Senin, 20 Mei 2013

Dokter dan Rakyat Padu Membangun Bangsa


Dokter dan Rakyat Padu Membangun Bangsa
Zaenal Abidin ;  Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 
KORAN SINDO, 20 Mei 2013

Fakta sejarah membuktikan bahwa proses pembentukan fondasi negara Indonesia pada awal abad ke-20 dimulai dengan keberadaan para emansipator bangsa yang tumbuh dan berproses di dalam kelompok sosial masyarakat. 

Para emansipator ini berupaya mengasah dan meningkatkan diri menuju suatu kedudukan intelektual, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan gender yang lebih layak sehingga menjadi bagian integral dalam tata kehidupan masyarakat. Salah satu komponen emansipator bangsa tersebut adalah kelompok dokter pribumi sebagai pelopor semangat nasionalisme dan kesadaran berbangsa. 

Dua nama dari mereka yang tercatat dalam sejarah sebagai pelopor emansipasi di Nusantara yakni Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo. Berkat kepeloporannya inilah yang kemudian tertuang dalam sejarah sebagai Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional para dokter lahir dari nilai-nilai luhur profesi dokter sebagaimana Sumpah Hipocrates yang telah dicanangkan sejak ribuan tahun yang lalu. 

Profesi dokter yang dalam menjalankan keprofesiannya tidak terpengaruh oleh pertimbangan suku, agama, status sosial, jenis kelamin, pilihan politik, serta kepentingan pribadi dan kelompok. Profesi yang selalu prihatin dan berpihak kepada yang miskin, lemah, dan terpinggirkan. Sebagai refleksi Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei tahun ini tidak salah jika diingatkan kembali tentang sejarah tersebut untuk menghindari “amnesia kolektif” dari masyarakat agar tahu makna dan dampak sejarahnya bagi bangsa ini. 

Sebuah semangat yang kemudian menjadi embrio dan katalisator kesadaran berbangsa dan pada gilirannya melahirkan semangat berdirinya Boedi Oetomo. Perkumpulan Boedi Oetomo didirikan oleh mahasiswa kedokteran STOVIA yaitu Soetomo, Soeraji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, Moeh Saleh, dan kawan-kawannya. 

Soetomo dan Soeraji sebagai pelaku utama pendirian Boedi Oetomo dimotivasi oleh perjuangan Dr Wahidin Soedirohoesodo. Cita-cita Boedi Oetomo saat itu adalah “Kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, serta kebudayaan mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kedudukan bangsa yang terhormat “.
Suatu cita-cita yang melampaui zamannya. Cita-cita yang menyatakan dengan tegas konsep-konsep masa kini tentang visi, misi, strategi, dan nilai–nilai inti serta tujuan inti, terutama dalam rangka mewujudkan bangsa yang berdaulat, merdeka, teremansipasi, dan sederajat dengan bangsa-bangsa merdeka yang lain.
Sejak 2008 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mencanangkan tanggal 20 Mei yang bertepatan Hari Kebangkitan Nasional sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia. Menjelang 105 tahun (20 Mei 2013), tidak ada salahnya kita evaluasi kembali apakah tujuan mencapai kehidupan bangsa yang terhormat sebagaimana dicita-citakan untuk pertama kalinya oleh para dokter tersebut sebagai “leading profession” sudah tercapai? Selanjutnya bagaimana agar pemahaman dan peranan para dokter dalam pembangunan dan kesadaran terhadap kesehatan rakyat, kelangsungan pembangunan nasional, serta ketahanan nasional tetap tertanamkan dalam setiap gerak langkah seluruh dokter Indonesia.. 

Pada dasarnya dokter itu seorang intelektual yang dalam mengamalkan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah masyarakat. Untuk pengamalan profesi ia dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala bidikannya. Nilai itu antara lain kemanusiaan (humanism), etika (ethics), dan kompetensi (competence). Karena itu, seorang dokter, di mana pun ia ditempatkan seyogianya memerankan diri sebagai intelektual profesional. 

Itulah yang dilakukan dokter Wahidin, dokter Soetomo, dan para sejawat pendahulunya waktu itu. Itu pula sebabnya ia amat disegani dan dicintai masyarakatnya. Karena itu, peran dokter saat ini harus dikembalikan kepada peran dokter yang dicontohkan Wahidin, Soetomo, dan kawankawan. Dokter tidak boleh sekadar menjadi agent of treatment, tapi juga harus menularkan nilai profesi dan kecendekiawanannya. 

Sebagai intelektual bangsa, dokter pun harus menjadi agent of mental-social change dan agent of development dalam pembangunan. Kini banyak dokter yang akhirnya lebih concern dengan mempelajari dan mengatasi segala sesuatu tentang penyakit. Dengan begitu, kewajiban untuk menyehatkan rakyat sekadar menganjurkan minum obat teratur, minum vitamin/mineral, dan lain-lain. 

Tentu sangat disayangkan jika membiarkan para dokter terjebak pada rutinitas profesionalisme sempit semacam itu. Padahal sebagai intelektual para dokter dapat mengambil peran lebih dari sekadar agent of treatment. Dokter dapat melakukan intervensi dalam pembangunan mental, spiritual, dan sosial di tengah masyarakat. Harus diingat bahwa hari ini dan pada masa depan kepeloporan dokter masih sangat dirindukan. 

Kiprahnya dan kepeloporannya dalam peran “kepemimpinan-intelektual profesional”, yang memadukan tugas agent of treatment, agent of change, dan agent of development, sangat dinantikan. Sekadar diketahui, WHO baru pada 1994 mengidentifikasikan peran dan kiprah ini dengan menyebutnya sebagai “The Five Stars Doctors” yaitu community leader, communicator, manager, decision maker, dancare provider.
Memasuki 105 tahun kiprah dokter di Indonesia, banyak yang sudah terjadi. 
Banyak hal yang seharusnya menjadi concern para dokter maupun lembaga profesinya. Iklim keterbukaan serta ada krisis kepercayaan terhadap dokter menyebabkan dalam banyak kasus terkesan dokter banyak disudutkan. Seperti kasus yang sudah dipublikasikan sebagai malapraktik yang belum terbukti kebenarannya, pemakaian obat generik, moral hazard dokter dalam asuransi, bahkan penilaian dokter Indonesia yang dianggap kurang profesional. 

Dokter bukanlah status strata sosial, bukan pula status pencapaian taraf kemapanan ekonomi. Dokter bukan bagian eksklusif di dalam masyarakat, yang dapat berakibat salah satu agen ketimpangan dalam masyarakat. Bukan hanya di dalam masyarakat, dokter pun seharusnya tidak menjadi agen ketimpangan dalam institusi kecil tempat kerjanya seperti di rumah sakit, puskesmas, dan sebagainya. 

Hal ini perlu dipahami agar jangan muncul ekspektasi yang berlebihan terhadap seorang dokter. Seharusnya diciptakan suatu kondisi di mana negara, rakyat, dan sistem yang menempatkan secara patut pada posisi serta level sebagai dokter. Dengan begitu, di mana pun dokter berada, dia akan dihargai karena seluruh golongan masyarakat mengakui penghargaan yang melekat pada dokter tersebut. 

Karena itu juga, IDI terus berjuang untuk meyakinkan negara, rakyat, dan terutama pihak yang berkuasa terhadap perubahan sistem agar mengakui serta menetapkan penghargaan yang patut serta pantas bagi dokter. Perjuangan ini amanah profesi IDI yang harus ditunaikan. Kesehatan saat ini belum sepenuhnya dipandang sebagai unsur utama ketahanan nasional. Kesehatan juga belum dianggap sebagai modal utama kelangsungan pembangunan nasional. 

Kesehatan baru dipahami sebagai “komoditas politik” penguasa. Itu pun terbatas pada aktivitas “pengobatan gratis”, yang menempatkan kesehatan SDM bidang kesehatan sebagai komponen di dalamnya salah satunya dokter. Cara pandang yang memahami kesehatan sebagai pengobatan saja (paradigma sakit) dan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, bukan tanggungjawab semua sektor, tidak akan bisa menempatkan kesehatan sebagai mainstream pembangunan nasional. 

Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, perlu diupayakan hadirnya gerakan bersama membangun bangsa. Gerakan yang mengerahkan seluruh potensi dokter untuk padu bersama rakyat untuk menyehatkan dan membangun bangsa. Revitalisasi peran dokter dalam pembangunan bangsa untuk mewujudkan ketahanan nasional perlu dilakukan secara terus menerus dengan menjadikan Hari Kebangkitan Nasional yang juga Hari Bakti Dokter Indonesia sebagai reminder peran dan baktinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar