Jumat, 17 Mei 2013

Fenomena OK Arya Zulkarnain


Fenomena OK Arya Zulkarnain
Shohibul Anshor Siregar Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS)
KORAN SINDO, 17 Mei 2013

OK Arya Zulkarnain (OKAZ) adalah orang pertama yang memenangi pemilukada melalui jalur independen. Siapa dia? Pria Melayu kelahiran Solo (1956) ini sejak muda berkarier dalam birokrasi pemerintahan (Pemko Medan). 

Banyak jabatan strategis yang pernah diamanahkan kepadanya sebelum memenangi pemilukada pertama di kabupaten pemekaran dari Asahan pada tahun 2008 itu. Sebelumnya, dia tercatat sebagai Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan. Jabatan itu dia pilih dengan meninggalkan dua jabatan penting lainnya, Kepala Dinas Pendapatan merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah di Kabupaten tetangga yang waktu itu juga baru saja dimekarkan, yakni Serdangbedagai. 

Pada pemilukada pertama Kabupaten Batubara, jalur independen bukanlah pilihan utamanya. Waktu itu dia gagal mendapatkan dukungan partai politik. Tetapi kini, dalam status sebagai incumbent dan memegang jabatan ketua pada sebuah partai politik besar (Golkar), dia maju melalui jalur independen dengan membawa 36.952 dukungan dari 18.760 yang disyaratkan untuk daerah berpenduduk sekitar 375.221 itu. Ini sebuah pilihan yang mengundang tanda tanya besar. 

Dalam maju kembali sebagai calon di daerah yang dipimpinnya itu, dia menggandeng pasangan (wakil) baru. Itu artinya dia tak dapat meredakan konflik berkepanjangan bersama wakilnya Gong Matua Siregar yang juga sudah mendaftar melalui jalur yang sama. Selain tentang peluang memenangi pemilukada yang digelar September 2013 nanti, sejumlah pertanyaan penting amat relevan diajukan. 

Antara lain siapa yang akan memanfaatkan perahu yang ditinggalkannya begitu saja (Golkar). Kedua, akankah setelah event September ini, OKAZ masih berminat kembali memimpin partai yang ditinggalkannya? Atau, akankah partainya tetap merasa jabatan itu perlu dikembalikan ke pangkuan OKAZ terutama jika kelak dia memenangi perhelatan? 

Peluang Kemenangan 

Setelah pendaftarannya baru- baru ini, puluhan ribu orang yang diklaim pendukung OKAZ diberitakan melakukan unjuk rasa damai ke kantor KPU Kabupaten Batubara untuk meminta profesionalitas dan netralitas dalam melakukan verifikasidukungan calon independen. Dari tuntutan eksplisit yang diajukan, tergambar kekhawatiran akan banyaknya penduduk yang tak dimintai dukungan pasangan independen tertentu, tetapi fotokopi kartu penduduknya digunakan sebagai salah satu persyaratan pendaftaran. 

Padahal, mestinya dukungan itu haruslah berupa akad (pernyataan sukarela secara langsung). Dalam banyak kasus serupa, penduduk sama sekali tidak tahu-menahu namanya dicatut dan tanda tangan pada lembar dukungan yang dipersyaratkan dipalsukan begitu saja. Meskipun demikian, perbuatan pelanggaran pidana ini tidak pernah dianggap serius oleh penyelenggara. Ketika mendaftar, OKAZ mengajukan jumlah dukungan penduduk melebihi kuota yang ditentukan UU. 

Tetapi dengan banyaknya calon independen yang sudah mendaftar, asumsi dukungan ganda menjadi sangat besar. Tampak sekali OKAZ mengkhawatirkan hal ini. Netralitas penyelenggara memang menjadi sebuah masalah besar dalam perhelatan politik di Indonesia. Kajian evaluasi dari tahun ke tahun tentang Indeks Demokrasi Indonesia selalu menunjukkan tiadanya terapi manjur memulihkan profesionalitas dan netralitas penyelenggara. 

Dari fakta-fakta inilah muncul tuduhan miring bahwa penyelenggara tak ubahnya “drakula” suara sekaligus “mesin” suara, tergantung posisi pemihakannya. Memang profesionalitas dan netralitas adalah kata kunci yang tak akan pernah ditemukan dalam perhelatan politik di Indonesia. Yang akhirnya mengukuhkan kesimpulan bahwa hingga hari ini Indonesia tidak pernah memiliki data politik, melainkan hanya data klaim politik belaka. Keduanya sangat berbeda tentu saja. 

OKAZ adalah salah seorang di antara tokoh terkemuka perjuangan pemekaran Kabupaten Batubara. Pada periode pertama kepemimpinan Risuddin di Kabupaten Asahan (induk), perjuangan pemekaran ini pernah kandas. Ada satu organisasi perjuangan pemekaran yang dibentuk sebagai kristalisasi nilai- nilai “kemerdekaan lokal” yang dibentuk waktu itu, yakni Gemkara. 

OKAZ menjadi tokoh penting yang mengendalikan gerakan dan investasinya cukup besar. Inilah yang kelak menjadi kendaraan politik pemenangan OKAZ dengan kata kunci nonpartisan. Dalam Gemkara, semua orang dari berbagai afiliasi (politik, kultur dan agama) tak terhalang untuk berpartisipasi. Bahkan ada yang berpikir, jika OKAZ waktu itu maju melalui partai atau gabungan partai, dukungan Gemkara yang berwatak nonpartisan itu akan terpecah. 

Pasangan OKAZ dan Gong Martua Siregar pada Pemilukada 2008 mengalahkan 7 pasangan pesaingnya, yakni OK Saidin dan Bagus Joko Triono (PKS, Demokrat, PDK); Yahdi Khoir Harahap dan Surya (PAN dan Golkar); Janmat Sembiring dan M. Syahiri A (PPP); Abdul Wahid dan Jalaluddin (PBR, PBB, Patriot); Januari Siregar dan Sri Kumala (PDIP, PDS, PNBK, PBSD, PPIB, PPD, PNI Marhaen); Parlindungan Sinaga dan Nur Ali (independen); dan Ibrahim Usman dan Achmad Yusro (independen). 

Bahkan, salah seorang di antara 7 pesaing itu Yahdi Khoir Harahap adalah Wakil Bupati Asahan (Kabupaten induk) yang mengundurkan diri karena konflik dengan Bupati Risuddin. Kini, 2013 iklimnya sangat berbeda. Pada 2008, 6 dari 8 pasangan yang maju adalah usungan partai. Jika ditambah pasangan yang sudah terdaftar melalui jalur ind e p e n - den, hari ini peningkatan demand yang signifikan pastilah berpengaruh dalam rivalitas dan peluang keterpilihan pasangan. 

Ini tentu tidak mudah bagi OKAZ, terutama karena wakilnya Gong Matua Siregar yang konon memiliki sumbangan signifikan dalam keterpilihan mereka pada tahun 2008, juga ikut maju. Bahkan, jika Gong Matua Siregar dapat memanfaatkan perselisihan panjangnya dengan OKAZ untuk memicu solidaritas kelompok- kelompok strategis yang tidak puas atas kepemimpinan incumbent, sungguh menjadi ancaman berat bagi OKAZ. 

Tamparan untuk Golkar 

Kasus OKAZ berbeda dengan Ketua Golkar Kota Padangsidimpuan yang hak politiknya tak terealisasi (menjadi calon wali kota 2013) karena Chaidir Ritonga berhasil mengambil mandat partai. Juga berbeda dengan Denny Ilham Panggabean (Ketua PD Kota Medan, 2010); Rudolf Matzuoka Pardede (PDIP Sumut, 2008); dan T Milwan (Ketua PD Sumut, 2013) yang tidak memperoleh kesempatan maju menjadi calon kepala daerah untuk level masing-masing. 

OKAZ menjadi Ketua Golkar BatubarasetelahmenjadiBupati. Memang hal ini tidak aneh bagi tradisi Golkar secara nasional. Fenomena lebih parah terlihat ketika JK menjadi Ketua Umum Golkar yang mendapatkan jabatan itu setelah menjadi wapres (2004) yang mencatat kekalahan Golkar (Wiranto) dalam pilpres pertama. 

Begitu juga Syamsul Arifin menjadi Ketua Golkar Sumut setelah mengalahkan calon dari partai sendiri (2008) dalam pilgub pertama. Dengan banyaknya contoh, maka T Erry Nuradi (Wagub terpilih pada pilgub 2013) diperkirakan akan segera menjadi Ketua Golkar Sumut yang sudah dibiarkan kosong sekian lama meski sudah mengalahkan calon dari partai sendiri Chairuman Harahap. 

Jadi, kembalinya jabatan ketua Golkar kepada OKAZ tidak menjadi halangan jika kelak dia mampu memenangi Pilkada Batubara 2013. Tetapi tentulah hal itu tidak mungkin akan menghalangi majunya pasangan calon usungan Golkar. Malah bagi Golkar ini hanya akan menambah peluang memperoleh alternatif figur yang teruji. Namun, nilai “keuntungan” itu terlalu rendah dibanding tamparan yang diterima Golkar. 

Konsep kekaderan dan militansi kader sangat terbuka untuk dipertanyakan di tengah pragmatisme dan rational choice yang diarus-utamakan. Pasalnya, tentulah harus dihitung keterpecahan dukungan konstituen dalam setiap kasus seperti ini. Lagi pula, jika ini benar-benar sudah menjadi gejala kuat yang berlaku umum secara nasional, nasib pencalonan resmi Golkar untuk setiap level pemilihan jabatan eksekutif sudah dapat dipastikan. 

Keajegan itu sudah kita peroleh di Sumut paling tidak melalui kekalahan telak berturut-turut Ali Umri (2008), dan Chairuman Harahap (2013). Arena politik dan demokrasi lokal masih sedang berproses untuk mencari bentuk. Dalam proses itu partai politik menunjukkan peran yang sangat tidak sehat. Hal-hal yang mungkin menjadi akar masalah ialah ideologi kepartaian yang dicemari begitu keras oleh pragmatisme diwarnai korupsi politik yang tak terperikan. 

Juga ketika tiada jawaban selain korupsi untuk ketidakjelasan sumber keuangan partai. Sangat tidak mungkin diabaikan faktor kaderisasi dan rekrutmen personal, karena tanpa membenahi kedua hal itu partai-partai tak ubahnya gerombolan- gerombolan sesaat dengan pragmatisme yang meski dengan sematan warna-warni dan simbol-simbol ekspresif kepartaian yang tak bermakna dan tak berakar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar