Minggu, 23 September 2012

Segeralah Bekerja dan Berilah Kesempatan


Segeralah Bekerja dan Berilah Kesempatan
Driantama ;  Jurnalis
SINDO, 22 September 2012


Saya tidak mengenal Joko Widodo (Jokowi), saya tidak pernah bertemu dengan Jokowi, tetapi saya bersimpati kepadanya. 

Beruntung, saya tidak punya hak suara di Pilkada DKI sehingga simpati saya tidak bertendensi, kecuali sebatas berharap dan yakin. Fenomena Pilkada DKI menyibakkan banyak hal.Sebuah komunitas besar metropolitan ini ternyata mayoritasnya lebih memilih Jokowi daripada Fauzi Bowo (Foke). Padahal Jokowi diklaim sebagian pemilih Jakarta hanya sanggup memimpin warga Solo yang skalanya terlalu kecil dibandingkan Jakarta dan terkesan tidak cukup “garang” untuk belantara Jakarta.

Sementara Foke dinilai sebagai birokrat yang paling paham masalah Jakarta,sebab sudah lama berkancah di birokrasi Jakarta. Foke yang didukung banyak partai besar ternyata tidak mampu mengalahkan Jokowi. Ini adalah hal mengejutkan yang kedua kalinya yang harus dihadapi Foke. Periode lalu, Foke yang didukung belasan partai saat itu hanya menang tipis atas lawannya yang didukung hanya 1 partai. Mengejutkan? Bisa ya dan bisa tidak. Mengapa, lagi-lagi ini sebuah fakta yang mengajari kita bahwa tampaknya– jangan-jangan–partai-partai besar ini makin hari makin tidak berurat,tidak mengakar.

Mungkin lelah dan bosan,menjenuhi pikiran dan perasaan rakyat ini. Rakyat sudah lama tertinggal ketika para politikus itu asyik-masyuk berdendang dan berjalan terlalu cepat meninggalkan pemilihnya.Kalaupun Jokowi menang, itu pun, jangan-jangan, hanya karena rakyat menggunakan partai itu sebagai alat untuk mengekspresikan dukungannya kepada calon yang mengena di hatinya. Warga Jakarta yang diyakini banyak kalangan sebagai miniatur rakyat Indonesia dan barometer demokrasi di republik ini bisa jadi sudah terlalu lama merasa diabaikan pemimpinnya.

Secara kesadaran, mereka sesungguhnya tahu siapa pemimpin mereka, dalam skala yang paling kecil hingga skala terbesar.Namun mereka juga makin tidak lupa bahwa pemimpin-pemimpin itu,setelah merasa milik rakyat saat berkampanye, tiba-tiba menjadi milik lainnya dan atau papan catur perpolitikan ketika sudah jadi pemimpin. Rakyat tidak pernah terima ketika suaranya–yang digunakan seseorang untuk menjadi pemimpin–hanya digunakan sebagai alat tangga menuju genting rumah besar dan ketika sampai di genting, lalu ditinggal. Hanya tangga yang diinjakinjak ketika butuh naik.

Ketika sudah datar,maka tidak dipakai lagi.Tangga itu tetap ada,tetapi tersimpan di sudut terbiarkan dan diambil lagi saat perlu saja. Jangan-jangan kerinduan kepada pemimpin yang merakyat jadi hal yang utama.Fenomena Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, itu sedikit contohnya. Lalu, mengapa harus merakyat? Karena sebagai penentu kemenangan,rakyat punya hak untuk didengar. Kisah tentang Umar bin Khatab adalah satu contohdaribegitubanyakcerita, betapa rakyat hanya bisa percaya kepada pemimpin yang mau mendengarnya.

Rakyat hanya mau percaya kepada pemimpin yang tahu betul keinginan rakyatnya. Mereka cinta kepada pemimpin yang berani mengesampingkan kepentingan golongan dan bukannya berani mencuri harta rakyat. Kesahajaan bukan sebuah kepura- puraan, senyum ramah bukan produk sebuah konsultan pencitraan, dan kesungguhan sebagai napas kehidupan. Jokowi, ketika Anda tampil sangat bersahaja dan dekat rakyat saat berkampanye,maka ingatlah, masa kampanye sudah usai. Berhenti berjanji karena ini saat menepati janji.

Berhentilah pada pencitraan gaya kemarin karena pencitraan berikutnya sangat tergantung pada kesungguhan Anda bekerja. Segera lupakan kemenangan dalam arti apa pun karena lima tahun tidak lebih dari 1.825 hari. Jumlah yang repot ketika dieja satu-satu, tetapi jumlah yang terlalu sedikit bila digunakan untuk menyelesaikan persoalan Jakarta yang sangat pelik ini.Jakarta bukan tempat yang menyenangkan untuk berlama-lama bagi sebuah pesta-pora. Apakah dengan suara yang memenangkannya persoalan Jakarta menjadi mudah diselesaikan? Bisa jadi benar.

Namun kegagalan juga bisa jadi kenyataan manakala pesaing politik Jokowi dan partainya menjadikan lima tahun ke depan sebagai ajang pertarungan lanjutan. Alih-alih memberi kesempatan pesaingnya untuk bekerja benar, slogan “kekalahan adalah kemenangan yang tertunda” dikumandangkan luar biasa di batin.Kemenangan pilkada hanya dianggap sebagai 1 babak awal dari 12 ronde pertarungan. Apabila pikiran ini menghunjam dalam di hati para pesaing Jokowi, maka apa jadinya DKI Jakarta dan republik ini. Rakyat hanya jadi alat, pelengkap dan pendorong serta penekan menuju ambisi tertentu.

Persoalan teknis di lapangan tidak sepenuhnya selesai di atas meja, tetapi juga diselimuti perhitungan politik yang sudah telanjur dibiasakan untuk rumit.Karenanya,1.825 hari itu sesungguhnya tidak hanya tergantung di tangan Jokowi saja sebagai dirigen, tetapi semua pihak. Istilah bahwa kenegarawanan hanya untuk kalangan tertentu sesungguhnya salah. Sikap itu harus dimiliki semua unsur di DKI Jakarta,tidak hanya gubernur dan jajarannya, tetapi juga DPRD dan bahkan rakyat.

Rakyat yang di dalamnya terdapat kaum profesional juga harus menjadi unsur penting penegakan semangat batin, negarawan, agar “kepiawaian” yang dimiliki diarahkan pada hal yang positif demi kepentingan banyak orang yang sesungguhnya, bukan banyak orang yang dikelompokkelompokkan. Memberi masukan yang sesungguhnya harus dilakukan dengan sungguh- sungguh agar terkuaklah arah pemecahannya. Bukan kecendekiaan yang digunakan hanya untuk mencemooh.

Bersatulah kaum profesional dengan politikus putih untuk menghadapi para politikus yang selalu sibuk untuk membuat sesuatu menjadi sebuah hal yang layak diperhitungkan, yang salah, ujungnya hanya sebuah korupsi belaka. Bagi pasangan yang kalah dan simpatisannya, menerima hasil perhitungan suara dengan rendah hati tampaknya juga akan menjadi hal yang baik. Mengungkap kecurangan pilkada adalah hal yang juga tidak boleh dianggap enteng. Namun mengada-ada atas hal yang tidak ada diyakini hanya mengisi waktu dengan suasana batin yang tidak nyaman. Kepastian hukum? Mungkin itu yang dengan bangga sering diucapkan di mana-mana.

Namun antusiasme pengucapan itu yang didasari rasa penasaran dan ingin tahu sering kali hanya membuat hukum itu jadi alat permainan. Alih-alih menegakkan hukum, yang terjadi justru meragukan hukum itu sendiri. Bukankah bangsa ini pernah bangga dengan musyawarah mufakat? Bang Napi–tokoh fiksi dalam acara berita di RCTI–, mengatakan bahwa “kejahatan itu bukan hanya soal kesempatan, tapi juga karena niat dari pelakunya”.Artinya manakala niat jahat begitu sempurna dikekang, kejahatantidaksertamerta terjadi meski hukum masih jauh dari sempurna.

Sebaliknya, meski hukum sudah sempurna, maka selalu ada celah yang ditemukan manakala niat jahat itu begitu menggelora. Kemenangan Jokowi-Ahok akan menjadi fenomena penting di kancah politik nasional mendatang. Kemenangan Jokowi- Ahok sesungguhnya tidak pernah membuat Foke-Nara kalah. Karena yang terjadi bukanlah kalah menang dalam arti ke-bahasa-an belaka, tetapi yang terjadi sesungguhnya hanyalah sebuah pergantian. Itu sebabnya,selesainya Pilkada DKI Jakarta tidak perlu menyisakan kesal, marah, benci,bahkan dendam.

Warga Jakarta, kembalilah ke rumahmu, selesaikan banyak masalah Jakarta sejak dari rumahmu masing-masing dan bantulah pemimpinmu bekerja. Bang Jokowi dan Bang Ahok, segeralah bekerja, lupakan segera kemenangan dan jangan sekali-kali cederai janji serta kepercayaan rakyatmu. Bang Foke dan Bang Nara, ini saat yang tepat, menunjukkan bahwa anda berdua adalah negarawan panutan rakyat Jakarta. Keberhasilan Bang Jokowi dan Bang Ahok nanti sesungguhnya juga bagian dari keberhasilan Bang Foke lima tahun lalu. Selamat dan syukur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar