|
KOMPAS,
17 Mei 2013
Sejak
awal, organisasi massa di Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari politik.
Tokoh yang aktif di Kongres Pemuda berasal dari ormas-ormas pemuda. Bung Karno
dan Bung Hatta juga mendidik rakyat melalui ormas yang kuat nuansa politiknya.
Partai Syarikat Islam Indonesia didirikan untuk menjadi alat perjuangan
politik. Tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, dan NU sudah terlibat
perjuangan kemerdekaan dalam MIAI (Majelis Islami). Tokoh-tokoh Islam ikut
merumuskan UUD. Ormas-ormas Islam lalu bergabung dalam Partai Masyumi.
NU
menjadi partai
NU,
pada 1952, keluar dari Partai Masyumi dan menyatakan diri sebagai Partai NU. Di
luar dugaan, Partai NU jadi pemenang ketiga Pemilu 1955, lalu jadi partai Islam
terdepan setelah Masyumi dibubarkan Bung Karno. Saat penyederhanaan partai, NU
dan partai-partai Islam melebur ke PPP. Dalam Muktamar Situbondo (1984), NU
kembali ke khitah 1926 dan menyatakan diri tak terkait partai apa pun dan
menjaga jarak yang sama. Muktamar NU 1984 menerima Pancasila yang mengubah
sikap mendasar warga NU dalam memandang hubungan agama Islam dengan politik.
Dua sikap itu—tak terkait partai apa pun dan mencairnya hubungan agama Islam
dengan politik—dibaca banyak warga NU bahwa NU melepaskan diri dari partai
Islam (PPP). Apalagi, banyak tokoh NU kemudian menjadi anggota DPR/DPRD dari
Golkar, bahkan Gus Dur menjadi anggota MPR dari FKP. Keberadaan warga dan
aktivis NU di PPP dan Golkar tetap bertahan hingga kini.
Keterlibatan
ormas NU dalam kegiatan politik praktis mulai meningkat saat tokoh-tokoh puncak
ormas NU mendirikan PKB (1998) dan sejumlah tokoh NU di pusat dan daerah
terlibat langsung dalam kegiatan PKB. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden saat
menjabat sebagai Ketua Umum PBNU dianggap sebagai pembenaran terhadap
keterlibatan organisasi NU dalam politik praktis.
Perolehan
suara PKB pada Pemilu 1999 lebih dari 12 persen turun dibandingkan Pemilu 1955
(18 persen lebih). Konflik internal PKB membuat suara PKB merosot ke sekitar 5
persen pada Pemilu 2009. Artinya, suara warga NU menyebar ke banyak partai.
Aktivis dan tokoh NU juga menyebar ke sejumlah partai. Artinya, bagi warga NU,
aspirasi politik mereka bisa disalurkan ke partai apa pun.
Banyak
tokoh NU menyadari, kekuatan politik NU tak efektif jika tersebar ke banyak
partai. Mereka mulai berpikir, bukankah ormas NU yang berusia panjang dengan
warga berjumlah besar perlu sayap politik untuk menyalurkan gagasan politik
kebangsaan yang perlu diperjuangkan? Amat mungkin jawaban pertanyaan ini
bersifat positif. Namun, partai mana yang dipilih dan bagaimana mewujudkannya?
Selain itu, perlu dipikirkan bagaimana mencegah jangan sampai NU sebagai ormas
jadi alat partai, dan partai menjadi kendaraan politik tokoh NU, baik di pusat
maupun daerah. Kita tahu, partai-partai politik saat ini bukanlah partai yang
mendekati ideal. Para tokohnya jarang yang negarawan dan pada umumnya politisi
yang berpandangan jangka pendek.
Ormas
Islam lain
Muhammadiyah
punya pengalaman sama. Tahun 1998, saat Amien Rais mengundurkan diri sebagai
Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk mendirikan dan menjadi Ketua Umum PAN. Harapan
warga Muhammadiyah melambung. Itu wajar, saat itu Amien tokoh utama gerakan
reformasi. Ternyata, perolehan suara PAN tak terlalu tinggi. Lalu timbul
konflik internal yang membuat banyak tokoh seperti Gunawan Mohammad dan Faisal
Basri dkk meninggalkan PAN.
Konflik
internal berikutnya terjadi saat sebagian aktivis Muhammadiyah meninggalkan PAN
lalu membentuk PMB. Ternyata, PMB tak mendapat sambutan seperti diharapkan
sehingga tak lolos ke Senayan. Kita mencatat, cukup banyak tokoh Muhammadiyah
yang aktif di Partai Golkar dan PPP. Bisa disimpulkan, Muhammadiyah juga tak
punya sayap politik, tetapi itu tak terlalu dipikirkan para tokoh Muhammadiyah.
Naluri politik mereka tidak sebesar tokoh-tokoh NU. SI yang beralih menjadi
PSII tak sehebat SI pada era HOS Cokroaminoto. PSII hanya menjadi partai kecil
pada 1955 dan terpaksa melebur ke PPP. Pada Pemilu 1999, suaranya kecil sekali,
lalu hilang dari panggung politik. Demikian pula Perti. Upaya menghidupkan
kembali Masyumi melalui sejumlah partai gagal. Terbesar, PBB yang pada Pemilu
2009 tak lolos ke Senayan.
Gerakan
di luar parpol yang kemudian berhasil mengembangkan parpol adalah gerakan
Tarbiyah yang selama Orde Baru aktif berdakwah membina mahasiswa di banyak
kampus. Saat ada kesempatan mendirikan partai baru, mereka mendirikan Partai
Keadilan (1998) yang lalu berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera. PKS adalah
partai yang organisasinya berjalan baik dan punya garis komando kuat. Jika
berhasil mengatasi masalah tuduhan korupsi, PKS akan jadi partai yang harus
diperhitungkan pada Pemilu 2014. Kelemahan PKS, kesulitan menembus lapisan
bawah masyarakat pedalaman dan belum ada tokoh yang layak jadi capres.
Sempalan
Golkar
Ada
beberapa ormas di bawah Golkar di era Orde Baru yang bisa berkembang, seperti MKGR,
Kosgoro, dan SOKSI. Pada era Reformasi, MKGR beralih jadi parpol, tetapi tak
berhasil muncul secara berarti. Kosgoro lebih memilih aktif di pendidikan,
tetapi tak terlalu menonjol. Kini ada dua Kosgoro dan pengaruh politiknya tak
terlalu besar. Tampaknya yang kini berpengaruh di Golkar adalah pemilik uang.
Pasca-Pemilu
2004, dua jenderal purnawirawan mendirikan ormas yang beralih jadi parpol,
yakni Prabowo (Gerindra) dan Wiranto (Hanura). Kedua partai itu berhasil masuk
ke DPR. Kini, ormas yang mereka dirikan tak lagi terdengar gaungnya. Gerindra,
oleh beberapa lembaga survei, dianggap berpeluang besar jadi partai menengah
dan juga untuk mengajukan Prabowo sebagai capres. Suara Hanura pada Pemilu 2009
tak setinggi Gerindra, tetapi kini dapat manfaat besar dengan bergabungnya Hary
Tanoe. Cara ini ditiru Surya Paloh yang mendirikan ormas Nasdem, lalu beralih
menjadi Partai Nasdem.
Kesimpulan
sementara, tak mudah bagi ormas yang sungguh-sungguh ormas seperti Muhammadiyah
dan NU bermetamorfosis jadi parpol. Fitrah ormas agama sering tak sejalan
dengan fitrah parpol. Bahkan, kalau NU tak bergabung ke PPP, belum tentu Partai
NU bisa sekuat pada 1955-1971. Namun, terlihat insan politik dapat membuat
ormas yang hanya bersifat sementara lalu dikembangkan jadi parpol yang cukup
berhasil. Setelah itu, ormas diistirahatkan. Tentu, kesimpulan ini masih harus
diuji dengan hasil Pemilu 2014, bahkan mungkin perlu beberapa pemilu lagi.
Apalagi, ikon partai-partai itu berusia senja. Akankah partai-partai itu surut
pascamundurnya ketiga tokoh? PKS jelas lebih mengandalkan organisasi
dibandingkan ketiga partai sempalan Golkar.
Jika
Gerindra, Hanura, dan Partai Nasdem membuat ormas sebagai alat mendirikan
partai, tak ada yang risau. Namun, jika ormas seperti Muhammadiyah dan NU yang
sudah berusia panjang dan nyata-nyata hidup di tengah masyarakat di seluruh
Indonesia diperalat untuk kepentingan partai (mana pun juga), rasanya banyak
yang keberatan, termasuk yang bukan warga Muhammadiyah dan NU. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar