Minggu, 05 Mei 2013

Caleg dan Masa Depan Demokrasi


Caleg dan Masa Depan Demokrasi
Adi Surya Purba ;  Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 04 Mei 2013


Masa penyerahan daftar calon sementara (DCS) anggota DPR telah ditutup. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Husni Kamil Manik, pihaknya akan memverifikasi seluruh data DCS. KPU akan memverifikasi, meneliti berkas yang diserahkan parpol, menyangkut persyaratan parpol, dan individual bakal caleg. Seluruh parpol diperbolehkan untuk memperbaiki, mengubah, menyempurnakan, atau menambah DCS dalam waktu 9-22 Mei 2013.

Proses rekrutmen ini menjadi penting karena di sinilah hulu dari roda pertarungan menuju kehidupan parlemen yang lebih baik. Jika proses rekrutmennya buruk, kualitas demokrasi juga berpotensi ikut rusak. Oleh karena itu, partai politik (parpol) sebaiknya `tidak buta' dan `tuli politik' dengan caleg-caleg yang bermasalah. Pun dengan masyarakat, tidak apatis dengan proses rekrutmen ini. Inilah kesempatan untuk partai bersama publik memperbaiki dan mengawal masa depan parlemen.

Wajah Bopeng Parlemen

Jika dilihat dari fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD RI Tahun 1945, kinerja parlemen kita menunjukkan fakta yang kurang menggembirakan. RUU yang diselesaikan pada 2012 hanya sekitar 30 dari jumlah 64 RUU yang ada dalam Prolegnas. Banyak dari UU yang dihasilkan DPR begitu kontroversial, sehingga memicu adanya permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua MK 2008-2013, Mahfud MD pernah mengatakan selama berdirinya MK yakni 2003, ada 460 UU yang di-judicial review. MK mengabulkan 138 UU atau sekitar 27% dari jumlah total pengajuan UU.

Rumor adanya bancakan APBN oleh para wakil rakyat di Badan Anggaran DPR amat memprihatinkan. Riset tipologi yang dilakukan PPATK terhadap anggota legislatif yang terindikasi korupsi dan pencucian uang pada semester II 2012 juga turut mendukung itu.

Berdasarkan hasil analisis ditemukan yang terbanyak terindikasi terjadi tindak pidana korupsi pada anggota DPR periode 2009­2014 sebesar 42,71%. Sementara itu, periode yang paling sedikit terindikasi dugaan korupsi terjadi pada periode DPR 2001­2004 sebesar 1,04%. Selain itu, DPR bisa dikatakan tidak maksimal melakukan fungsi pengawasan dengan baik. Alih-alih mengawasi, perilaku sebagian anggota DPR yang sering kali melanggar aturan hukum malah menjadi pihak yang perlu diawasi.

Landasan Rekrutmen Politik

Untuk melihat kerangka besar rekrutmen caleg ini, kita bisa membaginya menjadi k tiga kerangka besar. Pertama, kerangka filosofis. Rekrutmen ini kita lihat dalam konteks berdemokrasi. Dalam negara demokrasi, unsur dari suatu negara ialah adanya badan perwakilan rakyat karena rakyat tidak dapat memerintah atau mengartikulasikan kepentingan mereka secara sendiri-sendiri, sehingga harus diwakilkan sebagai perwujudkan demokrasi atau kedaulatan rakyat. Sebagai perwujudan demokrasi tersebut, pemilu menjadi salah satu instrumen penting. Pemilu merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktik bernegara masa kini (modern), karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas negara dan pemerintah.

Dalam konstitusi, Pasal 28D ayat (3) UUD RI Tahun 1945 disebutkan `Setiap warga negara berhak memper oleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan'. Namun, dalam Pasal 22E ayat (3) UUD RI Tahun 1945, peserta pemilu untuk pemilu DPR ialah partai politik. Menurut Miriam Budiardjo, salah satu fungsi parpol ialah rekrutmen. Parpol berfungsi untuk mencari dan mengajak orang-orang yang berkemampuan untuk ikut aktif dalam kegiatankegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Tentunya tujuannya ialah merebut kekuasaan lewat cara-cara konstitusional. Oleh karena itu, partai menjadi ujung tombak parlemen di masa depan serta mewujudkan kehidupan demokrasi yang berkeadilan.

Kedua, kerangka yuridis. Proses rekrutmen itu diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR dan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota. Namun, persyaratan tersebut dinilai masih banyak celah. Salah satunya ialah Pasal 51 ayat (1) huruf (n) tentang persyaratan caleg, yakni caleg ialah warga negara yang menjadi anggota parpol. Namun, tidak diatur mengenai periode waktu menjadi anggota par tai agar bisa dicalonkan menjadi anggota DPR. Hal itu perlu untuk mencegah caleg-caleg karbitan dan caleg `pungut' di `per simpangan jalan' me menuhi parlemen.

Ketiga, kerangka politis. Parpol bertujuan memper oleh kekuasaan politik dan mere but kedudukan politik, dengan cara kon stitusional melalui persiapan kader partai dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Dengan begitu, kebijakan politik partai bisa diperjuangkan menjadi kebijakan politik penyelenggara negara. Anggota DPR hasil dari rekrutmen yang baik itu diharapkan mampu melahirkan keputusan-keputusan politik yang baik di parlemen demi tercapainya tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Integritas, Kualitas, Popularitas

Kualitas yang harus dimiliki wakil rakyat bisa kita rumuskan lewat kemampuannya dalam menjalankan fungsi lembaga DPR (legislasi, anggaran, dan pengawasan), mampu menjalankan hak anggota (interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat) dan mampu menjalankan kewajiban anggota seperti diatur dalam Pasal 79 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mulai dari huruf (a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila hingga huruf (k) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.

Seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal parpol peserta pemilu. Oleh karena itu, baik buruknya calon yang akan mengisi DPR ada di ta ngan partai, hendaknya parpol menghindarkan diri dari pragmatisme politik dalam Pemilu Legislatif 2014. Salah satunya dengan tidak memanfaatkan caleg dari kalangan artis demi mendapatkan dukungan suara rakyat semata.

Meski harus merekrut figur publik, artis tersebut minimal memiliki rekam jejak yang bagus dan pernah menjadi aktivis sosial. Begitu juga jika partai hendak merekrut tokoh, hendaknya diseleksi berdasarkan pertimbangan keselarasan dengan ideologi partai, tingkat ketokoh an, tingkat keterpilihan, dan kemampuan memperjuangkan aspirasi massa.

Memang sistem pemilu suara terbanyak melahirkan pemilu yang mahal. Sistem itu juga bisa disebut sistem liberal machiavellian election, dengan para caleg dibiarkan bersaing dalam pasar bebas politik. Dengan begitu, kebutuhan dana kampanye semakin besar dan membuat modal menjadi faktor penentu kemenangan. Itu sama halnya dengan prinsip survival of the fittest dalam ekonomi kapitalis yang mendorong individualisasi perjuangan politik. Dalam sistem itu, partai politik dan caleg akan melakukan apa saja demi meraih kursi. Termasuk membuka `lowongan pekerjaan' bagi caleg-caleg dari eksternal partai, merekrut artis-artis yang kurang berkualitas, mengusung pengusaha demi kepentingan investasi modal di tubuh partai dan lain sebagainya. Sistem ini pula yang membuat parlemen diisi mayoritas pengusaha dan swasta yang pada Pemilu 2009 lalu mencapai angka 56,7%. Sementara itu, politisi hanyalah berjumlah 34,9%. Sehingga tidak berlebihan jika publik menuduh DPR mengutamakan kepentingan kalkulasi ekonomi untuk pribadi dan kelompoknya.

Rekrutmen anggota DPR berkorelasi positif dengan kualitas demokrasi. Semakin baik pola rekrutmen yang dihasilkan tentunya semakin berkualitas pula kehidupan demokrasi. Selain itu, rekrutmen harus sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan gender, dan nondiskriminasi. Semakin partai mengenal jejak rekam kadernya, pemilih tidak akan disodori `kucing dalam karung'.

Caleg peserta pemilu harusnya diisi orang-orang yang punya dedikasi, loyalitas, dan kinerja baik dalam partai. Rekrutmen yang baik juga baiknya didukung sistem kompetisi yang sehat (sistem pemilu dan regulasi pemilu). Dengan sistem pemilu suara terbanyak, hasil rekrutmen partai politik akan larut dengan logika `Ada uang, Anda menang'. Sebaik apa pun pola rekrutmen jika sistem pemilunya liberal, tidak akan banyak memengaruhi perbaikan kehidupan demokrasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar