Jumat, 10 Mei 2013

Korupsi Politik-Bisnis


Korupsi Politik-Bisnis
Reza Syawawi ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 10 Mei 2013


Sepanjang 32 tahun berkuasa, rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto dianggap sebagai prototipe korupsi di Indonesia. Model korupsi di zaman Orba diklaim sebagai awal mula munculnya "hubungan baik" antara politik (kekuasaan) dan kepentingan bisnis. 
Alhasil, para ahli ekonomi politik modern Indonesia sepakat bahwa lapisan orang kaya yang cukup besar muncul setelah Soeharto berkuasa sejak 1960-an. Namun tidak banyak kesepakatan bagaimana menyebut mereka. Yang pasti mereka dipandang sebagai "orang kaya", "wiraswasta sukses", "kapitalis naik daun", "konglomerat", "kapitalis konco", dan "keluarga politik-bisnis" (Jeffrey. A Winters ; 2011).
Oleh Winters, mereka diposisikan sebagai oligark (oligarch), yaitu pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya. Ini menandakan bahwa, pasca-reformasi, keruntuhan Orde Baru bukanlah keruntuhan atas rezim yang korup, melainkan hanyalah pergantian pemegang kekuasaan. 
Relasi
Korupsi sebagai kejahatan yang terorganisasi (organized crime) tidak hanya melibatkan unsur institusi negara sebagai satu-satunya aktor tunggal. Sektor bisnis sebetulnya menjadi penyokong paling kuat untuk melanggengkan praktek korupsi yang dibangun atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan.
Dalam studi politik, hubungan uang dan kekuasaan adalah sebuah keniscayaan. Maka, tidak terlalu mengagetkan apabila ketidaksetaraan besar kekayaan akan menghasilkan ketidaksetaraan besar dalam kekuasaan dan pengaruh politik dalam demokrasi. Sebuah gerakan politik yang memiliki pendanaan kuat akan lebih berpengaruh dibandingkan dengan yang dananya terbatas (Winters ; 7).
Jika dikaitkan dengan kondisi riil yang ada, kasus korupsi yang disangkakan terhadap ketua dua partai politik, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD), cukup representatif untuk melacak relasi politik-bisnis yang melingkupinya. Masing-masing adalah Luthfi Hasan Ishaaq (PKS) dan Anas Urbaningrum (PD), keduanya dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi yang berbeda.
Dalam dua kasus yang berbeda ini, sebetulnya ada kesamaan antara satu dan yang lain jika dibaca dalam relasi politik-bisnis. Berdasarkan data yang ada, keduanya diduga tersangkut kasus korupsi yang melibatkan sektor bisnis (swasta) sebagai pihak yang diduga aktif terlibat.
Luthfi diduga ikut menerima suap dari PT Indoguna yang berhubungan dengan kebijakan impor sapi. Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK dan akhirnya bermuara pada Luthfi sebagai salah satu tersangka. Posisi Luthfi sebagai ketua atau Presiden PKS sekaligus sebagai anggota DPR bukanlah posisi yang secara langsung berhubungan dengan kebijakan impor sapi. Namun suap yang diduga diterima tersebut adalah bagian dari komitmen atas lahirnya sebuah kebijakan, baik secara langsung atau tidak langsung.
Dalam kasus kedua, hal serupa juga terjadi. Anas diduga menerima hadiah atau janji yang berkaitan dengan pembangunan proyek Hambalang dan proyek lainnya. Jika dikaitkan dengan posisi Anas sebelumnya sebagai anggota DPR, tentu posisinya bukanlah yang secara langsung berhubungan dengan pengadaan proyek tertentu. Apalagi mekanisme pengadaan tidak melibatkan anggota DPR dan justru berada di bawah kewenangan eksekutif (presiden).
Sebelum penetapan Anas menjadi tersangka dalam kasus proyek Hambalang, bekas Menpora Andi Alifian Mallarangeng (AAM) sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka. Bagi penegak hukum, sangat mudah untuk mengaitkan posisi AAM sebagai pengguna anggaran (PA) di Kemenpora. Sebagaimana dipahami bersama bahwa kedudukan PA dalam alur proses pengadaan memang menjadi penanggung jawab utama atas pengadaan.
Di balik ini semua, sudah tentu ada pihak yang diuntungkan baik secara langsung maupun tidak. Luthfi, Anas, dan AAM tentu bukanlah aktor tunggal yang menikmati keuntungan dari kasus ini. Penerimaan uang atau hadiah/janji hanyalah bagian kecil yang tampak di permukaan. Penerima keuntungan yang paling besar memang harus dikejar untuk menemukan hulunya. Kepentingan bisnis yang bermain di balik lahirnya kebijakan koruptif sudah semestinya dibongkar.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk membongkar relasi busuk politik-bisnis, yaitu, pertama, melacak aliran penerima uang atau keuntungan dari kasus ini. Akumulasi keuntungan adalah target utama bagi para pelaku korupsi. Maka, siapa pun yang ikut menikmati keuntungan tersebut haruslah dikenai tanggung jawab hukum yang sama.
Kedua, penetapan tersangka seharusnya tidak hanya terpaku pada individu politikus dan pebisnis busuk, tetapi juga pada korporasi sebagai badan hukum. Akumulasi keuntungan dari hasil korupsi kerap "dicuci" melalui kegiatan yang seolah-olah sah. 
Ada kalanya korporasi menjadi alat pengumpul hasil kejahatan (money laundering). Pidana badan yang dijatuhkan kepada individu hanya berlaku sementara, sedangkan korporasi masih tetap berjalan dan semakin mengakumulasi keuntungan. Padahal korporasi yang dijalankan atas keuntungan dari hasil kejahatan adalah bagian dari tindak pidana.
Relasi politik-bisnis memang berada dalam ruang yang samar-samar. Namun, dalam ruang itu, keduanya saling berkelindan dalam kubangan korupsi yang sistemik. Maka, tugas penegak hukumlah untuk membuatnya terang, agar relasi busuk di antara keduanya tidak semakin membuat bangsa ini terpuruk lebih jauh dalam kubangan korupsi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar