Senin, 20 Mei 2013

Mengejar Peluang Industri Tekstil


Mengejar Peluang Industri Tekstil
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ;  Pengamat Ekonomi
KORAN SINDO, 20 Mei 2013

Pekan lalu Menteri Perindustrian MS Hidayat mengingatkan industri tekstil Indonesia bahwa dengan robohnya bangunan pabrik tekstil di Bangladesh, muncul peluang bagi Indonesia untuk memperkuat pasar ekspor. 

Peluang ini muncul jika para importir di negara-negara maju berpikir bahwa robohnya bangunan pabrik tekstil di Bangladesh dipandang mencerminkan buruknya kondisi tempat kerja di negara tersebut. Kesadaran terhadap hak asasi manusia di negara maju sering membuat mereka menolak produk dari negara dengan lingkungan bekerja seperti itu. Sebagaimana diketahui, nilai ekspor tekstil dan produk tekstil Bangladesh sekitar USD20 miliar. 

Peringatan Menteri Perindustrian itu sungguh tepat waktu. Di dalam persaingan industri tekstil global yang sangat ketat saat ini, setiap muncul peluang untuk memperluas pasar haruslah segera diisi dan dikejar. Dikatakan bahwa dua negara memiliki peluang cukup besar untuk mengisi peran Bangladesh, yaitu Vietnam dan Indonesia. 

Oleh karena itu kita perlu mengukur diri untuk bisa menggantikan peran Bangladesh (jika memang para importir mencoba untuk mendiversifikasi sumber produknya dari Bangladesh). Industri tekstil Indonesia pernah dikatakan mengalami masa sunset. Itu terjadi menjelang tahun 2005, yaitu pada saat multi-fiber arrangement (MFA) dihapus sehingga kuota ekspor tekstil juga ikut dihapus. 

Banyak industri tekstil dan produk tekstil Indonesia yang bertahun-tahun berkembang karena adanya kuota ekspor tersebut akhirnya melihat suramnya prospek mereka. Ternyata industri tekstil sudah sangat luas sehingga yang memang biasanya mengekspor tanpa kuota atau mendompleng kuota pengusaha lain dengan membayar fee menjadi lebih mampu bersaing lagi tanpa hambatan kuota. 

Akhirnya kita ketahui justru ekspor tekstil Indonesia mampu lebih bangkit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selama dua tahun terakhir berturut-turut ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia mencapai sekitar USD13 miliar dan USD12 miliar. Banyak pengusaha tekstil yang akhirnya bahkan memperluas usaha. 

Sukabumi merupakan kota favorit bagi banyak pengusaha pakaian jadi karena UMR yang lebih rendah dan karakter pekerjanya yang tidak semilitan di Jabotabek. Hampir 200 perusahaan garmen bercokol di kota tersebut dan menurut kalangan pengusaha sangat bersaing dalam mendapatkan sumber daya manusia. Akhirnya bahkan muncul fenomena bajak-membajak tukang jahit untuk mengisi pabrik mereka. 

Demikian juga Kota Bandung, Solo, Sukoharjo, Karanganyar, Ungaran, dan banyak tempat lain mulai berkembang menjadi kota yang friendly bagi industri dan produk tekstil. Kebangkitan industri tersebut saya rasakan secara langsung waktu mengunjungi beberapa perusahaan tekstil di Kota Bandung. Beberapa industri yang terintegrasi, dari unit pemintalan, pertenunan, finishing sampai dengan unit pakaian jadi, mulai dibangun dengan teknologi yang modern. 

Beberapa pabrik yang saya temui bahkan menggunakan hanger system yang diimpor dari Swiss dan dapat meningkatkan produktivitas mereka pada unit pakaian jadinya. Dengan demikian, tingkat upah yang lebih tinggi dari Vietnam, misalnya, dapat dikompensasi dengan pengolahan produk yang lebih efisien dan lebih tinggi kualitasnya. Itulah sebabnya produk tekstil Indonesia mampu memperluas pasarnya di negara-negara Amerika dan Eropa maupun di pasar-pasar yang baru seperti Afrika. 

Industri tekstil pernah mengalami gonjang-ganjing kenaikan harga kapas yang meningkat lebih dari dua kali lipat beberapa tahun lalu. Kenaikan harga kapas tersebut akhirnya membangunkan industri poliester, bahan baku tekstil yang berasal dari produk petrokimia, yang mengalami stagnasi selama 14 tahun. Akhirnya industri poliester bangkit kembali yang ditandai dengan pembangunan pabrik baru oleh Indorama di Purwakarta. 

Terdapat juga akuisisi pabrik poliester yang mengalami kerugian kronis, yaitu Unilon di Bandung dan Tifico di Serpong. Unilon akhirnya diakuisisi oleh pengusaha sarung dari Tegal, yaitu Jamaludin al- Katiri, sementara Tifico diambil alih oleh pengusaha tekstil dari Bandung, yaitu Tatang. Pabrik yang mengalami kerugian selama dikelola oleh orang Jepang ternyata berubah menguntungkan setelah diambil alih pengusaha Indonesia. 

Sementara itu bahan baku tekstil lainnya juga dikembangkan secara cepat di Indonesia. Terdapat dua pabrik rayon di Purwakarta yang sangat aktif dewasa ini, salah satunya Indo-Bharat yang dimiliki Birla Group dari India yang didirikan di tahun 1980. Kapasitas pabrik tersebut dewasa ini sebesar 200.000 ton. 

Sementara itu pabrik lain, South Pacific Viscose, yang merupakan bagian dari Lenzing Group, Austria, dan baru saja mengoperasikan pabrik kelima mereka sehingga total kapasitas pabriknya menjadi 325.000 ton, merupakan pabrik rayon terbesar di dunia yang terletak di satu tempat yang sama. Dengan impor kapas tahunan kita yang mencapai 600.000 ton, rayon yang mencapai 525.000 ton, dan banyaknya industri poliester, portofolio industri tekstil kita menjadi lebih luas dan memungkinkan mereka untuk memanfaatkan produk yang memberikan biaya paling murah. 

Itulah sebabnya Sritex di Solo dewasa ini juga mampu mengekspor benang ke China karena produk mereka sangat bisa bersaingdenganproduknegeri China. Dengan melihat fakta-fakta tersebut, Indonesia dewasa ini memiliki industri tekstil yang sangat kuat dari hulu ke hilir sehingga sangat mampu bersaing dengan negara lain dalam mengisi pasar ekspor. 

Yang diperlukan adalah agresivitas yang lebih tinggi dari para pengusaha dan pemerintah, dalam hal ini jajaran Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, untuk bisa membuka akses yang kompetitif bagi produk kita (dengan tarif bea masuk yang sama dan bersaing dengan negara lain) serta kemampuan pendekatan dan lobi pemasaran pengusaha kita yang lebih andal. 

Saya teringat dokumen dari Kedutaan Besar Amerika Serikat beberapa tahun lalu yang mengatakan Indonesia adalah the hidden secret in Asia karena menurut para buyer mereka, pengusaha tekstil dan garmen Indonesia sangat bagus dan bersaing, tetapi belum begitu dikenal oleh para buyer di Negara Paman Sam. Semoga peringatan Menteri Perindustrian minggu lalu menjadi cambuk bagi dunia industri tekstil Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar