Kamis, 23 Mei 2013

Manajemen Partai Bodrek


Manajemen Partai Bodrek
Rhenald Kasali  ;  Guru Besar FEUI
KOMPAS, 23 Mei 2013


Pelatihan Belum Jamin Integritas”, begitu judul berita di Kompas, 8 Mei 2013. Partai politik telah menangkap bahwa benar integritas telah menjadi penentu pilihan masyarakat. Namun, bisakah integritas dibangun dalam manajemen partai ”pasukan bodrek”?

Ini tak ada hubungannya sama sekali dengan nama merek, tetapi istilah populer yang sudah banyak disebut masyarakat dan kalangan pers sejak 1980-an. Istilah ini diberikan kepada kelompok wartawan yang biasa berkumpul di kantor-kantor humas pemerintah, seminar, atau konferensi pers, yang mereka tahu ada ”amplop”-nya. Mereka ada karena ada yang memberikan sesuatu.

Lambat laun, aksi mereka meresahkan. Selain bergerombol dan tidak malu meminta, sebagian di antara mereka ada yang benar-benar bekerja di surat kabar tertentu. Berita yang ditulis bukan lagi suatu kebenaran, melainkan direkayasa untuk mendapatkan amplop-amplop lain yang lebih besar. Di era media sosial, sebagian dari mereka pun membuat akun-akun anonim yang ”bisa menyetir” kebenaran.

Waktu berjalan, perilaku bodrek pun menyebar, memasuki relung-relung ruang demokrasi. Kini, perilaku serupa terbentuk di hampir semua parpol dengan cara-cara yang juga sama.

Amplop adalah tujuan

Bila hari ini kita bisa membedakan dua jenis surat kabar: koran berintegritas dan koran bodrek, tentu bukan karena pelatihan. Harian Kompas adalah contoh yang pertama. Integritasnya dibentuk, didesain dengan penuh kesadaran bahwa tanpa integritas, ”kata” yang ditulis kehilangan makna. Maka, ada aturan wartawan dilarang mengutip dalam bentuk apa pun yang dijalankan dengan sanksi tegas.

Wartawan diberi gaji yang layak, dibentuk menjadi sosok bermartabat, cerdas, dan kritis. Di dalam, mereka dibentuk dengan tata nilai kuat. Lebih dari segalanya, harian berintegritas hanya merekrut pegawai-pegawai yang punya integritas sama, bukan yang sudah pandai dalam bentuk apa pun. Bukan yang bermulut besar, pandai cari uang dan punya sahabat di mana-mana. Hanya di tangan orang-orang yang berintegritas, pilar demokrasi mampu berdiri tegak.

Lain lagi koran bodrek. Menurut teman-teman saya yang menjadi pasukan bodrek, mereka memang tidak digaji. Mereka hanya datang ke pemilik koran, diberi kartu pers, lalu dibiarkan mencari makan sendiri. Wajar kalau mereka berprinsip, amplop itu hak!
Tidak ada seleksi siapa yang bisa bergabung, tak ada aturan yang melarang mengutip amplop, tak ada gaji, tak ada tata nilai yang mengikat. Bisa Anda bayangkan apa judul dan isi beritanya, dan bagaimana masa depannya.

Sekarang, mari kita lihat isi hampir semua parpol. Hanya mereka yang lolos sebagai anggota legislatif atau terpilih oleh rakyat sebagai pejabat publik yang menerima gaji dari negara. Dari uang itu, mereka kena ”wajib” setor sebagian ke partai. Namun, untuk terpilih menjadi calon anggota legislatif, calon bupati, calon wali kota, semua butuh biaya.

Ada partai yang mengistilahkan infak, uang mahar, tanda jadi, uang kontrak, dan seterusnya. Partai punya kecenderungan tidak menggaji. Politisi-politisi partai dibiarkan mencari uang dengan cara masing-masing. Ada yang cerdik bermain sistem sel, berpura-pura tidak kenal dengan para operator pencari uang di lapangan. Bila tertangkap tangan, operator dianggap sel busuk, lalu dibiarkan ”mati sendiri”.

Ada pula yang mencari proyek dengan menyisir semua anggaran (APBD) dan menugaskan anggota-anggotanya menekan di gedung parlemen. Begitu menterinya goyah, operator-operator lain segera menggeruduk. Rakyat mengeluh, ”Katanya ekonomi membaik, tetapi proyek-proyek pemerintah kok sulit didapat?”

Operator lain bermain di sektor-sektor yang seakan-akan tidak ada uangnya. Apakah itu pertahanan keamanan atau penegakan hukum, semua bisa diatur, dari pemilihan pejabat publik sampai mengegolkan kerabat.

Semua boleh

Parlemen kita tidak melarang politisi melakukan kegiatan yang memicu konflik kepentingan. Mereka boleh punya usaha apa saja, tidak ada aturan usaha mana yang boleh atau tidak boleh. Apa yang diucapkan di gedung parlemen, bahkan di depan kamera televisi, dengan bisnis yang ditekuni pun sama saja. Semua adalah soal kepentingan. Dari situlah sumbangan-sumbangan operasional partai berawal, langsung maupun tidak langsung.

Jadi, tidak ada seleksi manusia berdasarkan kriteria integritas. Tidak ada larangan menerima amplop atau mencari usaha yang bertentangan dengan kepentingan publik. Tidak ada sanksi tegas. Tidak ada gaji khusus untuk pengurus. Tidak ada tata nilai yang dikawal tegas. Lalu hanya dengan pelatihan, partai ingin membangun integritas?

Partai berintegritas

Partai berintegritas harus dimulai dari para pendiri atau para pimpinannya yang berkomitmen bukan untuk memperkaya diri atau melindungi kepentingan usahanya. Partai itu harus tegas menentukan dari mana mendapatkan biaya operasional dan menyajikannya secara terbuka.

Benar partai politik adalah ”massa” yang sebesar-besarnya. Namun, UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Parpol menyebutkan, anggota parpol adalah warga negara Republik Indonesia yang ”memenuhi ketentuan yang ditetapkan partai politik” (ayat 1c). Jadi, kehormatan seperti apa yang diharapkan para politisi dari masyarakat kalau semua hanya money talk?

Belajar dari kelompok wartawan bodrek, saya hanya bisa mengatakan, tidak ada respek, integritas, martabat, bahkan kebenaran dalam politik dengan manajemen bodrek. Maka, pilihannya cuma ini: berubah atau mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar