|
SUARA
KARYA, 13 Mei 2013
Sebagaimana diketahui, pemerintah
berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada bulan Mei ini.
Namun, belum jelas kapan harinya dan berapa rupiah kenaikannya. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri telah membentuk tim sosialisasi penyesuaian
subsidi harga BBM yang diketuai oleh Wapres Boediono. Presiden juga telah
meminta kepala daerah untuk mendukung kebijakan penyesuaian harga BBM.
Para pejabat telah diminta untuk
menjelaskan dasar kebijakan penyesuaian harga BBM bahwa subsidi harus diberikan
secara lebih adil dan transparan. Program perlindungan kelompok masyarakat yang
tidak mampu melalui pemberian kompensasi atau bantuan pun telah disiapkan.
Yang perlu diingat, pemerintah
jangan hanya melihat BBM dalam perspektif penyelamatan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) semata. Tetapi, yang lebih penting, harus betul-betul
menjadikan nasib kehidupan rakyat kecil dan miskin sebagai kriteria pengambilan
keputusan.
Dalam konteks ini aturan main yang
termaktub dalam konstitusi (UUD 1945) harus dijadikan kriteria utama dan
pertama dalam melahirkan kebijakan terkait rencana penaikan harga BBM
bersubsidi. Jangan dilupakan bahwa kata "kesejahteraan" adalah kata
kunci mengapa negara ini didirikan. Dalam konteks ini, maka nasib kesejahteraan
rakyat harus menjadi dasar dalam soal menetapkan harga BBM.
Pasalnya, harga BBM selalu menjadi
lokomotif kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan harga BBM
dengan segera secara simultan akan diikuti dengan kenaikan harga-harga
kebutuhan pokok yang lain.
Kalau berbagai persiapan untuk
membantu warga masyarakat miskin tidak dilakukan, kenaikan harga BBM akan
kembali menambah jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga BBM bersubsidi
berpotensi menjadikan penduduk miskin makin miskin lagi.
Sungguh, begitu seriusnya dampak
dan implikasi kenaikan harga BBM bersubsidi bagi wong cilik, yang akan membawa
resonansi dan reperkusi sosial politik yang sangat besar. Dalam perspektif ini,
yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai kenaikan harga BBM justru menjadi
komoditas politik, apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan pemilihan umum
(pemilu).
Adalah sikap terlalu meremehkan
(remeh-temeh) jika kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang implikasinya
sangat serius itu hanya didiskusikan dalam konteks politik, khususnya politik
menghadapi pemilu. Harus dihindari bahwa program bantuan langsung tunai (BLT)
yang telah dijanjikan terdahulu semata untuk kepentingan pemenangan pemilu.
Penolakan itu akibat dari
pemerintah yang tidak konsisten. Dulu, pemerintah malah pernah menurunkan harga
BBM, sebuah langkah yang oleh banyak kalangan disebut "sok populis"
dan nyata-nyata instan bahwa apa yang dilakukan cuma untuk mengambil hati
rakyat dalam kerangka politik pencitraan.
Kalau hal itu terus dipelihara,
akibatnya kebijakan itu bisa menjadi kontraproduktif. Warga masyarakat luas
bisa saja berpikir bahwa harga BBM bukan hanya bisa tidak dinaikkan, bahkan
sebenarnya bisa diturunkan.
Di tengah ancaman krisis global,
kini pemerintah tampaknya menjadi kesulitan untuk menaikkan harga BBM akibat
"karma" di masa lalu karena kebijakan menurunkan harga BBM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar