Pankaj Mishra
Karim Raslan ; Kolumnis
INILAH.COM
|
INILAH.COM,
30 Agustus 2012
Pada 1990-an banyak pemimpin
Asia Tenggara - terutama Lee Kuan Yew dan Dr. Mahathir Mohamad yang terobsesi
dengan ide ‘Asian Values’ – pemikiran unggul yang sepenuhnya terpisah dari
prinsip-prinsip sosial politik dan budaya.
Sebagai seorang yang tidak
menyokong konsep ‘Asian Values’, saya harus mengakui bahwa pertama membaca buku
terbaru Pankaj Mishra ini, perasaan saya diliputi kegentaran.
Untungnya, From
the Ruins of Empire: The Revolt Againts the West and the Remaking of Asia benar-benar menarik dan berbeda.
Catatan Pankaj tentang pergantian
abad masa intelektual Asia dibuka dengan catatan kejutan kemenangan Jepang atas
kedigdayaan Rusia pada pertempuran Tsushima, Mei 1905.
Dia memproses penjelasan secara
bertahap tentang kejadian yang mampu menggambleng dan menginspirasi sejumlah
pemikir dan aktivis Asia.
Setelah lebih dari satu abad atas
dominasi Eropa, sejumlah orang seperti di antaranya Jamal Al-Din Al-Afghani
–seorang warga pan-Islamis kelahiran Iran, Liang Qichao dari Cina, dan peraih
Nobel Laureate Rabindranath Tagore (yang menjadi tokoh protagonis di buku
Pankaj), merasa kewalahan atas gempuran kegagalan dan penghinaan ketamadunan.
Bagi mereka dan sebagian orang
seperti Sun Yat Sen, Ataturk (yang lebih dikenal dengan Mustapha Kemal) dan
Nehru – Tsushima membawa harapan. Kemenangan mengizinkan mereka untuk
menggambarkan orang-orangnya yang cakap dan mampu jika mereka ingin memulai
(seperti orang Jepang) perjalanan politik dan perubahan ekonomi.
Menariknya, di era jauh sebelum
adanya demokrasi besar-besaran, tiga orang terseut telah mengenali bahwa
kepemimpinan yang mencerahkan (bahkan mungkin yang bengis) adalah sangat
penting untuk mencapai perubahan sosial yang tangguh demi mengusir orang Eropa.
Dilahirkan di Uttar Pradesh dan
dilatih di Allahabad, Pankaj Mishra telah menghasilkan buku yang luar biasa dan
patut diperhatikan. Buku ini pada dasarnya adalah sebuah norma budaya ketimuran
dari pemikiran politik – yang menghubungkan tokoh dan ide-ide dari India, Cina,
dan Arab/Muslim.
Dalam bukunya, Pankaj
mengungkapkan bagaimana tanggapan mereka terhadap cacat aib kolonialisme yang
membentuk masa depan negara-negara mereka, duo Sukarno dan Hatta telah
menonjolkan generasi kedua pemimpin dan aktivis independen, sekaligus
menghasilkan kesimpulan akhir pesona Tsushima.
Pankaj memberikan kesamaan khusus
dengan subyeknya. Tumbuh bersama membaca karya pengkritik Amerika Edmund
Wilson, Pankaj membentuk dirinya sebagai seorang yang percaya pada kekuatan ide
dan ini sebagai komitmennya terhadap intelektualisme yang mendorong cerita.
Terlebih lagi, sebagai seorang
penulis yang telah banyak merantau, tulisan Pankaj memiliki resonansi
kontemporer tertentu. Dia menelusuri gulungan ide, seperti pertumbuhan
Wahabisme dan pembaurannya bersama pengalaman seorang Mesir yang masyhur; Hassan
al-Banna dan Sayyid Qutb – sebuah proses yang dipimpin oleh arus globalisasi
dari pemikiran-pemikiran Wahabi.
Pada saat yang sama, tiga orang
tokoh protagonis di dalam buku telah sadar bahwa adopsi buta dari budaya barat
akan merampas Asia dari budaya warisan leluhur dan menjadikan sisi buruk yang
dimiliki negara Barat perlahan masuk ke dalamnya.
Tiap-tiap tokoh meminta
masyarakat mereka tak hanya untuk membekali diri terhadap pemikiran dan
keilmuan modern, tetapi juga kepercayaan diri terhadap budaya yang lebih
tinggi.
Namun ketiga tokoh itu telah
dikecewakan. Ketika mereka mencari untuk menemukan kompromi antara Timur dan
Barat yang dapat diterima, mereka tidak berumur panjang untuk melihat ide-ide
yang mereka cetuskan tercapai, namun atas sifat yang tak mudah menyerah,
membuat pencapaian yang ada sebagai pengorbanan terbesar mereka.
Al-afghani, bapak politik Islam,
tinggal pada masa ketika penemuan-penemuan baru giat bergerak. Meninggal pada
masa ketidakjelasan, hari terakhir “Scarlet Pimpernel” nya telah membuatnya
menyesal atas fokusnya terhadap elit tradisional Muslim, banyak dari mereka
justru mengabaikan permintaannya demi kebangkitan pan-Islam.
Liang, seorang yang dijadikan
lelaki yang paling dicari oleh dinasti Cina-Qing karena aktifitas reformasinya,
menghembuskan kekecewaannya atas konservatif konghucu dengan menyatakan bahwa
“......orang Cina mulai sekarang hingga seterusnya harus menerima aturan
penguasa; mereka tidak dapat menikmati kebebasan.”
Bahkan permintaan Tagore kepada
Asia untuk terus menjaga kebudayaannya telah ditolak keras oleh revolusioner
yang mulai muncul seperti Mao Zedong muda, ini seperti sebuah pendahuluan untuk
Revolusi Budaya yang desktruktif.
Kegagalan mereka adalah
peringatan untuk pemimpin-pemimpin Asia saat ini. Sebagaimana Pankaj nyatakan,
Cina dan India telah mengambil tanpa berpikir ajaran-ajaran kapitalisme global
“.....kelihatan seperti diatur untuk membuat penampungan untuk membendung
amarah dan kekecewaan di antara ratusa juta orang miskin.”
Buku Pankaj bukan bentuk pujian
sederhana untuk “Asian Values”. Dia memperingatkan bahwa kita sebagai orang
Asia seharusnya tidak menertawakan kemunduran Barat dan menyombongkan diri atas
kemakmuran kita.
Sebaliknya, kegagalan golongan
elit kita untuk menempa “...meyakinkan respon universalis.....kepada ide
politik dan ekonomi Barat, meskipun yang terakhir terlihat semakin parah dan
berbahaya bagi bagian terbesar dunia” menghukum kita untuk mengulangi kesalahan
negara Barat.
Buku ini adalah buku profetik
yang tidak bisa diabaikan oleh Asia yang sedang bergerak maju. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar