Selasa, 11 September 2012

Pilwali yang Tersandung Batu


Pilwali yang Tersandung Batu
Abd Sidiq Notonegoro ;  Anggota Panwas Pilkada 2010 Kab Gresik
dan Dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik 
JAWA POS, 11 September 2012


SEBAGAI orang yang pernah beberapa kali terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, saya sangat trenyuh menyaksikan "penderitaan" KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) dan Panwas Pilkada (Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah) Kota Batu. Betapa tidak, di tengah kebutuhan KPU dan panwas kian meningkat seiring dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Batu yang semakin dekat, justru anggaran yang hanya bersumber dari APBD dihentikan oleh Pemkot Batu.

Tak ayal, KPUD dan panwas pilkada pun limbung, seperti tersandung batu. Padahal, sesuai dengan tahap pelaksanaan pilkada, pemungutan suara bakal digelar pada Oktober 2012. Tetapi, hingga saat ini kertas surat suara belum dapat dicetak karena anggaran yang dibutuhkan untuk itu belum tersedia meski saat ini KPUD masih mengantongi dana Rp 1,5 miliar yang hanya cukup untuk membayar honor PPK, PPS, KPPS, serta pengadaan sarana coblosan.

Terkait dengan masalah itu, beberapa pihak -yang di antaranya anggota KPU Batu sendiri- menduga bahwa penghentian suntikan dana untuk pilkada tersebut memiliki kaitan dengan keputusan KPUD tidak meloloskan pasangan Eddy Rumpoko dan Punjul Santoso dalam verifikasi pemilihan wali kota Batu. Padahal, Eddy Rumpoko, yang diusung PDIP, adalah wali kota incumbent. 

Sebagaimana diketahui, berdasar Surat Keputusan KPU Batu No 270/188/KPU Kota 014.329951/VIII/2012 bertanggal 7 Agustus 2012 tentang Hasil Penelitian Ulang Surat Pencalonan Beserta Lampirannya untuk Pemilukada Kota Batu serta surat keputusan KPU Batu berupa Berita Acara No 270/75/BA/VIII/2012 tanggal 7 Agustus 2012 tentang Penetapan Pasangan Calon yang Memenuhi Syarat sebagai Peserta Pemilukada dan Wakil Kepala Daerah Kota Batu 2012, KPU Batu tidak meloloskan Eddy Rumpoko ke proses selanjutnya. Sebab, Eddy dinilai tidak dapat menunjukkan ijazah SMP sebagai syarat administratif.

Karena itu, ada kesan bahwa penghentian anggaran pilkada itu merupakan bentuk "balas dendam" Wali Kota Batu Eddy Rumpoko kepada KPUD ataupun panwas pilkada. Komisi A dan Komisi B DPRD Kota Batu yang merekomendasi kalangan eksekutif (Pemkot Batu) untuk tidak mencairkan dana pilkada tahap kedua sampai KPUD menyelesaikan surat pertanggungjawaban (SPj) pencairan dana pilkada tahap pertama. Suatu rekomendasi yang patut dicurigai motifnya karena tahap pilkada belum selesai seluruhnya.

Benar atau tidaknya ada motif politik di balik rekomendasi tersebut, yang jelas DPRD Kota Batu berargumen bahwa apa yang dilakukan terhadap penyelenggara pilkada tidak menyalahi aturan karena mengacu pada fungsi lembaga legislatif dalam bidang legislasi, pengawasan, dan budgeting. Di sisi lain, KPUD memakai dasar Permendagri 44/2007 tentang Pengelolaan Keuangan dan Permendagri 57/2009 tentang Hibah Anggaran Pilkada. Dengan begitu, dalam kacamata KPUD, SPj merupakan kewenangan BPK.

Lebih dari itu, berdasar ketentuan pasal 28 Permendagri No 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pilkada, penyampaian laporan pertanggungjawaban penggunaan belanja hibah pilkada dilakukan paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya seluruh tahap penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Lepas dari argumentasi mana yang benar, terancamnya kelancaran pilkada di Kota Batu itu memantik reaksi masyarakat dan sudah selayaknya harus mendapat perhatian semua pihak yang peduli dengan politik demokratis. Sebagaimana diberitakan Jawa Pos (5 September 2012), sejumlah warga Batu yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Demokrasi (AMD) melakukan aksi pengumpulan dana dari masyarakat untuk sedikit membantu kebutuhan penyelenggara pilkada sekaligus sebagai kritik kepada Pemkot Batu, yang dinilai telah menghambat kelancaran pilkada dengan cara menyandera dana KPUD dan panwas pilkada. Bertempat di Alun-Alun Kota Batu, AMD melakukan aksi Penggalangan Koin Peduli Pilkada. Dari aksi itu, berhasil digalang dana dari pengguna jalan sebesar Rp 818.800. Yang Rp 400.000 diserahkan ke panwaslu dan sisanya ke KPU.

Munculnya aksi Penggalangan Koin Peduli Pilkada oleh sejumlah warga Batu di satu sisi patut kita sambut gembira. Kegembiraan itu tidak punya kaitan dengan nominal rupiah yang sudah berhasil dikumpulkan, melainkan merupakan simbolisasi kesadaran masyarakat Batu yang resah bila pilkada terancam batal atau ditunda. Penggalangan dana tidak lebih dari aksi simbolis untuk mengetuk nurani eksekutif (wali kota) maupun legislatif (DPRD) agar tidak menyandera dana pilwali Batu dengan berbagai alasan yang tidak logis (meskipun seakan-akan dibenarkan oleh hukum). 

Di sisi lain, aksi sejumlah warga itu juga memantik rasa prihatin dengan fenomena "mengemis uang recehan" demi sekadar membiayai perhelatan demokrasi semacam itu. Apa pun argumentasinya, penyanderaan dana pilkada berpotensi mengganggu kelangsungan proses demokrasi politik yang beradab (khususnya) di Kota Batu. 

Ke depan, perlu ada ketegasan dan kejelasan pertanggungjawaban terhadap anggaran pilkada. Idealnya, KPUD dan panwas memang cukup bertanggung jawab kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saja sebagai institusi yang memiliki otoritas melakukan audit pertanggungjawaban penggunaan anggaran pilkada. Mengapa? Keterlibatan legislatif maupun eksekutif daerah dalam pengawasan dan pengontrolan anggaran pilkada berpotensi mengancam independensi KPUD dan panwas sebagai penyelenggara pemilu/pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar