|
KOMPAS, 11 Mei 2013
Penulis
sependapat dengan pernyataan bahwa hasil investigasi TNI terhadap tragedi Cebongan,
Sleman, beberapa waktu lalu, adalah perkembangan yang baik dan positif. Meminjam
istilah Andi Wijajanto (Kompas, 6/4/2013), misalnya, laporan hasil investigasi
tentang pengakuan keterlibatan Komando Pasukan Khusus menunjukkan adanya budaya
militer baru dalam tubuh institusi TNI. Sepertinya, pilihan membuka terus
terang tentang pelaku Cebongan adalah opsi strategis rasional dan optimal yang
saat ini dimiliki TNI. Di sisi lain, pilihan itu telah menyampaikan sinyal
bahwa ”waktunya telah tiba bagi TNI untuk memanfaatkan ruang publik yang lebih
terbuka dan luas itu”.
Budaya
baru
Namun,
sepertinya tidak akan mudah bagi pihak luar menyesuaikan diri ketika TNI
berusaha memanfaatkan ruang publik yang lebih besar dan luas itu. TNI yang
lebih terbuka dan transparan pasti juga akan membawa ”gelombang energi besar”
yang mungkin akan menciptakan ketidaknyamanan bagi beberapa pihak.
Suka
atau tidak suka, ada beberapa dampak yang tidak menyenangkan yang lahir dari
budaya baru ini. Kultur keterbukaan akan membuat keresahan-keresahan di tubuh
TNI memiliki spill-over sekaligus multiplier effects terhadap keresahan pihak
lain di luar TNI. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan, setidaknya ada empat
pertanyaan besar yang harus dijawab aktor politik sipil jika kultur keterbukaan
TNI terus menggelinding seperti bola yang kian membesar.
Pertama,
tanggapan apa yang diberikan jika TNI mengartikulasikan secara tegas bahwa
institusi itu bukan merupakan pemetik manfaat dari proses reformasi yang telah
berjalan lebih dari satu dasawarsa?
Pertanyaan
ini bukan tidak beralasan. Anggaran pertahanan, misalnya, masih terus
menunjukkan adanya gap sangat besar antara yang dibutuhkan dan yang
dialokasikan. Ketertinggalan dalam alat utama sistem persenjataan dibandingkan
dengan negara tetangga merupakan rangkaian akibat dari keterbatasan anggaran
itu. Tidak dimungkinkannya strategi off-budget karena keharusan regulasi yang
ada mengakibatkan para perwira di lapangan dituntut untuk menjadi pemain-pemain
akrobatik yang luar biasa.
Kedua,
sikap apakah yang diberikan jika TNI secara terus terang menyatakan, institusi
keamanan lain di luar TNI, terutama Polri, telah menjadi institusi pemetik
dividen utama dari proses reformasi? Secara formal, anggaran Polri, seperti
halnya TNI, memang juga tak memadai. Namun, pertanyaan ini layak dilontarkan
karena privilese kelembagaan yang dimiliki TNI. Di bawah kerangka regulasi yang
ada, Polri telah diposisikan tak hanya sebagai aktor keamanan, tetapi juga
aktor dalam penegakan hukum, bagian dari sistem peradilan kriminal di
Indonesia. Posisi dua kaki seperti ini memberikan ruang dan instrumen yang
lebih luas bagi Polri untuk menjadi pemain akrobat yang jauh lebih canggih
dibandingkan dengan TNI ketika berusaha mengatasi kendala anggaran di
institusinya.
Dengan
ikut melenturkan dan berperan dalam menegakkan ”benang basah” proses penegakan
hukum di Indonesia, kendala anggaran untuk dirinya sebagai aktor keamanan baik
secara institusional maupun secara individual relatif ”berhasil” dikelola.
Liputan berbagai media tentang ”rekening gendut” yang sepertinya larut tanpa
tindak lanjut menyampaikan tentang ”keberhasilan” itu. Patut pula mencatat
bahwa sebenarnya schism antara TNI
dan Polri telah sejak lama dipantau beberapa pengamat asing (lihat, misalnya,
Robert Karniol, 2004; dan Michael O’Hanlon, 2005) karena kepentingan strategis
negaranya terhadap Indonesia
Ketiga,
argumen dan sikap apa yang diberikan bila TNI dengan kultur baru itu secara
terus terang pula meminta dukungan untuk ikut melakukan penegakan hukum di Indonesia?
Meski Polri bukan satu-satunya lembaga penegak hukum, dibandingkan dengan
Kejaksaan dan juga KPK, sepertinya Polri menjadi ”terlalu kuat” dalam
konstelasi dan peta kewenangan di antara ketiga lembaga penegak hukum itu.
Tanpa
kemauan utuh Polri untuk melakukan eksekusi terhadap setiap putusan pengadilan,
seluruh proses penegakan hukum dalam kasus-kasus besar memang tetap telah
terkesan seperti kegiatan menegakkan benang basah. Kasus Susno Duadji, yang
sempat sulit dieksekusi, menyampaikan pesan seperti itu. Karena itu, fasilitas
rumah tahanan militer bagi para tersangka KPK menyampaikan sinyal sebagai
bagian dari upaya untuk menutup ketidakseimbangan otoritas dalam penegakan
hukum yang ada.
Gagasan
agar TNI tidak hanya berfungsi sebagai security
enforcement agency, tetapi juga bagian dari legal enforcement agency khususnya untuk memberantas preman dan
pelaku korupsi, tentu saja suatu ide yang tidak mudah diwujudkan. Karena itu
pula, menjadi sangat ironis dan sekaligus kontroversial ketika peradilan sipil-umum
tampak tidak berdaya melakukan penegakan hukum untuk mengakomodasikan tuntutan
publik terhadap rasa keadilan yang lebih besar (beberapa pihak mengusulkan
tragedi Cebongan dibawa ke peradilan sipil). Gagasan ini bertambah ironis dan
kontroversial karena, bahkan di AS, perilaku menyimpang seperti di Cebongan
tetap ditangani melalui konsep sistem peradilan militer (lihat laporan R Chuck
Mason 2012).
Bergantung
sipil
Keempat,
sikap apa yang diambil jika dengan budaya baru itu TNI kemudian berterus terang
menyatakan dirinya sebagai institusi juga telah menjadi ”korban” dari
kecenderungan adanya bangunan dinasti politik yang dilegitimasikan melalui
proses demokrasi di Indonesia? Tanpa perlu penelitian mendalam, liputan media
tentang latar belakang Kepala Staf TNI Angkatan Darat yang memiliki jejaring
hubungan keluarga dengan Presiden, ataupun berita bisik-bisik yang berseliweran
tentang pengangkatan beberapa panglima yang pernah menjadi ajudan SBY (baik
sebagai sekretaris militer maupun pimpinan Paspampres), serta ”panggung besar”
yang telah diberikan kepada putra Presiden dapat dijadikan referensi untuk
menyampaikan adanya upaya membangun dinasti itu di tubuh TNI.
Jika
keluhan sensitif seperti ini menggelembung menjadi isu politik besar, keresahan
yang muncul dapat menjadi sangat serius karena akan dapat menyangkut rentang
kendali organisasi dan kepatuhan dalam tubuh TNI terhadap Presiden sebagai
panglima tertinggi dan juga terhadap semua pimpinan panglima TNI, tidak hanya
segera setelah pascatragedi Cebongan, tetapi juga di masa depan.
Pertanyaannya
kemudian, bagaimana harus mengakomodasikan ”kultur baru” ini jika dinyatakan
secara terus terang? Jawabannya sangat sederhana. Dalam sistem politik yang
demokratis, ia akan banyak ditentukan kapasitas sipil—baik di DPR maupun SBY
sebagai representasi lembaga Kepresidenan—untuk menangkap dan menanggapi
momentum ini. Sinyal kultur baru itu telah disampaikan dari hasil investigasi
TNI. Masalah yang tertinggal adalah melembagakannya. Jika tidak, kultur baru
itu akan dapat bermuara menjadi suatu gelombang besar. Mengutip kecemasan
Samuel P Huntington lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, hal itu akan dapat
muncul dalam suatu ledakan harapan dan frustrasi yang sangat meningkat terutama
ketika suatu negara gagal melakukan proses demokratisasi.
Semoga
tragedi Cebongan memberikan pelajaran baik dan bukan merupakan refleksi
ketidakmampuan sipil melembagakan dan menanggapi kultur militer baru yang kini
berkembang di tubuh TNI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar