Jumat, 17 Mei 2013

Dilema Jihad Akbar PKS


Dilema Jihad Akbar PKS
Airlangga Pribadi Kusman ;  Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University, Australia
KORAN SINDO, 17 Mei 2013

Syahdan setelah kemenangan balatentara Rasulullah dan para sahabat dalam Perang Tabuk, Rasul mengumpulkan para sahabat dan bersabda bahwa setelah kemenangan ini kembalilah kalian para sahabat ke rumah masingmasing dari sebuah pertempuran kecil menuju jihad akbar. 

Para sahabat kaget mendengar sabda Nabi Muhammad tersebut dan menanyakan bagaimana mungkin Perang Tabuk yang begitu dahsyat ini disebut oleh Rasul sebagai pertempuran kecil. “Apakah jihad akbar itu?” tanya sahabat kepada Rasul. Rasulullah lalu menjawab sambil menunjuk ke dadanya, “Jihad akbar adalah jihad melawan diri sendiri. Itulah pertarungan terberat yang harus dihadapi kita semua.” 

Dialog antara Rasulullah dan sahabat ini agaknya menjadi pelajaran instruktif terkait dengan problema dugaan korupsi yang tengah menimpa lapisan elite PKS saat ini. Apabila menelusuri perjalanan PKS ke pentas politik nasional semenjak era awal reformasi bergulir, harus diakui partai Islam revivalis ini pernah berada pada fase-fase kejayaan. 

Sejak masih menggunakan nama Partai Keadilan yang mulai tampil sejak Pemilu Legislatif 1999, Partai Keadilan Sejahtera selama lima tahun sampai 2004 berhasil melakukan lompatan prestasi politik luar biasa dengan meraih suara konstituen hampir tiga kali lipat dari partai berkonstituen dua koma menjadi sekitar 7%, prestasi yang bersaing dengan pencapaian Partai Demokrat yang pada 2004 memperoleh dukungan 7% menjadi kurang lebih 21% kursi parlemen pada 2009. 

Pelajaran apa yang bisa kita dapatkan dalam perjalanan lima tahun pertama dengan prestasi PKS yang mencengangkan tersebut? Partai yang didirikan oleh para ustad-ustad klandestin yang berbasis di kampus ini berhasil membangun strategi politik yang cantik sekaligus ofensif di awal-awal karier politik mereka. Tampil dengan figur-figur kelas menengah berpendidikan tinggi muda, pada era zaman keemasannya partai ini mampu membangun koalisi politik lintas kelas lintas kelompok di antara komunitas muslim Indonesia. 

Mereka mampu mengombinasikan kekuatan kaum profesional kelas menengah terdidik, ikatanikatan asosiasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat miskin di kota dan tengah menyasar ke kota. Aliansi blok sejarah kelas menengah Muslim baru ini kebetulan relatif tidak memiliki persambungan langsung dengan kelompok-kelompok elite bisnis-politik di era Orde Baru yang berhasil beradaptasi dengan kondisi kelembagaan politik era pasca-otoritarianisme. 

Hasil dari kerja ekonomi politik lintas kekuatan sosial yang dibangun oleh PKS sampai sekitar tahun 2004 ini menjadi basis bagi keberhasilan PKS mengusung slogan bersih dan peduli yang dibawa oleh partai tersebut ketika menghadapi tantangan politik Pemilu 2004 lalu. Tagline “bersih dan peduli” yang dibawa oleh PKS dianggap oleh khalayak pemilih pada tahun 2004 sebagai strategi politik PKS yang autentik. 

Ada tiga hal yang membuat khalayak publik mempercayai dan memberi dukungan terhadap PKS, yaitu: Pertama, Ditelisik dari formasi sosial di internal partai tersebut, PKS mampu membedakan diri dari kekuatan politik Islam yang tengah menghadapi kemandekan akibat tekanan Orde Baru maupun elite dan komprador- komprador Orde Baru yang mulai muncul kembali dalam pentas politik reformasi pasca-98. 

Kedua, kerja-kerja politik PKS yang dedikatif dan tangguh untuk menjahit aliansi antarkelas dan profesi dengan komitmen pelayanan publik yang relatif total mampu mengambil hati para pemilih ketika imbas krisis ekonomi 98 masih menghantui kehidupan sosial dan nasib dari rakyat secara keseluruhan. 

Ketiga, kemampuan kaderkader PKS untuk membangun pencitraan partai Islam demokratik meyakinkan publik bahwa mereka tidak akan mengubah sistem demokrasi menjadi tiran saat mereka berkuasa. Hasil dari perjuangan tersebut tidak saja kalangan Islam konservatif yang mendukung PKS, bahkan kaum muslim KTP dan non-muslim pun tidak sedikit yang memberikan suara pada partai Islam revivalis ini. 

Titik Balik PKS 

Pertanyaannya kemudian adalah apa yang menyebabkan performa partai ini tertahan pada Pemilu 2009, yang berujung pada anti-klimaks penahanan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq baru-baru ini. Lima tahun silam, penulis pernah mewawancarai dan mendengarkan curhat dari salah satu kader intelektual sayap mahasiswa dari partai tersebut. Menurutnya, ketika PKS masuk ke tampuk kekuasaan terjadi proses demoralisasi secara perlahan pada kader-kader di tingkat bawah. 

Moralitas agama yang diajarkan di berbagai halakah kampus (pengajian) begitu berjarak dengan manuver politik elite partai yang mulai terserap dalam langgam kekuasaan yang korup. Sehingga, akumulasi modal yang diserap dari struktur ekonomi-politik kekuasaan yang koruptif tidak mampu memberi semangat militansi pada kader-kader di bawah untuk memperkuat basis akar rumput, seperti awal dari berdirinya partai tersebut. 

Sesaat setelah PKS bergabung pada koalisi kekuasaan semenjak lonjakan suara pasca- 2004, membuat partai ini relatif hanyut dalam agenda-agenda politik kekuasaan yang menggantungkan pada perselingkuhan antara modal, politik dan perburuan rente di pos-pos strategis kekuasaan. Akibat dari terseretnya PKS dalam pusaran kekuasaan tersebut, secara perlahan tapi pasti karakter autentik PKS sebagai sedikit dari kekuatan yang mengusung agenda reformasi luntur di hadapan publik. 

Tentu saja dalam jeratan politik predatoris ini PKS tidak sendirian dan agaknya telah menjadi fenomena jamak pada partai-partai politik lain. Masih ada jalan untuk keluar dari jebakan politik koruptif ini. Setidaknya ada pintu pembuka untuk menelusuri jalan terang politik di Indonesia. Jalan-jalan terang namun terjal dan berliku itu adalah penting untuk melakukan reformasi total dalam internal kehidupan partai politik di Indonesia. 

Menyitir kata-kata hikmah dalam kebijakan profetik, bahwa dalam setiap kesulitan di dalamnya ada jalan kemudahan. Terbukanya kasuskasus korupsi di dalam partai politik di Indonesia adalah momen untuk melakukan rekonsolidasi kader-kader partai dan konstituennya untuk melakukan pembersihan yang terorganisir di dalam partai dan melawan segenap tindak korupsi yang dilakukan oleh eksternal partai. 

Menghadapi krisis politik yang saat ini dihadapi oleh PKS, seyogianya partai ini tidak perlu melirik ke mana-mana, mereka hanya perlu merefleksikan perjalanan hidupnya sendiri untuk melakukan hijrah politik. Sudah saatnya PKS menarik dari kekuasaan yang korup, kembali membangun basis sosial organik yang belum selesai pada tahun 2004 dan bersungguh- sungguh mengusung agenda antikorupsi. 

Sepertinya setelah kemenangan relatif dalam “Perang Tabuk” pada 2004, PKS harus mengumpulkan energi melakukan jihad akbar di internal partainya sendiri, tanpa harus menyalahkan pihak yang abstrak, menunjuk konspirasi zionis, idiom-idiom usang yang laku dijual pada era sebelum reformasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar