukan aksi demonstrasi besar-besaran dengan menduduki Bandara Thailand. Tetapi yang pasti adalah kekuatan civil society harus mendapat tempat terhormat dalam perubahan iklim demokrasi di negeri ini. Kalaupun jalannya harus menjadi mimbar terbuka itu adalah tempat terindah bagi demonstran untuk menyuarakan aspirasi rakyat di saat negara lemah tak berdaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar