Sampang
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
SINDO
, 02 September 2012
Tepat di Hari Lebaran Ketupat, Minggu, 26 Agustus 2012, terjadi
tragedi Sampang II (yang pertama terjadi bulan Desember 2011). Sejumlah santri
Syiah dari Desa Karanggayam, Sampang, yang akan kembali ke pondok pesantren di
Jawa, tiba-tiba dicegat oleh serombongan orang.
Mereka digiring kembali ke rumahnya dan berbuntut bentrokan.
Santri-santri kocar-kacir, satu atau dua tewas, banyak yang luka bacok dan
kabarnya masih ada yang terjebak di hutan dalam keadaan terluka. Pemerintah
pusat bergerak cepat. Presiden SBY memberi komando, beberapa menteri, Kapolri, dan
Panglima TNI bergerak menuju TKP. Gubernur, bupati, polda, dan polres
dilibatkan. Juga Ketua PBNU pusat.
Kesimpulannya, ini bukan konflik antarsekte Syiah lawan Sunni. Ini kriminal murni. Hanya buntut dari percekcokan kakak beradik Tajul Muluk (pimpinan Syiah lokal) dengan Roisul (Sunni) dan jalan keluarnya duduk bersama serta dialog. Kalau tidak, ya umat Syiah direlokasi (ditransmigrasikan) saja. Waduh, gawat. Kalau pengelola negara dari yang paling top sampai akar rumput cara berpikirnya seperti itu,saya jamin masalah ini akan berlarutlarut.
Di Jakarta para penganut Syiah sudah berkumpul dan disiarkan di media massa. Tentu ini akan menambah asam-garamnya ketidaksukaan kepada Syiah di kalangan mayoritas muslim Indonesia yang umumnya penganut Sunni (ahlussunnah wal jamaah).Tapi kalau sampai terjadi umat Syiah di Indonesia dizalimi, saudara-saudaranya sesama Syiah di Iran, misalnya, tidak akan tinggal diam.
Perang terbuka antara penganut Syiah dan Sunni sudah terjadi di Irak dan Suriah,bukan tidak mungkin bisa terjadi juga di Indonesia. Padahal untuk urusan agama (agama apa saja),orang siap mati kapan saja. Dalam Sunni ada jihad, di Syiah pun ada, bahkan dalam peristiwa Cikeusik,kaum Ahmadiyah tewas akibat mempertahankan agamanya. Mereka pun berjihad dalam versi mereka. Lain daripada itu,dialog bukan hal yang gampang.
Bapakbapak pembesar itu mungkin membayangkan dialog seperti nongkrong di warung kopi sambil ngoceh ke sana-kemari atau yang lebih serius seminar di hotel dengan sajian makan siang sup buntut.Tidak seperti itu. Prasyarat untuk suatu dialog adalah dua-duanya secara mental siap untuk mendengar, menerima masukan, dan mengubah perilaku. Tanpa itu tidak mungkin. Jangankan dalam konflik Syiah-Sunni yang sudah berjalan ratusan tahun, dialog antara suami-istri saja belum tentu bisa terjadi.
Tiap kali mau dialog, yang ada cekcok, akhirnya malah cerai. Teman-teman dari Yayasan Titian Perdamaian, misalnya, membutuhkan tidak kurang dari 4 tahun untuk membangun dialog di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Saya tahu persis karena pernah diajak oleh ketuanya, Dr Ichsan Malik, dalam proses dialog di Ambon, Ternate, Tobelo, dan Galela.
Saya sendiri membutuhkan juga hampir 4 tahun untuk mengubah mantan pelaku teror bom sehingga mereka bisa menyelenggarakan perayaan 17 Agustus 2012 di Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan,lengkap dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan melafalkan Pancasila. Sebetulnya cukup membanggakan, tetapi jika dibandingkan dengan tenaga, pikiran, dan cucuran keringat dari tim saya, apalagi dana dari sponsor, sangat tidak seimbang.
Begitu sulitnya untuk membangun dialog sehingga saya suka emosi (hehehe...sabaar) kalau mendengar para pejabat dan pakar seenaknya ngomongsoal dialog,seakan-akan dialog adalah suatu jamu serbaguna yang bisa mengobati salah urat sampai lemah syahwat. Apalagi yang namanya relokasi. Walah, lebih gila lagi. Kalau cuma merelokasi orang, semua juga bisa. Sediakan truk, kapal, lahan di sebelah sana, satpol PP, giring mereka, lempar di sana selesai! Tapi relokasi bukan membuang kucing dalam karung.
Program relokasi memerlukan persiapan yang sangat matang dan terperinci. Departemen Transmigrasi pada zamannya Pak Harto dulu, yang sudah begitu canggihnya, pun tidak selalu berhasil merelokasi transmigran, apalagi kalau relokasi asal buang saja. Sementara orang Syiah itu bagaimanapun tetap WNI yang punya kebun dan ternak di desa mereka, anakanak mereka sekolah di sana, ibu-ibunya ke pasar di sana (pasar di desa adalah pranata sosial tersendiri dengan jaringan sosial sendiri juga, tidak seperti mal di Jakarta).
Neil Smelser,seorang sosiolog dari Harvard yang teorinya tentang collective behavior (1963) banyak dikutip di lingkungan pakar psikologi sosial, mengemukakan bahwa dalam perilaku kolektif (termasuk perilaku massa),ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) structural conduciveness–kemudahan yang memungkinkan untuk melakukan perbuatan termaksud (misalnya lokasi yang berdekatan, ada sarana komunikasi, dll), (2) structural strain–ada sesuatu yang dirasakan ganjil,tidak adil,tidak sesuai dengan perasaan masyarakat,( 3) generalized belief – bagaimana para pelaku memahami problem yang sedang terjadi,(4) precipitating factors–faktor pemicu yang memantik api kejengkelan, (5) mobilization for action – ada yang mengorganisasi/memobilisasi massa (dalam bahasa intelnya: “provokator”), dan (6) failure of social control – kegagalan otoritas (pemerintah, aparat, manajemen) mengendalikan situasi.
Kalau kita terapkan teori Smelser ini ke kasus Sampang (dan semua kasus rusuh massa yang lain seperti Mesuji, pilkada), semuanya pasti pas (seperti mau mengisi bensin di pom). Sejauh yang bisa saya telusuri dari berbagai sumber, Tajul Muluk adalah anak Kiai Makmun, tokoh Islam di Sampang. Karena kagum pada Ayatullah Khomeini yang memenangi Revolusi Iran di tahun 1980-an, Kiai Makmun mengirimkan keempat anaknya (termasuk Tajul) ke pesantren Syiah di Bangil,Pasuruan.
Tajul kemudian melanjutkan pendidikannya ke Arab Saudi, dan sekembalinya dia mendirikan pesantren Syiah, Misbahul Huda, di Desa Nangkernang, Kabupaten Sampang. Protes pertama mulai muncul di tahun 2006 oleh para ulama lokal. Mulai ada yang terasa tidak nyaman (strain) di kalangan muslim lokal yang mayoritas Sunni, khususnya NU.Dalam acara Maulud Nabi 2007 yang dihadiri ribuan umat lokal, kelompok Tajul mulai disebut sebagai “aliran sesat”.
Tiga unsur sekaligus sudah ada di sini, yaitu conduciveness (sejak reformasi, seluruh NKRI memang kondusif untuk kerusuhan, termasuk Sampang), generalized belief (aliran sesat), dan mobilzation for action (pengerahan massa). Kemudian pada 2009, Roisul, saudara kandung Tajul, berbalik jadi Sunni lagi. Tajul bilang itu gara-gara Roisul dendam soal cewek, sedangkan Roisul mengklaim dakwah Tajul sesat.
Konflik antara dua bersaudara ini sudah didamaikan oleh MUI lokal, tetapi Tajul menolak menandatangani persetujuan untuk tidak berdakwah. Desember 2011, terjadilah tragedi Sampang jilid I. Rumah Tajul dan saudaranya, Iklil, dibakar, begitu juga beberapa bangunan rumah, madrasah, dan musala. Pasalnya, kendali pemerintah dan pranata masyarakat sangat lemah.
Malah Menteri Agama, gubernur, bupati, dan mungkin juga sebagian anggota kepolisian lokal ikut-ikutan menstigma aliran Syiah ini sesat dan kalau sudah sesat, sikat! Jelaslah sudah terjadi failure of social control . Kalau sudah begini, apa pun bisa menjadi precipitating factors. Omongan Menteri Agama, yang lebih dari 1.000 km jauhnya dari Jakarta, bisa menjadi pemantik keresahan dan pemicu kerusuhan juga.
Jadi kalau mau damai di Sampang, nggak bisa itu sambil kongko-kongko atau dialogdialog (DPR yang tiap hari dialog pun sering gak konek). Upaya tidak bisa dimulai dari masyarakat, tetapi harus tuntas (dituntun dari atas) dari pemerintah. Pemerintah harus berpegang pada UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,serta NKRI dalam arti yang konkret.
Misalnya, pemerintah tidak boleh memihak siapasiapa sepanjang semuanya adalah WNI. Kristen, Syiah, Ahmadiyah, Ambon, Madura, Dayak, Papua, semua sama, semua WNI. Kedua, pemerintah harus punya social control yang sangat-sangat (sengaja diulang) kuat. Misalnya, kalau ada yang mau mengeroyok dan membacok orang lain dan tidak mau dicegah, tembak saja.
Tentu saja ditembak kakinya, tapi kalau peluru nyasar ke kepalanya, apa boleh buat, daripada membiarkan orang yang tak berdosa tewas. Kalau itu semua belum bisa dilakukan, berhentilah ngomong tentang dialog yang nggak penting itu, biar saya nggak emosi. ●
Kesimpulannya, ini bukan konflik antarsekte Syiah lawan Sunni. Ini kriminal murni. Hanya buntut dari percekcokan kakak beradik Tajul Muluk (pimpinan Syiah lokal) dengan Roisul (Sunni) dan jalan keluarnya duduk bersama serta dialog. Kalau tidak, ya umat Syiah direlokasi (ditransmigrasikan) saja. Waduh, gawat. Kalau pengelola negara dari yang paling top sampai akar rumput cara berpikirnya seperti itu,saya jamin masalah ini akan berlarutlarut.
Di Jakarta para penganut Syiah sudah berkumpul dan disiarkan di media massa. Tentu ini akan menambah asam-garamnya ketidaksukaan kepada Syiah di kalangan mayoritas muslim Indonesia yang umumnya penganut Sunni (ahlussunnah wal jamaah).Tapi kalau sampai terjadi umat Syiah di Indonesia dizalimi, saudara-saudaranya sesama Syiah di Iran, misalnya, tidak akan tinggal diam.
Perang terbuka antara penganut Syiah dan Sunni sudah terjadi di Irak dan Suriah,bukan tidak mungkin bisa terjadi juga di Indonesia. Padahal untuk urusan agama (agama apa saja),orang siap mati kapan saja. Dalam Sunni ada jihad, di Syiah pun ada, bahkan dalam peristiwa Cikeusik,kaum Ahmadiyah tewas akibat mempertahankan agamanya. Mereka pun berjihad dalam versi mereka. Lain daripada itu,dialog bukan hal yang gampang.
Bapakbapak pembesar itu mungkin membayangkan dialog seperti nongkrong di warung kopi sambil ngoceh ke sana-kemari atau yang lebih serius seminar di hotel dengan sajian makan siang sup buntut.Tidak seperti itu. Prasyarat untuk suatu dialog adalah dua-duanya secara mental siap untuk mendengar, menerima masukan, dan mengubah perilaku. Tanpa itu tidak mungkin. Jangankan dalam konflik Syiah-Sunni yang sudah berjalan ratusan tahun, dialog antara suami-istri saja belum tentu bisa terjadi.
Tiap kali mau dialog, yang ada cekcok, akhirnya malah cerai. Teman-teman dari Yayasan Titian Perdamaian, misalnya, membutuhkan tidak kurang dari 4 tahun untuk membangun dialog di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Saya tahu persis karena pernah diajak oleh ketuanya, Dr Ichsan Malik, dalam proses dialog di Ambon, Ternate, Tobelo, dan Galela.
Saya sendiri membutuhkan juga hampir 4 tahun untuk mengubah mantan pelaku teror bom sehingga mereka bisa menyelenggarakan perayaan 17 Agustus 2012 di Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan,lengkap dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan melafalkan Pancasila. Sebetulnya cukup membanggakan, tetapi jika dibandingkan dengan tenaga, pikiran, dan cucuran keringat dari tim saya, apalagi dana dari sponsor, sangat tidak seimbang.
Begitu sulitnya untuk membangun dialog sehingga saya suka emosi (hehehe...sabaar) kalau mendengar para pejabat dan pakar seenaknya ngomongsoal dialog,seakan-akan dialog adalah suatu jamu serbaguna yang bisa mengobati salah urat sampai lemah syahwat. Apalagi yang namanya relokasi. Walah, lebih gila lagi. Kalau cuma merelokasi orang, semua juga bisa. Sediakan truk, kapal, lahan di sebelah sana, satpol PP, giring mereka, lempar di sana selesai! Tapi relokasi bukan membuang kucing dalam karung.
Program relokasi memerlukan persiapan yang sangat matang dan terperinci. Departemen Transmigrasi pada zamannya Pak Harto dulu, yang sudah begitu canggihnya, pun tidak selalu berhasil merelokasi transmigran, apalagi kalau relokasi asal buang saja. Sementara orang Syiah itu bagaimanapun tetap WNI yang punya kebun dan ternak di desa mereka, anakanak mereka sekolah di sana, ibu-ibunya ke pasar di sana (pasar di desa adalah pranata sosial tersendiri dengan jaringan sosial sendiri juga, tidak seperti mal di Jakarta).
Neil Smelser,seorang sosiolog dari Harvard yang teorinya tentang collective behavior (1963) banyak dikutip di lingkungan pakar psikologi sosial, mengemukakan bahwa dalam perilaku kolektif (termasuk perilaku massa),ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) structural conduciveness–kemudahan yang memungkinkan untuk melakukan perbuatan termaksud (misalnya lokasi yang berdekatan, ada sarana komunikasi, dll), (2) structural strain–ada sesuatu yang dirasakan ganjil,tidak adil,tidak sesuai dengan perasaan masyarakat,( 3) generalized belief – bagaimana para pelaku memahami problem yang sedang terjadi,(4) precipitating factors–faktor pemicu yang memantik api kejengkelan, (5) mobilization for action – ada yang mengorganisasi/memobilisasi massa (dalam bahasa intelnya: “provokator”), dan (6) failure of social control – kegagalan otoritas (pemerintah, aparat, manajemen) mengendalikan situasi.
Kalau kita terapkan teori Smelser ini ke kasus Sampang (dan semua kasus rusuh massa yang lain seperti Mesuji, pilkada), semuanya pasti pas (seperti mau mengisi bensin di pom). Sejauh yang bisa saya telusuri dari berbagai sumber, Tajul Muluk adalah anak Kiai Makmun, tokoh Islam di Sampang. Karena kagum pada Ayatullah Khomeini yang memenangi Revolusi Iran di tahun 1980-an, Kiai Makmun mengirimkan keempat anaknya (termasuk Tajul) ke pesantren Syiah di Bangil,Pasuruan.
Tajul kemudian melanjutkan pendidikannya ke Arab Saudi, dan sekembalinya dia mendirikan pesantren Syiah, Misbahul Huda, di Desa Nangkernang, Kabupaten Sampang. Protes pertama mulai muncul di tahun 2006 oleh para ulama lokal. Mulai ada yang terasa tidak nyaman (strain) di kalangan muslim lokal yang mayoritas Sunni, khususnya NU.Dalam acara Maulud Nabi 2007 yang dihadiri ribuan umat lokal, kelompok Tajul mulai disebut sebagai “aliran sesat”.
Tiga unsur sekaligus sudah ada di sini, yaitu conduciveness (sejak reformasi, seluruh NKRI memang kondusif untuk kerusuhan, termasuk Sampang), generalized belief (aliran sesat), dan mobilzation for action (pengerahan massa). Kemudian pada 2009, Roisul, saudara kandung Tajul, berbalik jadi Sunni lagi. Tajul bilang itu gara-gara Roisul dendam soal cewek, sedangkan Roisul mengklaim dakwah Tajul sesat.
Konflik antara dua bersaudara ini sudah didamaikan oleh MUI lokal, tetapi Tajul menolak menandatangani persetujuan untuk tidak berdakwah. Desember 2011, terjadilah tragedi Sampang jilid I. Rumah Tajul dan saudaranya, Iklil, dibakar, begitu juga beberapa bangunan rumah, madrasah, dan musala. Pasalnya, kendali pemerintah dan pranata masyarakat sangat lemah.
Malah Menteri Agama, gubernur, bupati, dan mungkin juga sebagian anggota kepolisian lokal ikut-ikutan menstigma aliran Syiah ini sesat dan kalau sudah sesat, sikat! Jelaslah sudah terjadi failure of social control . Kalau sudah begini, apa pun bisa menjadi precipitating factors. Omongan Menteri Agama, yang lebih dari 1.000 km jauhnya dari Jakarta, bisa menjadi pemantik keresahan dan pemicu kerusuhan juga.
Jadi kalau mau damai di Sampang, nggak bisa itu sambil kongko-kongko atau dialogdialog (DPR yang tiap hari dialog pun sering gak konek). Upaya tidak bisa dimulai dari masyarakat, tetapi harus tuntas (dituntun dari atas) dari pemerintah. Pemerintah harus berpegang pada UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,serta NKRI dalam arti yang konkret.
Misalnya, pemerintah tidak boleh memihak siapasiapa sepanjang semuanya adalah WNI. Kristen, Syiah, Ahmadiyah, Ambon, Madura, Dayak, Papua, semua sama, semua WNI. Kedua, pemerintah harus punya social control yang sangat-sangat (sengaja diulang) kuat. Misalnya, kalau ada yang mau mengeroyok dan membacok orang lain dan tidak mau dicegah, tembak saja.
Tentu saja ditembak kakinya, tapi kalau peluru nyasar ke kepalanya, apa boleh buat, daripada membiarkan orang yang tak berdosa tewas. Kalau itu semua belum bisa dilakukan, berhentilah ngomong tentang dialog yang nggak penting itu, biar saya nggak emosi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar