Selasa, 18 September 2012

Urbanisasi dan Transformasi Struktur Ekonomi


Urbanisasi dan Transformasi Struktur Ekonomi
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras
SINDO, 18 September 2012


Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sibuk menertibkan para pendatang melalui Operasi Yustisi.
Warga yang kedapatan tidak memiliki identitas Jakarta dan tidak memiliki tujuan yang jelas bakal dikembalikan ke daerah asal. Ketatnya aturan “masuk” dan mengais rezeki Jakarta ini diduga sebagai penyebab utama menurunnya jumlah pendatang baru ke Ibu Kota. Ini tidak hanya tecermin dari migrasi masuk, jumlah pendatang setelah mudik Lebaran pun menurun. Pada 2006 ada 124.000 penduduk datang setelah Lebaran yang masuk Jakarta, tahun 2011 jumlahnya tinggal 50.000 pendatang. Apakah data itu menandai menyurutnya Jakarta sebagai magnet tujuan urbanisasi?

Dari sisi teknis angka-angka itu benar adanya.Namun, apabila dilihat dalam kerangka kewilayahan Jabodetabek (Jakarta- Bogor-Depok-Tangerang- Bekasi), Jakarta tetaplah tujuan utama urbanisasi. Tahun 2000, migrasi ke Bodetabek masih sekitar 37% dari total migrasi Jawa Barat dan Banten. Lima tahun berikutnya, arus migrasi ke wilayah ini naik jadi 49%. Peningkatan arus migrasi ini tecermin pada pesatnya laju pertambahan jumlah penduduk di delapan wilayah administrasi di sekeliling (hinterland) Jakarta.

Periode 2005–2010, laju pertumbuhan penduduk wilayah pinggiran Jakarta antara 2% hingga 5%.Sebaliknya, pertumbuhan penduduk Jakarta hanya berkisar 1%. Meskipun para pendatang itu bermukim di pinggiran Jakarta, mereka tetap mengais rezeki di Jakarta. Kemudahan akses transportasi, meskipun macet, memungkinkan hal itu terjadi. Data Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration tahun 2010 menunjukkan, komuter melakukan mobilitas 1,1 juta perjalanan setiap hari dari tempat bermukim di Bodetabek ke tempat bekerja di Jakarta.

Mengapa Jakarta tetap jadi magnet para pendatang? Letak kesalahan ada pada kegagalan kita yang amat persisten mengatasi kesenjangan kota-desa menyebarkan penduduk ke wilayah lain di luar Jawa dan Jabodetabek serta meratakan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Mengapa kita tak berdaya mengatasi urbanisasi masif selama puluhan tahun? Tampaknya akar permasalahan terletak pada ketidakmampuan kita membangun ekonomi perdesaan yang telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan.

Konsep yang kita kenal selama ini tentang urban-rural linkages tidak berjalan karena kenyataannya kota makin perkasa, sedangkan desa justru kian merana dan tertinggal. Ada alasan logis untuk menjelaskan gerak urbanisasi masif ke Jakarta selama ini. Pertama,ketidakseimbangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur, khususnya antara Jawa dan non-Jawa. Disparitas antardaerah ini sebetulnya sudah terjadi sejak awal pembangunan. Ironisnya, hingga kini belum ada perbaikan berarti, bahkan kian senjang.

Pada 2011 kawasan barat Indonesia (KBI), yaitu Jawa dan Sumatera, menguasai 82% PDB nasional dengan tiga provinsinya (DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat) menguasai 46% PDB nasional. Kedua, kesenjangan yang lebar antara perkotaan dan perdesaan. Pada 201, pertumbuhan sektor pertanian hanya 3,0% dan kontribusi sektor pertanian tergadap PDB nasional pada 2011 hanya 14,4%. Padahal, sektor ini menampung 43% dari total tenaga kerja. Akibatnya, pertanian kian involutif yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan.

Kemiskinan sejak dulu terkonsentrasi di perdesaan. Per Maret 2012 jumlah orang miskin di perdesaan mencapai 63,4% (18,48 juta) dari jumlah warga miskin 29,13 juta jiwa. Ini merupakan fakta getir karena pembangunan justru kian meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa. Kemajuan Jawa dan daerah perkotaan menjadi faktor penarik (pull factor) urbanisasi.

Sebaliknya, ketertinggalan luar Jawa dan daerah perdesaan menjadi faktor pendorongnya (push factor). Jutaan manusia mengadu nasib ke kota dan daerah hinterland karena impitan kemiskinan di desa. Daerah-daerah maju menarik jutaan tenaga kerja terdidik dan terlatih meninggalkan daerah miskin sehingga semakin tertinggal.

Derap pembangunan di daerah maju tidak menyebarkan manfaat (spread effect), termasuk sekadar menetes dalam bentuk trickle down effect, sebaliknya justru mengisap sumber daya perekonomian sehingga terkonsentrasi di daerah-daerah kaya (backwash effect). Akibatnya, perdesaan makin marginal dan tak mampu mengatasi ketertinggalan. Inilah akar dan wajah urbanisasi selama ini. Uraian di atas menunjukkan pembangunan ekonomi Indonesia gagal menghasilkan transformasi struktural.

Secara struktural, ekonomi di Indonesia bermasalah. Sektor pertanian masih menyerap sekitar 43% dari total tenaga kerja, sementara sumbangan PDB hanya 15%. Sebaliknya, sektor industri menyerap 12% tenaga kerja, tapi kontribusi terhadap PDB sebesar 25%. Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru ternyata jauh panggang dari api. Ini terjadi karena dua hal. Pertama, sektor industri yang dikembangkan jauh dari sektor pertanian (non-resources based) sehingga kurang––atau tidak––menyerap tenaga kerja. Kedua, tenaga kerja di Indonesia sekitar 70% hanya lulusan SLTP ke bawah.

Kalaupun lapangan kerja tersedia, mereka akan kesulitan masuk ke sektor industri/jasa. Transformasi struktural pembangunan ekonomi Indonesia hanya akan terjadi apabila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.

Model pembangunan Indonesia saat ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa,dan marginalisasi ekonomi perdesaan dan pertanian. Ujung dari semua itu adalah kian masifnya konflik lahan.

1 komentar: