Minggu, 02 September 2012

Pankaj Mishra


Pankaj Mishra
Karim Raslan ;  Kolumnis INILAH.COM
INILAH.COM, 30 Agustus 2012


Pada 1990-an banyak pemimpin Asia Tenggara - terutama Lee Kuan Yew dan Dr. Mahathir Mohamad yang terobsesi dengan ide ‘Asian Values’ – pemikiran unggul yang sepenuhnya terpisah dari prinsip-prinsip sosial politik dan budaya.

Sebagai seorang yang tidak menyokong konsep ‘Asian Values’, saya harus mengakui bahwa pertama membaca buku terbaru Pankaj Mishra ini, perasaan saya diliputi kegentaran.

Untungnya, From the Ruins of Empire: The Revolt Againts the West and the Remaking of Asia benar-benar menarik dan berbeda.

Catatan Pankaj tentang pergantian abad masa intelektual Asia dibuka dengan catatan kejutan kemenangan Jepang atas kedigdayaan Rusia pada pertempuran Tsushima, Mei 1905.

Dia memproses penjelasan secara bertahap tentang kejadian yang mampu menggambleng dan menginspirasi sejumlah pemikir dan aktivis Asia.

Setelah lebih dari satu abad atas dominasi Eropa, sejumlah orang seperti di antaranya Jamal Al-Din Al-Afghani –seorang warga pan-Islamis kelahiran Iran, Liang Qichao dari Cina, dan peraih Nobel Laureate Rabindranath Tagore (yang menjadi tokoh protagonis di buku Pankaj), merasa kewalahan atas gempuran kegagalan dan penghinaan ketamadunan.

Bagi mereka dan sebagian orang seperti Sun Yat Sen, Ataturk (yang lebih dikenal dengan Mustapha Kemal) dan Nehru – Tsushima membawa harapan. Kemenangan mengizinkan mereka untuk menggambarkan orang-orangnya yang cakap dan mampu jika mereka ingin memulai (seperti orang Jepang) perjalanan politik dan perubahan ekonomi.
Menariknya, di era jauh sebelum adanya demokrasi besar-besaran, tiga orang terseut telah mengenali bahwa kepemimpinan yang mencerahkan (bahkan mungkin yang bengis) adalah sangat penting untuk mencapai perubahan sosial yang tangguh demi mengusir orang Eropa.

Dilahirkan di Uttar Pradesh dan dilatih di Allahabad, Pankaj Mishra telah menghasilkan buku yang luar biasa dan patut diperhatikan. Buku ini pada dasarnya adalah sebuah norma budaya ketimuran dari pemikiran politik – yang menghubungkan tokoh dan ide-ide dari India, Cina, dan Arab/Muslim.

Dalam bukunya, Pankaj mengungkapkan bagaimana tanggapan mereka terhadap cacat aib kolonialisme yang membentuk masa depan negara-negara mereka, duo Sukarno dan Hatta telah menonjolkan generasi kedua pemimpin dan aktivis independen, sekaligus menghasilkan kesimpulan akhir pesona Tsushima.

Pankaj memberikan kesamaan khusus dengan subyeknya. Tumbuh bersama membaca karya pengkritik Amerika Edmund Wilson, Pankaj membentuk dirinya sebagai seorang yang percaya pada kekuatan ide dan ini sebagai komitmennya terhadap intelektualisme yang mendorong cerita.

Terlebih lagi, sebagai seorang penulis yang telah banyak merantau, tulisan Pankaj memiliki resonansi kontemporer tertentu. Dia menelusuri gulungan ide, seperti pertumbuhan Wahabisme dan pembaurannya bersama pengalaman seorang Mesir yang masyhur; Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb – sebuah proses yang dipimpin oleh arus globalisasi dari pemikiran-pemikiran Wahabi.

Pada saat yang sama, tiga orang tokoh protagonis di dalam buku telah sadar bahwa adopsi buta dari budaya barat akan merampas Asia dari budaya warisan leluhur dan menjadikan sisi buruk yang dimiliki negara Barat perlahan masuk ke dalamnya.

Tiap-tiap tokoh meminta masyarakat mereka tak hanya untuk membekali diri terhadap pemikiran dan keilmuan modern, tetapi juga kepercayaan diri terhadap budaya yang lebih tinggi.

Namun ketiga tokoh itu telah dikecewakan. Ketika mereka mencari untuk menemukan kompromi antara Timur dan Barat yang dapat diterima, mereka tidak berumur panjang untuk melihat ide-ide yang mereka cetuskan tercapai, namun atas sifat yang tak mudah menyerah, membuat pencapaian yang ada sebagai pengorbanan terbesar mereka.

Al-afghani, bapak politik Islam, tinggal pada masa ketika penemuan-penemuan baru giat bergerak. Meninggal pada masa ketidakjelasan, hari terakhir “Scarlet Pimpernel” nya telah membuatnya menyesal atas fokusnya terhadap elit tradisional Muslim, banyak dari mereka justru mengabaikan permintaannya demi kebangkitan pan-Islam.

Liang, seorang yang dijadikan lelaki yang paling dicari oleh dinasti Cina-Qing karena aktifitas reformasinya, menghembuskan kekecewaannya atas konservatif konghucu dengan menyatakan bahwa “......orang Cina mulai sekarang hingga seterusnya harus menerima aturan penguasa; mereka tidak dapat menikmati kebebasan.”

Bahkan permintaan Tagore kepada Asia untuk terus menjaga kebudayaannya telah ditolak keras oleh revolusioner yang mulai muncul seperti Mao Zedong muda, ini seperti sebuah pendahuluan untuk Revolusi Budaya yang desktruktif.

Kegagalan mereka adalah peringatan untuk pemimpin-pemimpin Asia saat ini. Sebagaimana Pankaj nyatakan, Cina dan India telah mengambil tanpa berpikir ajaran-ajaran kapitalisme global “.....kelihatan seperti diatur untuk membuat penampungan untuk membendung amarah dan kekecewaan di antara ratusa juta orang miskin.”

Buku Pankaj bukan bentuk pujian sederhana untuk “Asian Values”. Dia memperingatkan bahwa kita sebagai orang Asia seharusnya tidak menertawakan kemunduran Barat dan menyombongkan diri atas kemakmuran kita.

Sebaliknya, kegagalan golongan elit kita untuk menempa “...meyakinkan respon universalis.....kepada ide politik dan ekonomi Barat, meskipun yang terakhir terlihat semakin parah dan berbahaya bagi bagian terbesar dunia” menghukum kita untuk mengulangi kesalahan negara Barat.

Buku ini adalah buku profetik yang tidak bisa diabaikan oleh Asia yang sedang bergerak maju. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar