|
IndoPROGRESS,
10 Mei 2013
SETIAP
kali akan ada aksi unjuk rasa, pemerintah, dan juga ‘publik’ pada tingkatan
tertentu, kerap mengimbau demonstran agar tidak bertindak anarkis. Namun,
pertanyaannya, tidakkah pengabaian hak-hak sipil yang disuarakan dalam tuntutan
itu merupakan sebuah bentuk anarkisme yang paling barbar?
Anarki
dalam bahasan ini mengikuti ‘makna kedua,’ yang mengacu pada pengertian umum
yang diterima masyarakat, yakni keadaan kacau-balau. Dan bukan dalam ‘makna
pertama,’ yang menjelaskan perihal tidak adanya pemerintahan, undang-undang,
dan peraturan.
Menjelang
Hari Buruh Sedunia 1 Mei, misalnya, melalui media, pejabat pemerintah, termasuk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, serta
kepolisian ramai-ramai meminta agar unjuk rasa buruh berlangsung tertib. Tidak
rusuh. ‘Saya kira semua sepakat unjuk rasa buruh itu tertib. Tidak merusak.
Saya senang. Itulah demokrasi. Boleh ada ekspresi, ada sesuatu yang dikritikkan
pada pemerintah, pada yang lain, termasuk pikiran seperti apa, tapi
tertib,’ kata SBY, saat bertemu dengan para pemimpin serikat buruh dan
pekerja di Istana Negara, 29 April 2013, seperti dilansir beberapa media.
Dalam
susunan kalimat yang berbeda, imbauan serupa kerap dilontarkan untuk menyambut
aksi unjuk rasa lainnya, entah itu terkait dengan kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) atau rencana kudeta. Seolah, dalam demokrasi, unjuk rasa adalah
bagian dari pesta. Harus meriah dan membikin semua orang senang serta tenang.
Ironisnya,
mungkin ‘publik’ tampak turut menyatakan pendapat serupa. Tentu yang dimaksud
publik di sini merujuk pada representasi masyarakat, satu, dua, atau ratusan
orang dan lebih. Dalam beberapa wawancara acak di stasiun televisi, sejumlah
orang berharap aksi unjuk rasa berlangsung rapi, tidak merusak fasilitas
publik, dan memacetkan jalanan.
Pandangan
semacam ini sebetulnya tidak salah. Bahkan bermakna positif dalam semangat
mendorong budaya nir-kekerasan. Perbedaan pendapat ataupun protes tak harus
diselesaikan dengan bentrokan. Kita mafhum, dan sama-sama muak, dengan unjuk
rasa yang berujung pada kekerasan. Namun dalam konstelasi konflik vertikal,
kekerasan itu bisa disebut sebagai akumulasi titik jenuh atas pengabaian dan
pembiaran negara terkait dengan tuntutan yang diajukan. Sekaligus, hal itu
menunjukkan kegagalan pemerintah melakukan fungsi mediasi mengakomodasi
kepentingan warga negaranya.
Pada
dasarnya, massa ingin didengar, dalam pengertian suaranya benar-benar dianggap
hadir dan diperhatikan untuk merumuskan kebijakan. Anehnya, alih-alih
merumuskan prosedur operasi standar merespons ketidakpuasan massa, pemerintah
lebih senang mengeluhkan unjuk rasa yang ricuh. Jelas, keluhan ini adalah
bentuk penggeseran fokus untuk mengaburkan persoalan. Perhatian publik menjadi
terbelah antara tuntuan yang disuarakan dan cara menyuarakan tuntutan itu.
Dengan demikian, imbauan agar unjuk rasa tidak anarkistis pun bermasalah,
terutama ketika anasir kekuasaan memandang sambil lalu terhadap tuntutan yang
dilayangkan, mendengarkannya tak lebih sebagai ‘suara-suara rutin,’ yang tidak
perlu disertai usaha perbaikan nyata.
Kurang tertib apa, salah
satunya, Aksi Kamisan, yang digelar para korban tragedi
kemanusiaan, untuk menyebut beberapa kejadian memilukan, dari peristiwa 1965,
Talangsari, Tanjungpriok, 27 Juli 1966, penculikan orang di masa Orde Baru,
Trisakti, Mei 1998, Semanggi I, Semanggi II, sampai pembunuhan Munir?
Seruan soal aksi unjuk rasa
yang tertib merupakan bagian dari konsepsi peradaban modern yang mapan. Mereka
(penguasa) yang (merasa) beradab cenderung menolak (atau takut terhadap)
kerusuhan (sebab, sasaran dan alasan terjadinya kerusuhan itu adalah mereka.
Atau dengan kata lain, mereka sebenarnya tak ingin disalahkan atau mendapatkan
masalah, dan bertanggung jawab atasnya). Yang rusuh, tak tertib, dan merusak
itulah yang selalu coba mereka pupus dan sembunyikan. Tapi ternyata selalu ada
yang barbar dalam sebuah usaha yang beradab. Boris Kagarlitsky, teoretisi
Marxis Rusia, dalam New Realism and New Barbarism (1999),
mengingatkan kita akan batas antara yang barbar dan yang beradab itu. Dia
menulis, ‘Dua pihak yang beradab dapat melakukan dialog. Mereka yang barbar,
bagaimanapun juga, tak bisa mempertanyakan—atau bahkan secara serius
membahas—prinsip-prinsip peradaban. Yang bisa mereka lakukan hanya mereproduksi
bentuk-bentuk peradaban itu.’
Nah,
dialog itu tidak eksklusif dilakukan dalam ruangan berpenyejuk udara, dengan
kursi empuk dan camilan tahu goreng ataupun rempeyek kacang. Melainkan juga
bisa dilakukan di bawah terik matahari, di tengah lapangan, di antara lautan
massa. Anehnya, selama ini berkembang dikotomi antara dialog dan aksi. Seolah
yang pertama adalah kegiatan otak, sementara yang kedua melulu aktivitas fisik.
Pemerintah, misalnya, selalu menyebut dirinya siap melakukan serta selalu
menganjurkan pendekatan dialogis. Namun hal itu dilakukan dengan memandang
sebelah mata, jika tak lagi bisa disebut membungkam, aksi massa. Apa negara
hanya mau berdialog dengan orang-orang berjas, yang membawa segepok uang
terbungkus koran, lalu membahas apel Malang dan apel Washington?
Aksi
unjuk rasa, bagaimanapun juga, adalah sebuah ‘tawaran yang lain’ untuk
berdialog membahas ‘prinsip-prinsip peradaban’ faktual. Langkah ini cenderung
menjadi pilihan terakhir setelah negara tak kunjung menanggapi persoalan yang
diajukan massa. Aksi Kamisan, contohnya, bukan merupakan ‘aksi ujuk-ujuk’ yang
muncul begitu saja tanpa ada upaya lain terlebih dulu. Dimulai pada 2007, aksi
ini muncul setelah pemerintah tak juga menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan
pengusutan kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik di masa silam maupun masa
kini. Seruan di media dan rapat-rapat tim pencari fakta, yang beradab itu,
menguap begitu saja. Pemerintah bergeming.
Abainya
negara terhadap tawaran yang lain untuk berdialog ini merupakan sebuah
pengingkaran terhadap yang beradab, sekaligus secara tak kasat mata, tapi
sebenarnya sangat vulgar, menunjukkan seberapa barbarnya mereka. Menghadapi
aksi santun setiap Kamis di depan Istana Negara tadi, bagaimana sikap pemerintah?
Nihil. Apa pandangan ‘publik’ terhadap pengabaian pemerintah itu? Sama
nihilnya.
Mengingat
dengan cara-cara yang beradab pemerintah cenderung budek, tak mengherankan di
tingkatan massa sampai muncul anggapan bahwa unjuk rasa harus berlangsung ‘sekeras’
mungkin agar bisa didengar. Anarkisme massa ‘hanyalah’ respons atas kedegilan
negara. Sehingga, dari sudut pandang ini, imbauan agar unjuk rasa tidak
berlangsung rusuh tak lain sekadar kampanye semu anti-kekerasan. Sebab, akar
kekerasannya justru bercokol di tubuh politik negara. Terjebak dengan kampanye
itu, perspektif publik seperti tanggal dari realitas dan melayang dalam dunia
angan nan beradab versi pemerintah. Dunia yang nyaman, tenteram di luar, tapi
busuk di dalam.
Tentu tulisan ini tak hendak menyerukan aksi massa yang
anarkistis. Melainkan semata ingin menyampaikan bahwa, ‘sebelum’ mempersoalkan
anarkisme massa, ada barbarisme negara yang perlu dituntaskan. Jika sungguh
ingin memutus spiral anarkisme, pemerintah harus terlebih dulu menghilangkan
watak primitifnya ‘yang cuma mereproduksi peradaban,’ dan mulai belajar untuk
lebih progresif dalam menyikapi unjuk rasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar