Selasa, 14 Mei 2013

BBM dan Komoditas Politik


BBM dan Komoditas Politik
Hajriyanto Y Thohari  ;  Wakil Ketua MPR RI dan Ketua DPP Partai Golkar 
SUARA KARYA, 13 Mei 2013


Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada bulan Mei ini. Namun, belum jelas kapan harinya dan berapa rupiah kenaikannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri telah membentuk tim sosialisasi penyesuaian subsidi harga BBM yang diketuai oleh Wapres Boediono. Presiden juga telah meminta kepala daerah untuk mendukung kebijakan penyesuaian harga BBM.

Para pejabat telah diminta untuk menjelaskan dasar kebijakan penyesuaian harga BBM bahwa subsidi harus diberikan secara lebih adil dan transparan. Program perlindungan kelompok masyarakat yang tidak mampu melalui pemberian kompensasi atau bantuan pun telah disiapkan.

Yang perlu diingat, pemerintah jangan hanya melihat BBM dalam perspektif penyelamatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata. Tetapi, yang lebih penting, harus betul-betul menjadikan nasib kehidupan rakyat kecil dan miskin sebagai kriteria pengambilan keputusan.

Dalam konteks ini aturan main yang termaktub dalam konstitusi (UUD 1945) harus dijadikan kriteria utama dan pertama dalam melahirkan kebijakan terkait rencana penaikan harga BBM bersubsidi. Jangan dilupakan bahwa kata "kesejahteraan" adalah kata kunci mengapa negara ini didirikan. Dalam konteks ini, maka nasib kesejahteraan rakyat harus menjadi dasar dalam soal menetapkan harga BBM.

Pasalnya, harga BBM selalu menjadi lokomotif kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan harga BBM dengan segera secara simultan akan diikuti dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang lain.

Kalau berbagai persiapan untuk membantu warga masyarakat miskin tidak dilakukan, kenaikan harga BBM akan kembali menambah jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga BBM bersubsidi berpotensi menjadikan penduduk miskin makin miskin lagi.

Sungguh, begitu seriusnya dampak dan implikasi kenaikan harga BBM bersubsidi bagi wong cilik, yang akan membawa resonansi dan reperkusi sosial politik yang sangat besar. Dalam perspektif ini, yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai kenaikan harga BBM justru menjadi komoditas politik, apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan pemilihan umum (pemilu).

Adalah sikap terlalu meremehkan (remeh-temeh) jika kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang implikasinya sangat serius itu hanya didiskusikan dalam konteks politik, khususnya politik menghadapi pemilu. Harus dihindari bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) yang telah dijanjikan terdahulu semata untuk kepentingan pemenangan pemilu.

Penolakan itu akibat dari pemerintah yang tidak konsisten. Dulu, pemerintah malah pernah menurunkan harga BBM, sebuah langkah yang oleh banyak kalangan disebut "sok populis" dan nyata-nyata instan bahwa apa yang dilakukan cuma untuk mengambil hati rakyat dalam kerangka politik pencitraan.

Kalau hal itu terus dipelihara, akibatnya kebijakan itu bisa menjadi kontraproduktif. Warga masyarakat luas bisa saja berpikir bahwa harga BBM bukan hanya bisa tidak dinaikkan, bahkan sebenarnya bisa diturunkan.
Di tengah ancaman krisis global, kini pemerintah tampaknya menjadi kesulitan untuk menaikkan harga BBM akibat "karma" di masa lalu karena kebijakan menurunkan harga BBM. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar