Kamis, 02 Mei 2013

Bijak & Utuh bagi Buruh


Bijak & Utuh bagi Buruh
Dinna Wisnu ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 01 Mei 2013
  

Tahun ini genap 15 tahun kaum pekerja dan serikat buruh bisa dengan relatif bebas menyuarakan pendapat, berserikat, berkumpul, serta merayakan Hari Buruh Internasional. 

Meski Pemerintah Indonesia pernah mengesahkan Undang- Undang Kerja Nomor 12/1948 yang menyatakan 1 Mei sebagai hari buruh dan hari libur, pada praktiknya kebebasan merayakan solidaritas antarpekerja pernah dibungkam dalam waktu yang cukup lama. Tuntutan buruh dipandang identik dengan garis ideologi komunis dan dianggap semata sebagai beban bagi perekonomian yang berorientasi ke luar (outward-oriented). 

Atas dasar itulah gerakan buruh dipandang perlu untuk dikendalikan. Sampai tahun 1998, hanya ada 1 serikat buruh yang diakui di negeri ini, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan tradisi perayaan Hari Buruh pun dilarang. Kini tak kurang dari 60 serikat buruh telah terbentuk, dengan beragam orientasi ideologi dan politik. Di tataran perusahaan dan organisasi, praktik berserikat pun bukan hal asing. 

Pekerja kerap menggunakan mekanisme tawar-menawar secara kolektif (collective bargaining) dengan manajemen perusahaan. Apa makna kesadaran berserikat dan peluang tawar menawar secara kolektif ini bagi Indonesia di masa mendatang? Tahun ini kita perlu melihat 15 tahun ke depan. Bagi kita yang mengalami ingar-bingarnya masa krisis politik dan ekonomi 1998, tentu bisa merasakan betapa cepat waktu berlalu. Dulu kita bisa katakan kita sedang belajar dan mencari formula yang tepat. 

Ke depan, kita sudah harus bergerak berdasarkan strategi yang jitu untuk tujuan yang jelas. Pada 2030 bangsa Indonesia termasuk jajaran bangsa yang akan menua dengan cepat. Artinya, beban ekonomi yang harus ditanggung satu orang pekerja akan jauh lebih besar daripada yang ditanggungnya hari ini. Jika ragam jenis penyakit dan fasilitas kesehatan belum memadai, maka beban bagi satu orang pekerja akan membesar pula. 

Apalagi bila perekonomian kita masih mengandalkan daya beli konsumen sebagai pendorong roda pertumbuhan ekonomi sementara perusahaan-perusahaan memilih “bermain” di tataran upah saja dalam mencari, merekrut, dan mempertahankan tenaga kerjanya. Padahal, pada 2030 itu pula negara-negara tetangga di Asia telah menginvestasikan ratusan juta dolar untuk pengembangan pendidikan, sistem jaminan sosial, sistem kesehatan nasional, perbaikan model pengupahan nasional, serta pengembangan strategi industri. 

China, India, dan Thailand adalah tiga negara yang dengan cepat mengadopsi beragam kebijakan untuk perbaikan nasib para pekerjanya. Dengan merekalah kita perlu mengukur keberanian. Kita juga perlu melihat ke tetangga kita di Afrika dan Australia, yang terus memacu diri untuk bangkit mengembangkan perekonomian dan menolak terpuruk dengan produktivitas sumber daya manusia yang rendah. 

Ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai jumlah pencari kerja, jenis keahlian, dan cocok dengan kemajuan zaman adalah target yang patut kita kejar. Namun, bukan berarti ketersediaan lapangan pekerjaan adalah tujuan akhir dari perjuangan kita. Esensi dari segala perjuangan di Hari Buruh Internasional adalah pengakuan dan pencapaian harkat dan martabat pekerja dalam sistem ekonomi masa kini (apa pun bentuk sistem perekonomian yang dipilih negara dan para politisinya). 

Betul, Hari Buruh Internasional berfungsi mengingatkan kita semua bahwa pemajuan harkat dan martabat bangsa perlu dimulai dengan efektivitas pemanfaatan sumber daya manusia. Dalam perjalanan bangsa ini, melalui krisis demi krisis ekonomi, kita bisa belajar bahwa efektivitas pemanfaatan sumber daya manusia tidaklah sama dengan eksploitasi tenaga kerja. Kita justru diingatkan bangsa Indonesia berhasil bangkit dari ragam krisis ekonomi karena berbagai faktor. 

Di antaranya, para penduduk Indonesia yang berusia produktif punya daya lenting yang tinggi. Lalu, mereka tak henti menciptakan lapangan pekerjaan (meskipun berskala mikro). Selain itu, mereka tak gentar mencari peluang sampai ke luar negeri (meskipun risikonya disiksa dan dilecehkan karena perlindungan tenaga kerja yang belum memadai). Dan masyarakat Indonesia juga gigih meningkatkan keterampilan dan pengetahuan (meskipun dengan segala keterbatasan dana). 

Kita memang kritis terhadap pemerintah, bahkan makin tajam dalam mengartikulasikan kehendak, tetapi sesungguhnya kita punya daya maklum yang luar biasa pada pemerintah. Dengan program pemerintah yang compang-camping pun bangsa kita tidak mengendurkan totalitasnya dalam berproduksi. Hari ini hendaknya kita menyadari rekan-rekan kita yang punya upah di bawah tingkat kelayakan hidup pun tetap menjalani tugas-tugas yang diberikan oleh majikannya. 

Mereka tetap menghasilkan produk dan jasa yang kita beli, kita pakai, dan secara langsung maupun tidak langsung membantu menjaga dan meningkatkan produktivitas kita yang beruntung punya upah lebih baik. Mereka adalah buruh di pabrik pembuat produk konsumen dan penyedia jasa bagi industri tertentu, para juru tulis dan petugas administrasi, tukang bersih-bersih, serta pembantu rumah tangga. 

Kesadaran berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, dan melakukan tawar-menawar secara kolektif sebagai pekerja dengan majikan adalah aset yang sangat berharga bagi bangsa ini. Setidaknya ada dua alasan untuk itu. Pertama, negara kita memilih model ekonomi terbuka; di mana segala perusahaan asing dapat dengan relatif mudah beroperasi dan merekrut pekerja Indonesia. Bayangkan bila dengan kondisi ini pekerja kita tak paham akan haknya untuk bernegosiasi dengan pemberi kerja; tentu negeri ini mengalami rugi besar. 

Kedua, negara kita belum punya kapasitas modal, teknologi dan kemampuan manajemen risiko yang tinggi untuk sejumlah besar lini industri yang sebenarnya bisa merekrut banyak pekerja. Misalnya untuk industri minyak dan gas, industri pengolahan produk-produk pertanian, dan industri listrik berbasis nonbahan bakar fosil. 

Dalam kondisi ini, kita “terpaksa” bekerja sama dengan pihak-pihak asing, sehingga lagi-lagi kita akan rugi besar bila para pekerja kita semata tunduk dan tidak bisa mengartikulasikan kebutuhannya. Di sisi lain, tentu ada pihak-pihak yang menyuarakan bahwa pekerja yang protes dan gemar menuntut ini itu adalah hambatan bagi investasi asing dan berkembangnya industri lokal. 

Ya, mogok kerja pasti mengganggu jalannya produksi. Tetapi kita pun tahu bahwa Indonesia jauh lebih beruntung dibandingkan Korea Selatan yang frekuensi dan skala mogok nasionalnya jauh lebih banyak dan besar. Toh Korea Selatan tetap menarik investasi asing. Betul, kunci dari penanganan tuntutan pekerja dan buruh adalah investasi sumber daya manusia yang terukur. 

Korea Selatan punya itu dan kita belum. Keuntungan perusahaan selayaknya dibagikan secara proporsional antara pajak, keuntungan bagi pemilik usaha dan pemegang saham, serta bagi pekerja. Upah saja tidak bisa menjadi ukuran insentif bagi pekerja. Yang kita hadapi adalah manusia, dengan segala potensi dan kompleksitasnya. 

Dalam perayaan Hari Buruh Internasional ke-15 sejak era reformasi ini mari kita sadari kekayaan terbesar dari bangsa ini adalah jumlah tenaga kerja usia produktif, yang punya kesadaran akan hak sebagai pekerja yang relatif baik, dan daya tahan menghadapi krisis yang patut dipuji. Hari ini, potensi mereka belum cukup diasah dan fasilitasi pengembangan kreativitas mereka belum optimal. 

Kita belum menjadikan Indonesia sebagai surga bagi investor dalam mencari tenaga kerja terampil dan terdidik. Kita masih terbelit sistem pendidikan yang mahal, keterbatasan akses mendapatkan pendidikan bermutu tinggi, sistem ekonomi biaya tinggi yang membuat para pengusaha ber-”sumbu-pendek” pada tuntutan pekerja, dan lemahnya penetapan strategi pembangunan yang jernih, terukur, dan mudah dikembangkan sebagai panduan langkah bagi penduduknya. 

Dalam jeratan itu semua, serikat buruh pun dengan mudah terjebak dalam politik-politik jangka pendek yang membingungkan bagi para pengamat dan para pekerja sendiri. Hari ini semoga menjadi awal yang baru dalam memaknai gerakan buruh. Semoga kita semua menjadi berani untuk mengambil langkah yang bijak dan utuh demi pemajuan harkat dan martabat bangsa Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar