|
MEDIA
INDONESIA, 04 Mei 2013
Masa penyerahan daftar calon
sementara (DCS) anggota DPR telah ditutup. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Husni Kamil Manik, pihaknya akan memverifikasi seluruh data DCS. KPU
akan memverifikasi, meneliti berkas yang diserahkan parpol, menyangkut
persyaratan parpol, dan individual bakal caleg. Seluruh parpol diperbolehkan
untuk memperbaiki, mengubah, menyempurnakan, atau menambah DCS dalam waktu 9-22
Mei 2013.
Proses rekrutmen ini menjadi penting karena di sinilah hulu
dari roda pertarungan menuju kehidupan parlemen yang lebih baik. Jika proses
rekrutmennya buruk, kualitas demokrasi juga berpotensi ikut rusak. Oleh karena
itu, partai politik (parpol) sebaiknya `tidak buta' dan `tuli politik' dengan
caleg-caleg yang bermasalah. Pun dengan masyarakat, tidak apatis dengan proses
rekrutmen ini. Inilah kesempatan untuk partai bersama publik memperbaiki dan
mengawal masa depan parlemen.
Wajah Bopeng
Parlemen
Jika dilihat dari fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD RI Tahun 1945, kinerja
parlemen kita menunjukkan fakta yang kurang menggembirakan. RUU yang
diselesaikan pada 2012 hanya sekitar 30 dari jumlah 64 RUU yang ada dalam
Prolegnas. Banyak dari UU yang dihasilkan DPR begitu kontroversial, sehingga
memicu adanya permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua MK
2008-2013, Mahfud MD pernah mengatakan selama berdirinya MK yakni 2003, ada 460
UU yang di-judicial review. MK mengabulkan 138 UU atau sekitar 27% dari jumlah
total pengajuan UU.
Rumor adanya bancakan APBN oleh para wakil rakyat di Badan
Anggaran DPR amat memprihatinkan. Riset tipologi yang dilakukan PPATK terhadap
anggota legislatif yang terindikasi korupsi dan pencucian uang pada semester II
2012 juga turut mendukung itu.
Berdasarkan hasil analisis ditemukan yang terbanyak
terindikasi terjadi tindak pidana korupsi pada anggota DPR periode 20092014 sebesar
42,71%. Sementara itu, periode yang paling sedikit terindikasi dugaan korupsi
terjadi pada periode DPR 20012004 sebesar 1,04%. Selain itu, DPR bisa
dikatakan tidak maksimal melakukan fungsi pengawasan dengan baik. Alih-alih
mengawasi, perilaku sebagian anggota DPR yang sering kali melanggar aturan
hukum malah menjadi pihak yang perlu diawasi.
Landasan Rekrutmen
Politik
Untuk melihat kerangka besar rekrutmen caleg ini, kita bisa
membaginya menjadi k tiga kerangka besar. Pertama, kerangka filosofis.
Rekrutmen ini kita lihat dalam konteks berdemokrasi. Dalam negara demokrasi,
unsur dari suatu negara ialah adanya badan perwakilan rakyat karena rakyat
tidak dapat memerintah atau mengartikulasikan kepentingan mereka secara sendiri-sendiri,
sehingga harus diwakilkan sebagai perwujudkan demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Sebagai perwujudan demokrasi tersebut, pemilu menjadi salah satu instrumen
penting. Pemilu merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktik bernegara
masa kini (modern), karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan
kedaulatan rakyat atas negara dan pemerintah.
Dalam konstitusi, Pasal 28D ayat (3) UUD RI Tahun 1945
disebutkan `Setiap warga negara berhak memper oleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan'. Namun, dalam Pasal 22E ayat (3) UUD RI Tahun 1945, peserta
pemilu untuk pemilu DPR ialah partai politik. Menurut Miriam Budiardjo, salah
satu fungsi parpol ialah rekrutmen. Parpol berfungsi untuk mencari dan mengajak
orang-orang yang berkemampuan untuk ikut aktif dalam kegiatankegiatan politik
sebagai anggota partai (political
recruitment). Tentunya tujuannya ialah merebut kekuasaan lewat cara-cara
konstitusional. Oleh karena itu, partai menjadi ujung tombak parlemen di masa
depan serta mewujudkan kehidupan demokrasi yang berkeadilan.
Kedua, kerangka yuridis. Proses rekrutmen itu diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota
DPR dan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota. Namun, persyaratan tersebut dinilai
masih banyak celah. Salah satunya ialah Pasal 51 ayat (1) huruf (n) tentang
persyaratan caleg, yakni caleg ialah warga negara yang menjadi anggota parpol.
Namun, tidak diatur mengenai periode waktu menjadi anggota par tai agar bisa
dicalonkan menjadi anggota DPR. Hal itu perlu untuk mencegah caleg-caleg
karbitan dan caleg `pungut' di `per simpangan jalan' me menuhi parlemen.
Ketiga, kerangka politis. Parpol bertujuan memper oleh kekuasaan
politik dan mere but kedudukan politik, dengan cara kon stitusional melalui
persiapan kader partai dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi.
Dengan begitu, kebijakan politik partai bisa diperjuangkan menjadi kebijakan
politik penyelenggara negara. Anggota DPR hasil dari rekrutmen yang baik itu
diharapkan mampu melahirkan keputusan-keputusan politik yang baik di parlemen
demi tercapainya tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945.
Integritas,
Kualitas, Popularitas
Kualitas yang harus dimiliki wakil rakyat bisa kita
rumuskan lewat kemampuannya dalam menjalankan fungsi lembaga DPR (legislasi,
anggaran, dan pengawasan), mampu menjalankan hak anggota (interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat) dan mampu menjalankan kewajiban anggota
seperti diatur dalam Pasal 79 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD mulai dari huruf (a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila hingga huruf
(k) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di
daerah pemilihannya.
Seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka
sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan
internal parpol peserta pemilu. Oleh karena itu, baik buruknya calon yang akan
mengisi DPR ada di ta ngan partai, hendaknya parpol menghindarkan diri dari
pragmatisme politik dalam Pemilu Legislatif 2014. Salah satunya dengan tidak
memanfaatkan caleg dari kalangan artis demi mendapatkan dukungan suara rakyat
semata.
Meski harus merekrut figur publik, artis tersebut minimal
memiliki rekam jejak yang bagus dan pernah menjadi aktivis sosial. Begitu juga
jika partai hendak merekrut tokoh, hendaknya diseleksi berdasarkan pertimbangan
keselarasan dengan ideologi partai, tingkat ketokoh an, tingkat keterpilihan,
dan kemampuan memperjuangkan aspirasi massa.
Memang sistem pemilu suara terbanyak melahirkan pemilu yang
mahal. Sistem itu juga bisa disebut sistem liberal machiavellian election, dengan para caleg dibiarkan bersaing dalam
pasar bebas politik. Dengan begitu, kebutuhan dana kampanye semakin besar dan
membuat modal menjadi faktor penentu kemenangan. Itu sama halnya dengan prinsip
survival of the fittest dalam ekonomi
kapitalis yang mendorong individualisasi perjuangan politik. Dalam sistem itu,
partai politik dan caleg akan melakukan apa saja demi meraih kursi. Termasuk
membuka `lowongan pekerjaan' bagi caleg-caleg dari eksternal partai, merekrut
artis-artis yang kurang berkualitas, mengusung pengusaha demi kepentingan
investasi modal di tubuh partai dan lain sebagainya. Sistem ini pula yang
membuat parlemen diisi mayoritas pengusaha dan swasta yang pada Pemilu 2009
lalu mencapai angka 56,7%. Sementara itu, politisi hanyalah berjumlah 34,9%.
Sehingga tidak berlebihan jika publik menuduh DPR mengutamakan kepentingan
kalkulasi ekonomi untuk pribadi dan kelompoknya.
Rekrutmen anggota DPR berkorelasi positif dengan kualitas
demokrasi. Semakin baik pola rekrutmen yang dihasilkan tentunya semakin
berkualitas pula kehidupan demokrasi. Selain itu, rekrutmen harus sesuai dengan
prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan gender, dan nondiskriminasi. Semakin
partai mengenal jejak rekam kadernya, pemilih tidak akan disodori `kucing dalam
karung'.
Caleg
peserta pemilu harusnya diisi orang-orang yang punya dedikasi, loyalitas, dan
kinerja baik dalam partai. Rekrutmen yang baik juga baiknya didukung sistem
kompetisi yang sehat (sistem pemilu dan regulasi pemilu). Dengan sistem pemilu
suara terbanyak, hasil rekrutmen partai politik akan larut dengan logika `Ada
uang, Anda menang'. Sebaik apa pun pola rekrutmen jika sistem pemilunya
liberal, tidak akan banyak memengaruhi perbaikan kehidupan demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar