Jumat, 03 Mei 2013

Arah Revolusi Ideologis Suriah


Arah Revolusi Ideologis Suriah
Minhad Astoriq ;  Analis Sejarah dan Peradaban Islam,
Kontributor Master FM Jombang
JAWA POS, 03 Mei 2013


National Intelligence Council (NIC) Amerika merilis laporan yang berjudul  Mapping the Global Future pada Desember 2004. Di dalamnya diprediksi empat skenario dunia 2020. Pertama, Davos World, digambarkan 15 tahun ke depan Tiongkok dan India menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. Kedua,  Pax Americana, dunia masih dipimpin AS. Ketiga, A New Caliphate, kembali berdirinya khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada nilai-nilai global Barat. Keempat,  Cycle of Fear, munculnya lingkaran ketakutan.

Terkait dengan A New Caliphate, tidak sedikit yang menganggap laporan di poin ketiga itu sebagai yang utopis. Analis politik dan strategi Amerika Fred Gedrich yang menulis Syria on Track to Become Islamic Statedalam The Washington Times (Jumat, 4/1/2013) bisa menjadi mata rantai A New Caliphate hasil rilis NIC 2004. Goal setting artikel tersebut adalah peringatan keras dari arah revolusi Suriah yang menuju berdirinya khilafah dan akan mengakibatkan lemahnya keamanan regional dan kepentingan AS di Timur Tengah. Artikel tersebut disertai gambar dengan background foto Basyar Assad yang ditutupi kata khilafah dalam bahasa Inggris.

Terkait dengan krisis Suriah, sebagaimana dilansir situs Guardian.co.uk, Presiden Obama menyampaikan peringatan tentang bahaya Suriah pasca-Assad yang digambarkannya sebagai skenario mimpi buruk, lembaga-lembaga negara hancur, negara terpecah ke dalam sektarianisme, dan kelompok Islam mengisi kesenjangan. Sikap Prancis kurang lebih sama. Saat menjadi tuan rumah pertemuan Koalisi Nasional Suriah (SNC) dengan 50 negara beberapa waktu lalu, Prancis mendesak Barat untuk membantu SNC. Tujuannya, mempercepat terbentuknya pemerintahan transisi yang pro-Barat dan mencegah lahirnya revolusi Islam. Pertanyaannya, akankah A New Caliphate "menetas" dalam revolusi di bumi Syam?

Suriah berbeda secara mendasar dengan Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman. Bila revolusi Arab Spring di tempat lain sebatas mengubah rezim, mayoritas rakyat Sunni Suriah menghendaki syariah Islam sebagai konstitusi pasca-Assad.

Bisa dilihat, pada Jumat, 22 Februari 2013, aksi massa masif terjadi di seluruh Suriah. Di Aleppo, ribuan orang berkumpul, baik tua, muda, maupun anak-anak meninggikan panji Rasulullah SAW sambil menyanyikan nasyidRevolusi Kami, Revolusi Islam. Beberapa warga membawa poster yang bertulisan Satu Umat, Satu Bendera, Satu Negara. Tidak ada panji yang ditinggikan selain panji royatul 'uqab Rasulullah SAW berwarna hitam bertulisan kalimah tauhid: laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Pada hari yang sama, potret serupa terjadi di Douma, Ma'arit Mishriyin, Bezah, Binnisyi, Yabrud, Salqin, Killiy, Idlib, Tareeq Halab, Homs, Horan, dan beberapa wilayah lain.

Benih khilafah ini juga tampak dari qasam (sumpah) beberapa brigade mujahidin untuk mengadopsi konsep negara Islam yang disodorkan Hizbut Tahrir. Seperti yang mereka lakukan di Aleppo Barat, 12 Desember 2012. Brigade-brigade itu meliputi Brigade Anshar Al Syaria, Brigade Rijalullah, Brigade Abdullah Ibnu El Zubair, Brigade Abdul Razaq, dan Brigade Suyyuf Ar Rahman. Mereka bersatu membentuk brigade koalisi Anshar Al Khilafah (pendukung khilafah). Dalam potongan qasam itu juga tertulis: wa an laa nardha bi ghairi nidham al khilafah ( ...dan tidak akan rida dengan sistem selain khilafah). Revolusi ideologis Islam inilah salah satu hakikat yang terjadi di Suriah. Sesuatu yang sangat tidak dikehendaki Amerika dan sekutunya.

Ini pula yang menjadikan krisis Suriah cenderung berlarut. Amerika dan sekutunya, yang awalnya mendukung kelompok oposisi untuk menggulingkan Assad, sedikit demi sedikit berbalik sikap. Bagi Amerika, oposisi yang harus dibantu hanyalah yang mendukung kepentingannya. Bukan kalangan mujahidin dan rakyat Suriah yang menghendaki perubahan sistem, perubahan ideologi. Karena itu, mempertahankan Assad untuk tetap berkuasa menjadi misi "terselubung" Amerika, juga sekutunya.

Situs Wikileaks telah membocorkan dokumen yang mengungkap dukungan AS kepada rezim Assad senilai "lima miliar dolar" untuk menghadapi oposisi (mujahidin). LA Times (16/3/2013) juga memberitakan, CIA menarget para pejuang Suriah dengan pesawat tak berawak. Amerika khawatir, setelah Assad digulingkan, kelompok Islam merebut tampuk kekuasaan di Suriah dan mendirikan negara baru yang bertentangan dengan demokrasi ala Amerika.

Bara krisis Suriah hari ini memang masih kecil. Tetapi, ketika khilafah betul-betul terlahir dari rahim bumi Syam, nyalanya bisa merubah peta dunia.

Sebagaimana dilansir New York Post yang mengutip Henry Kissinger (dan diamini 16 badan intelijen Amerika), dalam sepuluh tahun ke depan (tahun 2022), tidak akan ada lagi Israel. Yang demikian juga sangat mungkin terjadi. Itu sesuatu yang tidak dikehendaki Amerika dan negara Barat tentunya. Karena itu, tumbangnya Assad, bagi Amerika, menjadi sesuatu yang menakutkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar