|
KORAN
TEMPO, 13 Mei 2013
Di tengah bangsa yang tanpa arah ini, solidaritas nasional tidak
terwujud karena tidak adanya kepemimpinan visioner yang sanggup merekatkan
kembali ikatan-ikatan sempit yang mencuat dan menguat kembali.
Setelah melewati periode tidur panjang, apa yang dipuji
sebagai "kebangunan demokrasi" di negeri ini seperti berjalan tanpa
arah. Benih demokrasi yang ingin disemaikan, setelah berpuluh tahun diimpit
rapat-rapat, kini malah dicemari oleh kepentingan jangka pendek yang menepikan
segala prinsip. Peluang bagi demokrasi yang sehat telah dihegemoni oleh
pemenuhan hasrat yang tak putus-putus akan kuasa dan harta.
Kita belum memiliki hasil studi yang otentik dan memadai
perihal relasi di antara "demokrasi baru" dan korupsi di sini. Namun
kajian Olson (2002) di wilayah Eropa Timur pasca-komunis memberi cerminan
reflektif yang pesimistis. Korupsi mekar tak ubahnya buah dari "kebangunan
demokrasi". Di dalamnya, sembari bersaing, para elite kekuasaan berusaha
"saling mengerti" bagaimana masing-masing menghimpun sumber daya yang
diperlukan untuk menjalankan mesin politik.
Demokrasi kita, yang diharapkan menjadi jalan bagi
penguatan kembali kedaulatan rakyat, telah ditawan oleh mereka yang
memanfaatkan kapital dan kemakmuran individu untuk membeli suara-orang miskin
"dilarang" menjadi anggota parlemen. Demokrasi yang diharapkan mampu
membebaskan rakyat dari kungkungan trauma sejarah kehilangan momentum
perubahannya. Politik pembebasan, meminjam kata-kata filsuf Prancis, Alain
Badiou, menjadi teramat lemah.
Demokrasi kita juga ditandai oleh kehadiran politikus
oportunistik yang begitu mudah berpindah-pindah partai-sebuah perilaku politik
yang mencerminkan tidak adanya cita-cita perjuangan dalam berpolitik. Bagi
mereka, partai politik adalah tunggangan, sedangkan rakyat hanyalah isu yang
dijual menjelang hari pemungutan suara. Berpolitik sebagai jalan untuk
memperjuangkan gagasan kini semakin langka. Partai mengalami kemiskinan
ideologi-lantas, untuk apa berpartai bila tanpa ideologi?
Kita berada di dalam suatu kurun ketika gagasan menjadi
sesuatu yang ganjil. Kita menapaki jalan, entah ke arah mana, yang menyimpang
dari rintisan para pendiri bangsa. Kita disibukkan oleh isu-isu yang tidak
strategis dan tidak menjangkau masa depan. Kita direpotkan oleh isu-isu yang
melelahkan serta menyita banyak waktu, energi, dan perhatian bersama, padahal
isu itu bukan yang utama dan mendasar bagi sebagian besar rakyat negeri
ini-sebuah gambaran "the tragedy of
the commons" dalam pelukisan Hardins (1968).
Kekuatan-kekuatan oligarkis terbukti lebih berpengalaman
dalam mencuri peluang dan menciptakan beragam tragedi. Di tengah transisi dari
rezim Orde Baru menuju konsolidasi demokrasi, kekuatan-kekuatan oligarkis
menyelinap dan mengambil keuntungan dari situasi yang tidak pasti. Seperti
dikatakan Winters (2012), kejatuhan Soeharto melahirkan efek ganda dengan
konsekuensi saling bertentangan. Ketika transisi menuju demokrasi tengah
diupayakan, saat itu pula berlangsung transisi oligarki sultanistik menuju
oligarki penguasa kolektif yang tidak jinak dan tidak terkendali oleh hukum.
Masyarakat madani, di mata Winters, terlalu lemah untuk
menangkap peluang kembalinya demokrasi, sementara para oligark bergerak lebih
cepat untuk mendominasi demokrasi. Demokrasi elektoral bahkan memberi cara baru
bagi oligark untuk mengupayakan kepentingan mereka. Lembaga-lembaga demokrasi
justru menyediakan arena bagi maraknya kerja sama dan persaingan antar-oligark.
Studi Christian von Luebke (2011) menguatkan hal ini bahwa
kepemimpinan pasca-Soeharto bukan hanya dipengaruhi oleh karakteristik individual,
tapi juga oleh "topografi" kekuasaan, seperti konsentrasi dan
konektivitas politik dengan aset sosio-ekonomi. Kejatuhan Soeharto, menurut
Robison dan Hadiz (Reorganizing Power in
Indonesia, 2004), membuka jalan bagi oligarki bisnis-politik untuk menyusun
kembali kekuasaannya melalui akomodasi baru terhadap berbagai kepentingan
populis dan predatoris di dalam masyarakat dan institusi-institusi baru di masa
demokrasi.
Kekuatan oligarkis telah menguasai sebagian besar media,
yang semula menjadi tumpuan harapan dalam ikhtiar memulihkan kedaulatan rakyat.
Kekuatan oligarkis menghimpun tiga sumber daya yang luar biasa di dalam satu
tangan: bisnis-ekonomi, media, dan politik. Upaya melindungi forum publik dari
dominasi para elite dan kepentingan khusus dengan agenda-agenda yang tidak
konsisten dengan kepentingan publik kini menjadi tugas yang semakin sukar.
Dalam persaingan kuasa itu, tidak berlangsung pertarungan
gagasan mengenai Indonesia masa depan. Seperti apa Indonesia masa depan yang
diimajinasikan oleh para elite? Ketika kata-kata berhenti menjadi jargon dan
klise, kita pun kehilangan spirit dan cita-cita kebangsaan yang diimajinasikan
oleh Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain. Sebagai bangsa, kita mengalami
apa yang disebut oleh Jeffrey Goldfarb (Civility
and Subversion, 1998) sebagai "systemic
deliberation deficit". Lalu-lalang percakapan tidak beranjak dari
telaah mendalam. Keriuhannya dipandu oleh refleks semata. Sebuah kecurigaan
sanggup melontarkan debat berkepanjangan. Di titik itu, yang disebut rakyat
hanyalah penonton dari lalu-lalangnya percakapan yang tidak deliberatif.
Laku politik sepertinya telah dikendalikan oleh apa yang
disebut Bertrand Russell sebagai "slogan-slogan hampa yang tidak
mengandung kebenaran". Pada saat seperti itu, sebagian besar inteligensia
yang diharap dapat memberadabkan kontestasi politik dan mensubversi
konsensus-konsensus yang hanya memuaskan kaum elite sendiri ternyata kian
terpesona oleh kuasa.
Mencemaskan bahwa kita semakin kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan
masalah secara adab. Kekerasan kian menjadi pilihan untuk menyelesaikan
perselisihan pendapat. Kita dibimbing oleh rasa curiga, takut, dan marah dalam
mengatasi persoalan. Begitu mudah kita memagari diri ke dalam "kita"
dan "mereka" seakan perbedaan tak terjembatani. Kekerasan menjadi
banal, lumrah, jamak, bukan hanya di tingkat negara, massa, tapi juga
individual dengan kualitas yang kian mencemaskan.
Di tengah kegalauan nilai yang simpang-siur, rakyat nyaris
kehilangan harapan karena hukum yang adil tak kunjung tegak. Massa telah
menjadi kepanjangan tangan kepentingan-kepentingan politikus, partai, elite
ekonomi, dan bahkan otoritas keagamaan yang menghegemoni kebenaran. Massa bukan
lagi persenyawaan orang-orang yang secara sadar memperjuangkan gagasan bersama
secara mandiri.
Di tengah bangsa yang tanpa arah ini, solidaritas nasional
tidak terwujud karena tidak adanya kepemimpinan visioner yang sanggup
merekatkan kembali ikatan-ikatan sempit yang mencuat dan menguat kembali.
Pertikaian dan kekacauan telah memperlihatkan secara telanjang bahwa
kepemimpinan yang lemah tidak sanggup mengemudikan arah perubahan.
Ketidakmampuan mengambil prakarsa mendorong berbagai pihak bertindak atas
kehendak sendiri. Wewenang besar yang telah diamanahkan terbukti tidak cukup
punya arti di tangan kepemimpinan yang gamang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar