Kamis, 16 Mei 2013

Lagi, BBM vs BLT


Lagi, BBM vs BLT
Dinna Wisnu ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina 
KORAN SINDO, 15 Mei 2013

Tahun lalu, tepatnya 21 Maret 2012, saya pernah menulis di kolom ini seputar polemik melepas subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan kebijakan bagi-bagi Bantuan Langsung Tunai (BLT). 

Tak terasa satu tahun berlalu dan hari ini kita lagi-lagi berkutat pada masalah yang sama. Minggu lalu dipastikan pada pertengahan tahun 2013 harga bahan bakar premium dan solar akan dinaikkan. Karena pengurangan subsidi BBM ini dianggap pemerintah akan memberatkan masyarakat miskin, pemerintah mengumumkan mereka telah menyiapkan empat program kompensasi. 

Yakni, program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang prinsipnya sama dengan BLT berupa penyerahan dana tunai Rp150.000 per bulan bagi keluarga yang dianggap layak, Program Raskin (pembagian beras murah bagi rakyat miskin), Program Keluarga Harapan (pembagian dana tunai untuk kebutuhan cek kesehatan bagi perempuan hamil dan anakanaknya, juga dana tunai untuk subsidi biaya sekolah SD-SMP bagi ibu yang punya anak usia 0–18 tahun), dan program bantuan siswa miskin. Dialog seputar BBM dan BLT yang berlangsung sampai hari ini masih berkutat pada upaya menambah jumlah peserta penerima dana kompensasi. 

Bukan mustahil sebatas itu pula parlemen kita nanti akan bertanya jawab pada pemerintah pekan ini, padahal seharusnya isi dialog kita lebih berbobot lagi. Keempat program yang diusulkan pemerintah tersebut adalah bagian dari model targeting dalam pemberian jaminan sosial. Targeting di sini artinya “memberi dengan membidik langsung ke pusat masalah”. 

Dalam kosakata jaminan sosial yang diakui di seluruh dunia, program- program yang sifatnya targeting adalah program-program yang dikawal dengan ketat oleh pelaksana kebijakan. Ada pendamping yang mengawasi pengantaran dana, ada hitungan persis tentang periode waktu saat seseorang berhak menerima bantuan dan kapan ia dianggap “lulus”.  Dalam program targeting, penerima bantuan harus memenuhi sejumlah syarat yang kasatmata dapat diukur supaya kemungkinan salah sasaran dapat dihindari. 

Program targeting juga berhitung bahwa dengan menyalurkan dana segar kepada individu tertentu pada suatu periode, sejumlah dimensi kehidupan individu tersebut akan berubah menjadi lebih bermutu sehingga dampak positifnya bisa dirasakan oleh komunitas tempat para penerima bantuan ini tinggal. 

Contoh ideal dari program targeting adalah pemberian bantuan tunai bagi ibu hamil usia di bawah 18 tahun yang putus sekolah. Mudah bagi masyarakat untuk menilai apakah seseorang berhak atau tidak atas bantuan macam itu karena buktinya kasatmata. Ukuran keterlibatan pemerintah pun relatif jelas, misalnya memberikan bantuan cek kesehatan, konsultasi gizi-pengobatan anak dan masa nifas, serta menyekolahkan si ibu sampai lulus SMA. 

Berapa tahun dan berapa biayanya bisa terukur. Pendamping program ini pun dapat dengan jelas memantau pelaksanaan program dengan mudah. Jika si ibu remaja ini didampingi dengan tekun, tidak hanya si ibu tetap berpendidikan sehingga berpotensi lebih baik sebagai tenaga kerja, tetapi kesehatan ibu dan bayinya juga terjaga. Sekarang bandingkanlah dengan program targeting yang dikembangkan pemerintah selama ini. 

Keempat program yang diumumkan pemerintah tadi bermaksud menyasar keluarga dan individu yang tergolong sangat miskin. PKH membidik 40% perempuan dari keluargatermiskindiIndonesia, sementara program yang lain tidak menetapkan kriteria yang spesifik selain bahwa anak, individu atau keluarga miskin berhak menerima bantuan tunai tersebut. 

Tapi, apakah kita bisa melihat secara kasatmata siapa yang paling berhak menerima bantuan tersebut di seluruh Indonesia? Kenyataannya sulit karena program-program kita menyasar masyarakat “termiskin” dan ukuran termiskin itu sendiri kompleks dimensidimensinya. Khusus untuk PKH, Kementerian Sosial memakai data PPLS dari Badan Pusat Statistik, tapi data itu pun tidak imun kritik. Kemiskinan dalam PPLS merupakan indeks kompleks yang elemennya antara lain soal status kepemilikan aset, besar rumah, jenis dinding, jenis penerangan dalam rumah, jenis atap, jenis kecacatan atau penyakityangditanggungkeluarga, dan sebagainya. 

Di satu sisi, ada problem di tataran miskin vs rentan. Ada orang yang rumahnya berdinding bata/batako dan atapnya genteng, tetapi karena ventilasi buruk dan lingkungan sekitarnya hampir tidak berjarak dan tidak punya sanitasi baik, keluarga yang tinggal di rumah itu sangat rentan. Apakah mereka tidak berhak atas bantuan tunai tersebut? Bagaimana dengan yang sama sekali tidak punya rumah, tinggal di kolong jembatan, di stasiun atau panti asuhan dan tempat penampungan anak-anak telantar? Mereka tidak terdaftar di PPLS ini. 

Kemudian soal ke mana dana-dana keempat program tadi jatuh. Kita bisa lihat dari waktu ke waktu program PKH, raskin, BSM, dan BLSM jatuh di provinsi, kota/kabupaten, dan desa yang itu-itu juga, yakni yang tak jauh dari Pulau Jawa atau dekat dengan kota-kota besar di Pulau Sulawesi dan Sumatera. Penduduk di pulau-pulau terdepan atau di pegunungan terpencil justru tak mendapatkan bantuan ini. Mungkin ada argumen bahwa dampak kenaikan BBM akan paling terasa di daerah perkotaan dan sekitarnya sehingga logis bila dana kompensasi dibagikan ke daerah-daerah tersebut. Sekarang pertanyaannya, problem apa yang sesungguhnya mau diselesaikan oleh pemerintah dengan mengurangi subsidi BBM? Kemiskinan masyarakat? Kerentanan masyarakat akibat inflasi yang muncul menyusul kenaikan harga BBM? Mencegah penambahan utang akibat subsidi BBM? Menjaga popularitas politisi tertentu? Atau memperbaiki ketahanan energi di Indonesia? Mari kita dengan jernih melihat masalah BBM vs BLT ini. 

Aliran dana yang tidak menuju pada sektor-sektor produktif, yang hasilnya tidak bisa diukur dalam periode jangka pendek, sama saja dengan membuang-buang uang. Dalam konteks negara berkembang, problem penanggulangan kemiskinan adalah masalah yang rumit jika solusi kita selalu jangka pendek. Jumlah orang yang miskin jelas jauh lebih banyak daripada yang tidak miskin. Kemiskinan punya wajah yang heterogen: tidak bisa dilihat sebagai satu kumpulan manusia dengan solusi keluar dari kemiskinan yang sama. 

Artinya, kita sungguh harus memikirkan: orang miskin yang mana yang menurut pemerintah patut diberi dana segar selama periode tertentu melalui dana pengalihan subsidi BBM ini? Orang miskin mana yang jika menerima dana segar tertentu bisa menghidupkan perekonomian di komunitasnya? Kalau kita tengok pada semangat UUD 1945, juga halhal yang disuarakan oleh para pendiri bangsa, politisi dan pengamat yang memberi pendapat selama amendemen UUD 1945, yang dijunjung tinggi oleh Indonesia adalah harkat dan martabat manusia. 

Kita sepakat dalam UUD 1945 bahwa jangan sampai ada satu pun orang Indonesia yang merasa dianaktirikan karena ia cacat, sakit-sakitan, lansia, yatim piatu, tak berpendidikan ataupun miskin. Negara memfasilitasi kebutuhan mereka, tetapi tiap individu dan komunitasnya juga punya tanggung jawab untuk membangun kesejahteraan bagi komunitasnya. Jadi semangatnya bukan negara menjadi penyantun tetap bagi masyarakat. 

Dengan demikian, mari kita keluar dari kemelut polemik potong subsidi vs kasih kompensasi tunai ini. Yang penting bukan berapa orang yang akan menerima dana kompensasi dan berapa rupiah, tetapi siapa yang patut menerimanya? Apakah pemerintah bisa mengukur dan memantau dampak jangka pendek dari pemberian dana segar tersebut? Jika tidak, mengapa tidak dialihkan saja untuk pembangunan infrastruktur dan transportasi umum? Toh masyarakat miskin di daerah terpencil masih direpotkan oleh ketiadaan fasilitasfasilitas semacam itu. 

Jangan lupa pula, sudah saatnya kita juga berpikir tentang peralihan pada energi terbarukan. Pelajaran sangat berharga dari negara-negara lain adalah bahwa model targeting tidak bisa dilakukan terus-menerus, apalagi jika hasilnya tidak bisa dilihat dalam jangka pendek. Model targeting selalu akan memberatkan anggaran negara, apalagi kalau jumlah orang yang tidak mampu banyak. 

Cara terbaik mengurangi ketergantungan pada subsidi BBM adalah dengan memberi instrumen dan fasilitas untuk dipakai dan dikembangkan masyarakat agar lebih hemat BBM, tetapi tetap produktif dan berprestasi. Betul kata orang tua dulu: berilah kailnya dan bukan ikannya. Di sini saya tambahkan: bolehlah kita memberi ikan, tetapi kepada orang yang kemudian tahu ke mana ia harus mencari dan membudidayakan ikan berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar