Ini soal Tenun Kebangsaan. Titik!
Anies Baswedan ; Rektor
Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
11 September 2012
Republik ini tidak dirancang
untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini
dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!
Tak penting jumlahnya, tak
penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat
ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam
bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar
janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara
sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu
berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana.
Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan mayoritas
dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan
minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lainnya.
Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak
bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan!
Tenun kebangsaan itu
dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya
terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa
ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas loyo-lunglai menghadapi
warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan
perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum,
tetapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius
ini.
Mereka bukan cuma kriminal,
mereka perobek tenun kebangsaan. Tenun kebangsaan itu dirajut dengan amat berat
dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini
amat bineka. Kebinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua
sudah paham. Kebinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah! Tenun kebangsaan
ini dirajut dari kebinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis
yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat
menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun ini pun belum selesai. Ada proses
terus-menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar-unsur yang berjalan amat
dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa
berikutnya.
Warga Negara,
Penganut Agama
Dalam beberapa kekerasan
belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan ”warga
negara” dan ”penganut sebuah agama”. Perbedaan aliran atau keyakinan tak
dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan, bahkan ribuan tahun dan
ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus dan belum ada tanda
akan selesai minggu depan. Jadi, di satu sisi, negara tak perlu berpretensi
akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan
bisa saja berbeda tetapi semua warga negara republik sama. Konsekuensinya,
seluruh tindakan mereka dibatasi aturan dan hukum republik yang sama. Di sini
negara bisa berperan.
Negara memang tak bisa
mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Namun, negara sangat
bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi, dialog antar-pemikiran, aliran
atau keyakinan setajam apa pun boleh, begitu berubah jadi kekerasan, maka
pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya. Negara jangan mencampuradukkan
friksi/konflik antarpenganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antarwarga
senegara.
Dalam
menegakkan hukum, negara harus melihat semua pihak semata sebagai warga negara
dan hanya berpihak pada aturan. Aparat keamanan harus hadir melindungi
”warga-negara” bukan melindungi ”pengikut” keyakinan/ajaran tertentu.
Begitu pula jika ada kekerasan, aparat hadir untuk menangkap ”warga-negara”
pelaku kekerasan, bukan menangkap ”pengikut” keyakinan yang melakukan
kekerasan.
Menjaga tenun kebangsaan
dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan
perlu. Di sini pendidikan berperan penting. Namun, itu semua tak cukup dan
takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap
perobeknya. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau ”bertarung”
menghadapi para perobek itu. Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya
mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah bahwa bangsa ini gagah
memesona saat mendirikan negara bineka tetapi lunglai saat mempertahankan
negara bineka.
Membiarkan kekerasan adalah
pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami,
dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling
mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap
robekan di tenun kebangsaan efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang
robek hampir pasti tak bisa memulihkannya. Tenun yang robek selalu ada bekas,
selalu ada cacat.
Ada seribu satu pelanggaran
hukum di Republik ini, tetapi gejala merebaknya kekerasan dan perobekan tenun
kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk menyejahterakan bangsa semua orang
boleh ”turun-tangan”, tetapi menegakkan hukum hanya aparat yang boleh
”turun-tangan”. Penegak hukum dibekali senjata tujuannya bukan untuk tampil
gagah saat upacara, melainkan untuk melindungi warga negara saat menegakkan
hukum. Negara harus berani dan menang ”bertarung” melawan para perobek. Saat
tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tetapi tak ada
kebebasan melakukan kekerasan.
Aturan hukumnya ada, aparat
penegaknya komplet. Jadi, begitu ada warga negara yang pilih melanggar dan
meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, sikap negara hanya
satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma
tokoh-tokohnya yang dihukum. Setiap gelintir orang yang terlibat dihukum tanpa
pandang agama, etnis, atau partai. Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah
coba-coba merobek tenun kebangsaan! Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun
kebangsaan membuat setiap orang sadar, memilih kekerasan sama dengan memilih
diganjar dengan hukuman menjerakan. Ada kepastian konsekuensi.
Ingat,
Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan negara yang bineka.
Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat
kebinekaan itu secara tanpa syarat. Biarkan kita semua—dan
kelak anak cucu kita—bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para
pemberani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar