|
KORAN
SINDO, 15 Mei 2013
Persentuhan
umat Islam dengan Barat bukanlah fenomena yang baru. Jauh
pada abad ke-7, umat Islam telah memberikan pengaruh yang tidak
kecil bagi negaranegara yang dewasa ini kita sebut sebagai negara
Eropa sekuler atau negara Barat. Tidak berlebihan jika dikatakan,
identitas orang-orang Eropa dewasa ini banyak dibentuk oleh
pertemuan mereka dengan umat Islam dalam perang dan damai,
perdagangan dan pengetahuan, dan kolonialisme.
Seperti ditulis Karen Amstrong (2001), dibandingkan agama-agama lain, Islam menjadi agama yang berkembang paling cepat di negara-negara Barat sekuler. Saat ini tidak kurang dari 23 juta umat Islam tinggal di Benua Eropa. Jumlah umat Islam ini sama dengan lima persen dari total penduduk negara-negara Eropa. Lima puluh persen dari jumlah muslim ini bahkan lahir dan menjadi warga negara di Eropa. Jumlah umat Islam ini diprediksikan akan meningkat dua kali lipat pada 2025. Di Amerika, jumlah umat Islam telah mencapai lebih dari 6 juta orang atau 3% dari total jumlah penduduk negara ini. Dari jumlah umat Islam ini, sekitar 30% berasal dari keturunan Afrika-Amerika dan selebihnya adalah keturunan Eropa.
Umumnya, pertumbuhan muslim di negara-negara Eropa banyak dipicu oleh proses migrasi dan meningkatnya angka kelahiran keluarga-keluarga muslim. Sebaliknya, pertumbuhan umat Islam di Amerika lebih banyak disebabkan oleh proses perpindahan agama (konversi). Peningkatan jumlah umat Islam ini menunjukkan Islam bukan lagi menjadi agama pinggiran di tengah masyarakat Barat sekuler. Islam kini telah menjadi agama lokal setempat (indigenous religion).
Tentu saja kondisi ini memunculkan tantangan- tantangan tersendiri bukan hanya bagi umat Islam, melainkan juga bagi nonmuslim di negara-negara Barat sekuler. Bagi umat Islam, tinggal di negara Barat menghadirkan tantangan yang tak mudah. Secara ideologis, mereka dihadapkan pada kenyataan untuk tetap berpegang teguh pada ajaran agamanya, tapi pada saat yang sama mereka harus tunduk pada nilai-nilai masyarakat Barat sekuler. Pertanyaan yang kerap muncul adalah sejauh mana mereka dapat mengompromikan ajaran etika Islam dengan nilai-nilai sekuler Barat? Sebagai minoritas, bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam proses politik di negara- negara sekuler? Sejauh mana mereka dapat melakukan integrasi dan asimilasi dengan masyarakat setempat tanpa harus kehilangan identitas mereka sebagai muslim?
Dua Ekspresi Keberagamaan
Respons terhadap pertanyaan- pertanyaan dan kondisi lingkungan di Barat ini melahirkan ekspresi keberagamaan baru yang beragam di kalangan muslim di negara-negara Barat sekuler. Sekalipun memiliki dasar-dasar keimanan yang sama, umat Islam memiliki respons yang beragam terhadap kondisi sosial masyarakat Barat. Abdullah Saeed (2009) melihat setidaknya ada dua sikap keberagamaan muslim di Barat dalam merespons kondisi lingkungan Barat sekuler.
Pertama, ekspresi keberagamaan muslim yang menutup diri (isolationist). Ekspresi keberagamaan ini berasal dari latar belakang keagamaan, sosial, dan budaya yang beragam. Umumnya mereka berasal dari pengikut gerakan Islam transnasional seperti gerakan Salafi dan Ikhwanul Muslimin atau pengikut mazhab-mazhab Islam tertentu di negara asal mereka. Sekalipun tinggal di Barat dalam waktu yang lama, mereka tidak mendukung partisipasi penuh umat Islam di tengah masyarakat Barat sekuler. Tugas mereka adalah bagaimana menjaga agar Islam terlindungi dari pengaruh nilai-nilai Barat yang sekuler.
Demi kemurnian Islam, mereka sengaja menjaga jarak dengan komunitas Barat nonmuslim. Mereka tetap tinggal bersama dengan komunitas Barat lain sekalipun dengan setengah hati. Tinggal di Barat bagi mereka adalah untuk sementara waktu sampai mereka dapat mendirikan sebuah tatanan sosiopolitik islami yang sesuai dengan keyakinan mereka. Tak jarang juga sebagian kecil dari kelompok isolationist ini menempuh retorika anti-Barat dengan menggunakan pendekatan yang keras (hardline). Mereka senantiasa menolak kemungkinan rekonsiliasi antara Islam dan nilai-nilai demokrasi liberal-sekular Barat.
Agenda utama kelompok kecil isolationist ini adalah untuk mengislamkan dunia termasuk Barat, dengan mengganti hukum-hukum manusia menjadi hukum ilahi. Mereka bahkan mengabsahkan perjuangan melawan kejahatan baik yang dilakukan oleh orang Muslim maupun nonmuslim. Harus diakui, aktivisme mereka di negara-negara Barat kerap menimbulkan masalah, bahkan di antara kelompok mereka sendiri.
Kita tentu ingat bagaimana aktivisme kelompok Ikhwanul Muslimin di UK dan Kelompok al-Muhajirun yang didirikan oleh Sheikh Omar Bakri Muhammad di UK. Secara umum, aktivisme mereka turut memperburuk citra Islam di mata Barat sebagai agama yang damai dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Kelompok kecil inilah yang kerap mendapatkan perhatian dari media-media Barat. Sayangnya, mereka sering dianggap Barat sebagai representasi dari mayoritas umat Islam. Kedua, ekspresi keberagamaan yang bersifat partisipatif (participant). Muslim kategori ini berangkat dari sebuah tradisi keberagamaan Islam yang secara khas lahir di dalam masyarakat Barat sekuler. Tradisi ini muncul akibat persentuhan antara Islam dengan kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, dan filosofi masyarakat Barat.
Dapat dipastikan, muslim kategori ini berasal dari generasi kedua dan ketiga umat Islam yang tinggal di Barat atau orangorang Barat yang menjadi muslim (muallaf). Umumnya, kalangan profesional dan kelas menengah muslim berada pada garis keberagamaan model ini. Tradisi keberagamaan ini selain tak ada preseden sebelumnya, juga belum memiliki metodologi yang jelas sebagai landasan intelektual mereka. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kalangan ini mencoba melakukan ijtihad untuk mengembangkan seperangkat metodologi dan prinsip-prinsip khusus sebagai landasan hidup dan prilaku mereka di tengah masyarakat Barat sekuler.
Pendeknya, keberagamaan jenis ini merupakan produk perpaduan antara Islam dengan lingkungan Barat sekuler. Berbeda dengan corak keberagamaan sebelumnya, kelompok ini tak mempermasalahkan hidup di lingkungan Barat sekuler dan tinggal di bawah pemerintahan nonmuslim. Sikap ini bukannya tanpa landasan keagamaan yang kuat.
Sikap ini justru merujuk pada pendapat para ahli hukum Islam (fuqaha) abad ke-13 yang membolehkan umat Islam tinggal dan hidup dalam pemerintahan nonmuslim, asalkan mereka dapat bebas melaksanakan ajaran agama mereka. Mereka juga merasa tidak perlu mendirikan negara Islam. Slogan bahwa Islam adalah sekaligus agama dan negara tak lagi menjadi konsen mereka. Bagi mereka, umat Islam di Barat harus fokus pada ajaran sosial, spiritual, dan etika Islam. Islam bukanlah alat ideologi atau sistem politik.
Namun, dengan keyakinan ini tidak berarti mereka menjauhi aktivitas politik. Partisipasi dalam proses politik di Barat bagi mereka adalah bagian dari perintah ajaran Alquran untuk berpartisipasi dalam kehidupan dan pengembangan masyarakat. Kelompok ini juga tidak mempermasalahkan penerapan hukum Islam vis a vishukum sekuler di Barat.
Bagi mereka, selama hukum sekuler Barat ini didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, persamaan, fairness dan kepentingan bersama (public interest), maka hukum sekuler ini dapat dikatakan islami. Lalu bagaimana kelompok ini menyikapi aturan hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti undang-undang yang membolehkan judi, prostitusi, dan penjualan alkohol?
Dalam masalah ini, kelompok participants muslim di Barat menempuh strategi mengambil jarak (distancing) dan tidak mau tahu (indifference). Selama hukum-hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam ini tidak memaksa umat Islam untuk melakukan sesuatu, hukum- hukum itu tidak relevan bagi kehidupan umat Islam di Barat.
Demi kepentingan kehidupan muslim di Barat di masa yang akan datang, keberagamaan partisipatif ini dapat menjadi pilihan yang logis. Hidup di negara barat sekuler tentu tidak sama dengan hidup di negara mayoritas muslim.
Menjadi muslim yang partisipatif di Barat akan memainkan peran penting dalam dialog dalam koeksistensi antara Islam dan Barat atas dasar saling memahami dan menghormati. Untuk mencapai hal ini, tentu umat Islam tidak harus melunturkan identitas keislaman mereka. Sebaliknya, mereka harus tetap berpegang teguh pada prinsip dasar Islam dengan menyesuaikan kehidupan mereka sebagai muslim dalam konteks kehidupan di Barat.
Mereka juga tidak harus meniru secara persis nonmuslim di Barat. Namun, mereka dapat berbagi identitas kewargaan dengan kelompok nonmuslim yang lain sambil tetap menekankan identitas keagamaan Islam mereka yang berbeda. Wallahu a’lam bi al-shawab. ●
Seperti ditulis Karen Amstrong (2001), dibandingkan agama-agama lain, Islam menjadi agama yang berkembang paling cepat di negara-negara Barat sekuler. Saat ini tidak kurang dari 23 juta umat Islam tinggal di Benua Eropa. Jumlah umat Islam ini sama dengan lima persen dari total penduduk negara-negara Eropa. Lima puluh persen dari jumlah muslim ini bahkan lahir dan menjadi warga negara di Eropa. Jumlah umat Islam ini diprediksikan akan meningkat dua kali lipat pada 2025. Di Amerika, jumlah umat Islam telah mencapai lebih dari 6 juta orang atau 3% dari total jumlah penduduk negara ini. Dari jumlah umat Islam ini, sekitar 30% berasal dari keturunan Afrika-Amerika dan selebihnya adalah keturunan Eropa.
Umumnya, pertumbuhan muslim di negara-negara Eropa banyak dipicu oleh proses migrasi dan meningkatnya angka kelahiran keluarga-keluarga muslim. Sebaliknya, pertumbuhan umat Islam di Amerika lebih banyak disebabkan oleh proses perpindahan agama (konversi). Peningkatan jumlah umat Islam ini menunjukkan Islam bukan lagi menjadi agama pinggiran di tengah masyarakat Barat sekuler. Islam kini telah menjadi agama lokal setempat (indigenous religion).
Tentu saja kondisi ini memunculkan tantangan- tantangan tersendiri bukan hanya bagi umat Islam, melainkan juga bagi nonmuslim di negara-negara Barat sekuler. Bagi umat Islam, tinggal di negara Barat menghadirkan tantangan yang tak mudah. Secara ideologis, mereka dihadapkan pada kenyataan untuk tetap berpegang teguh pada ajaran agamanya, tapi pada saat yang sama mereka harus tunduk pada nilai-nilai masyarakat Barat sekuler. Pertanyaan yang kerap muncul adalah sejauh mana mereka dapat mengompromikan ajaran etika Islam dengan nilai-nilai sekuler Barat? Sebagai minoritas, bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam proses politik di negara- negara sekuler? Sejauh mana mereka dapat melakukan integrasi dan asimilasi dengan masyarakat setempat tanpa harus kehilangan identitas mereka sebagai muslim?
Dua Ekspresi Keberagamaan
Respons terhadap pertanyaan- pertanyaan dan kondisi lingkungan di Barat ini melahirkan ekspresi keberagamaan baru yang beragam di kalangan muslim di negara-negara Barat sekuler. Sekalipun memiliki dasar-dasar keimanan yang sama, umat Islam memiliki respons yang beragam terhadap kondisi sosial masyarakat Barat. Abdullah Saeed (2009) melihat setidaknya ada dua sikap keberagamaan muslim di Barat dalam merespons kondisi lingkungan Barat sekuler.
Pertama, ekspresi keberagamaan muslim yang menutup diri (isolationist). Ekspresi keberagamaan ini berasal dari latar belakang keagamaan, sosial, dan budaya yang beragam. Umumnya mereka berasal dari pengikut gerakan Islam transnasional seperti gerakan Salafi dan Ikhwanul Muslimin atau pengikut mazhab-mazhab Islam tertentu di negara asal mereka. Sekalipun tinggal di Barat dalam waktu yang lama, mereka tidak mendukung partisipasi penuh umat Islam di tengah masyarakat Barat sekuler. Tugas mereka adalah bagaimana menjaga agar Islam terlindungi dari pengaruh nilai-nilai Barat yang sekuler.
Demi kemurnian Islam, mereka sengaja menjaga jarak dengan komunitas Barat nonmuslim. Mereka tetap tinggal bersama dengan komunitas Barat lain sekalipun dengan setengah hati. Tinggal di Barat bagi mereka adalah untuk sementara waktu sampai mereka dapat mendirikan sebuah tatanan sosiopolitik islami yang sesuai dengan keyakinan mereka. Tak jarang juga sebagian kecil dari kelompok isolationist ini menempuh retorika anti-Barat dengan menggunakan pendekatan yang keras (hardline). Mereka senantiasa menolak kemungkinan rekonsiliasi antara Islam dan nilai-nilai demokrasi liberal-sekular Barat.
Agenda utama kelompok kecil isolationist ini adalah untuk mengislamkan dunia termasuk Barat, dengan mengganti hukum-hukum manusia menjadi hukum ilahi. Mereka bahkan mengabsahkan perjuangan melawan kejahatan baik yang dilakukan oleh orang Muslim maupun nonmuslim. Harus diakui, aktivisme mereka di negara-negara Barat kerap menimbulkan masalah, bahkan di antara kelompok mereka sendiri.
Kita tentu ingat bagaimana aktivisme kelompok Ikhwanul Muslimin di UK dan Kelompok al-Muhajirun yang didirikan oleh Sheikh Omar Bakri Muhammad di UK. Secara umum, aktivisme mereka turut memperburuk citra Islam di mata Barat sebagai agama yang damai dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Kelompok kecil inilah yang kerap mendapatkan perhatian dari media-media Barat. Sayangnya, mereka sering dianggap Barat sebagai representasi dari mayoritas umat Islam. Kedua, ekspresi keberagamaan yang bersifat partisipatif (participant). Muslim kategori ini berangkat dari sebuah tradisi keberagamaan Islam yang secara khas lahir di dalam masyarakat Barat sekuler. Tradisi ini muncul akibat persentuhan antara Islam dengan kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, dan filosofi masyarakat Barat.
Dapat dipastikan, muslim kategori ini berasal dari generasi kedua dan ketiga umat Islam yang tinggal di Barat atau orangorang Barat yang menjadi muslim (muallaf). Umumnya, kalangan profesional dan kelas menengah muslim berada pada garis keberagamaan model ini. Tradisi keberagamaan ini selain tak ada preseden sebelumnya, juga belum memiliki metodologi yang jelas sebagai landasan intelektual mereka. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kalangan ini mencoba melakukan ijtihad untuk mengembangkan seperangkat metodologi dan prinsip-prinsip khusus sebagai landasan hidup dan prilaku mereka di tengah masyarakat Barat sekuler.
Pendeknya, keberagamaan jenis ini merupakan produk perpaduan antara Islam dengan lingkungan Barat sekuler. Berbeda dengan corak keberagamaan sebelumnya, kelompok ini tak mempermasalahkan hidup di lingkungan Barat sekuler dan tinggal di bawah pemerintahan nonmuslim. Sikap ini bukannya tanpa landasan keagamaan yang kuat.
Sikap ini justru merujuk pada pendapat para ahli hukum Islam (fuqaha) abad ke-13 yang membolehkan umat Islam tinggal dan hidup dalam pemerintahan nonmuslim, asalkan mereka dapat bebas melaksanakan ajaran agama mereka. Mereka juga merasa tidak perlu mendirikan negara Islam. Slogan bahwa Islam adalah sekaligus agama dan negara tak lagi menjadi konsen mereka. Bagi mereka, umat Islam di Barat harus fokus pada ajaran sosial, spiritual, dan etika Islam. Islam bukanlah alat ideologi atau sistem politik.
Namun, dengan keyakinan ini tidak berarti mereka menjauhi aktivitas politik. Partisipasi dalam proses politik di Barat bagi mereka adalah bagian dari perintah ajaran Alquran untuk berpartisipasi dalam kehidupan dan pengembangan masyarakat. Kelompok ini juga tidak mempermasalahkan penerapan hukum Islam vis a vishukum sekuler di Barat.
Bagi mereka, selama hukum sekuler Barat ini didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, persamaan, fairness dan kepentingan bersama (public interest), maka hukum sekuler ini dapat dikatakan islami. Lalu bagaimana kelompok ini menyikapi aturan hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti undang-undang yang membolehkan judi, prostitusi, dan penjualan alkohol?
Dalam masalah ini, kelompok participants muslim di Barat menempuh strategi mengambil jarak (distancing) dan tidak mau tahu (indifference). Selama hukum-hukum yang bertentangan dengan ajaran Islam ini tidak memaksa umat Islam untuk melakukan sesuatu, hukum- hukum itu tidak relevan bagi kehidupan umat Islam di Barat.
Demi kepentingan kehidupan muslim di Barat di masa yang akan datang, keberagamaan partisipatif ini dapat menjadi pilihan yang logis. Hidup di negara barat sekuler tentu tidak sama dengan hidup di negara mayoritas muslim.
Menjadi muslim yang partisipatif di Barat akan memainkan peran penting dalam dialog dalam koeksistensi antara Islam dan Barat atas dasar saling memahami dan menghormati. Untuk mencapai hal ini, tentu umat Islam tidak harus melunturkan identitas keislaman mereka. Sebaliknya, mereka harus tetap berpegang teguh pada prinsip dasar Islam dengan menyesuaikan kehidupan mereka sebagai muslim dalam konteks kehidupan di Barat.
Mereka juga tidak harus meniru secara persis nonmuslim di Barat. Namun, mereka dapat berbagi identitas kewargaan dengan kelompok nonmuslim yang lain sambil tetap menekankan identitas keagamaan Islam mereka yang berbeda. Wallahu a’lam bi al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar