Sesat Pikir Kontraterorisme
Moh Rozaq Asyhari ; Mahasiswa Program Doktor Universitas Indonesia,
Staf Ahli Anggota Komisi III DPR
|
REPUBLIKA,
11 September 2012
Penanganan
terorisme dilakukan dengan dua fungsi besar, yaitu upaya penindakan dan
pencegarah. Penindakan adalah proses penghukuman terhadap pelaku tindak pidana
terorisme yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana tersebut atau ex post factum. Sedangkan pencegahan
adalah menutup atau tidak menciptakan kesempatan dilakukannya tindak pidana
terorisme, oleh karenanya preventive measures dilakukan sebelum tindak pidana
terorisme terjadi.
Penindakan
yang dilakukan oleh Densus 88 telah mengantarkan ratusan tersangka teroris ke
persidangan, beberapa terpidana di antaranya telah dieksekusi mati setelah
menerima vonis yang kracht van gewijsde.
Namun, puluhan terduga yang lain juga telah ditembak mati di tempat kejadian
perkara.
Sebenarnya,
Desus 88 bukan satusatunya satuan yang memiliki tugas dan kemampuan untuk
melakukan penindakan terhadap tindak pidana terorisme. Hampir semua angkatan
dan kepolisian, juga badan intelijen memiliki struktur organisasi antiterror.
Kapolri
menerbitkan Skep Kapolri No 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 menandai
terbentuknya Densus 88 Antiteror. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merupakan
tindak lanjut dari diterbitkannya UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme,
yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan
tindak pidana terorisme, sedangkan TNI dan BIN menjadi unsur pendukung saja
dari pemberantasan tindak pidana terorisme.
Peraturan
Presiden Nomor 46 Tahun 2010 memberikan kewenangan kepada BNPT untuk melakukan
fungsi pencegahan dalam persoalan terorisme.
Badan ini memiliki tugas untuk menyusun kebijakan, strategi, dan program
nasional di bidang penanggulangan terorisme. Dapatlah disimpulkan bahwa BNPT
adalah design maker dalam penyiapan program kontraterorisme, yang juga
sekaligus sebagai player dalam bidang penanggulangan terorisme.
Pangkal Terorisme
Pada
19 Maret 2012, BNPT mempresentasikan Program
Kontraradikal Terorisme di depan Komisi III. Kegiatan ini dibuat dalam
bentuk proyek strategis nasional yang disebut deradikalisasi. Proyek ini
mengidentifikasi bahwa pangkal terorisme di Indonesia adalah pemahaman
radikalisme dalam beraga ma, oleh karenanya kegiatan kontra terorisme dilakukan
dengan deradikalisasi.
Sasaran
dari proyek ini adalah majelis taklim, pengurus masjid, pesantren, dan
organisasi kemahasiswaan. Sepertinya telah ditarik kesimpulan bahwa komunitas-komunitas
yang melakukan aktivitas keislaman merupakan entitas yang rentan terhadap
radikalisme, oleh karenanya proyek ini memiliki fokus pada kelompok tersebut
sebagai objek sasaran.
Kesimpulan
yang demikian adalah bentuk dari logical
fallacy atau sesatpikir logis, merupakan suatu komponen dalam argumen,
muncul dalam statemen klaim yang mengacaukan logika. Sesatpikir logis
menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan karena klaim argumennya tidak disusun
dengan logika yang benar.
Persoalan
terorisme dihubungkan dengan kelompok agama tertentu yaitu Islam, bila pelaku
tindak pidana adalah seorang Muslim maka akan dengan cepat disimpulkan tindakan
tersebut adalah terorisme. Berbeda ketika tindakan tersebut dilakukan oleh
orang di luar kelompok agama tersebut, kesimpulan misalkan saja kejadian
rentetan penembakan dan teror yang terjadi di Papua.
Selama
2012 ini saja setidaknya ada 24 kasus penembakan, sebelumnya pada 2011 paling
tidak terjadi 13 kali insiden penembakan. Pada tahun tersebut terdapat tujuh
orang karyawan PT Freeport yang meninggal dunia, lima orang lainnya mengalami
luka tembak, dua orang anggota TNI dan satu orang polisi juga mengalami luka
tembak. Namun, dari semua kejadian tersebut tidak pernah dilabeli terorisme,
hanya disebut dengan penembakan orang tak dikenal ataupun terkadang juga
disebut sebagai separatisme.
Konstruksi
logika yang mengatakan bahwa para teroris lahir dari radikalisme agama
mengalami ignoratio elenchi, yaitu
kesesatan yang terjadi saat menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan
premisnya. Dalam hal ini disimpulkan bahwa perbuatan teror muncul karena
pemahaman keberagaman seseorang yang radikal, padahal konten dari agama itu
sendiri adalah moral condutc.
Tidaklah mungkin satu agama pun di dunia ini yang memperbolehkan umatnya
melakukan teror. Loncatan dari premis ke kesimpulan semacam ini umum
dilatarbelakangi prasangka, emosi, dan perasaan subjektif.
Terorisme
muncul disebabkan adanya persoalan-persoalan kompleks. Kehadirannya dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang memunculkan prakondisi dan katalisatornya. Prakondisi
terjadinya terorisme: pertama, adanya modernisasi sebagai faktor penting bagi
munculnya problematika sosial ekonomi di dalam masyarakat, termasuk juga
munculnya teknologi komunikasi dan transportasi yang semakin canggih. Kemudahan
ini menyebabkan terorisme bisa muncul.
Kedua,
lokasi geografis sebagai tempat-tempat yang memudahkan aksi terorisme berjalan
lancar. Karenanya, di kota-kota lebih berpeluang menjadi sasaran terorisme
daripada di desa. Hal ini karena di kota fasilitas yang mendukung aksi
terorisme mudah didapat. Ketiga, sistem politik dan sikap pemerintah yang dinilai
menimbulkan kesenjangan, tidak berpihak pada rakyat dan belum bisa memberikan
kesejahteraan.
Sementara
itu, yang termasuk faktor-faktor yang menjadi katalisator terjadinya terorisme
adalah pertama, adanya diskriminasi keadilan terhadap kelompok tertentu. Kedua,
tersumbatnya saluran partisipasi politik, ketiga factor-faktor sosial, budaya,
dan keempat adanya fasilitas dan persenjantaan yang memadai.
Strategi
kontraterorisme yang efektif adalah dengan menghilangkan faktor yang melahirkan
prakondisi dan meminimalkan situasi yang menjadi katalisator munculnya tindakan
teror. Oleh karenanya, diperlukan kehadiran negara sebagai welfare state yang mampu menumbuhkan kesejahteraan bagi rakyat.
Selain itu, perlunya akses keadilan bagi
seluruh lapisan masyarakat. Sumbatan-sumbatan saluran politik pun harus dibuka
seluas-luasnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar