Minggu, 23 September 2012

Negara Terancam Bahaya


Negara Terancam Bahaya
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi 
SINDO, 22 September 2012


Rasanya, saat ini korupsi sudah mengancam keselamatan bangsa dan negara sehingga banyak teriakan agar segera diambil tindakan tegas dan keras terhadap para koruptor.
Korupsi sekarang banyak terjadi karena keserakahan (by greed), bukan lagi disebabkan keterpaksaan karena impitan ekonomi (by need). Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU awal pekan ini, misalnya, merekomendasikan agar koruptor dijatuhi hukuman mati. Untuk menyelamatkan bangsa dan negara, oleh konstitusi, kita memang diizinkan melakukan tindakan-tindakan darurat, bahkan kalau perlu dan terpaksa dengan cara mengabaikan aturan-aturan formal konstitusional.

Adagium klasik yang hampir menjadi dalil dalam penegakan konstitusi sampai saat ini berbunyi, “Salus Populi Supreme Lex”: keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum yang tertinggi. Secara ekstrem ada yang mengatakan, keselamatan bangsa dan negara menjadi hukum yang lebih tinggi daripada konstitusi sebab konstitusi sebenarnya bersumber dari keinginan membentuk, memelihara, dan menyelamatkan bangsa dan negara. Untuk konteks Indonesia, UUD 1945 menganut juga pandangan yang sama.

Tujuan negara yang sekaligus menjadi fungsi pemerintahan yang pertama dan utama, sebagaimana dinyatakan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tugas utama dalam penyelenggaraan negara adalah menjaga keutuhan bangsa dan negara dari perusakan dalam bentuk apa pun. Menurut Pasal 11 UUD 1945, untuk menjaga negara dari serangan fisik negara lain Presiden menyatakan perang dengan persetujuan DPR. Bahkan di dalam Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) ada istilah bahaya dan istilah kegentingan.

Di dalam Pasal 12 dinyatakan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya yang syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Adapun Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa jika terjadi kegentingan yang memaksa Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perppu).
Kedua keadaan, bahaya dan kegentingan, tersebut memberi wewenang kepada Presiden untuk melakukan langkah-langkah khusus, bahkan dengan cara yang tidak normal atau tidak standar, guna menyelamatkan bangsa dan negara.

Jika ada agresi atau ancaman fisik dari negara lain presiden dapat segera meminta persetujuan DPR, tanpa prosedur formal yang bertele-tele, untuk menyatakan dan memimpin perang agar bangsa dan negara bisa selamat. Jika terjadi kegentingan yang memaksa maka presiden dapat membuat perppu, satu bentuk peraturan perundang-undangan yang derajatnya setingkat dengan undang-undang, tetapi pembuatannya tidak harus dibahas lebih dulu dengan DPR seperti dalam keadaan normal.

Kalau kita merujuk ke Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) saja secara khusus tugas menyelamatkan dan menjaga keutuhan bangsa dan negara harus mengantisipasi atau menghadapi dua hal yang mengancam secara serius yakni “keadaan bahaya” dan ”keadaan genting”. Jika dua hal tersebut muncul maka demi “Salus populi supreme lex” negara harus melakukan langkah-langkah cepat dan khusus. Tujuannya agar bangsa dan negara selamat dan utuh. Pada saat ini ancaman yang tampak di depan mata kita bukanlah keadaan “bahaya” dan “kegentingan” seperti yang bisa dipahami dari ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Sekarang ini ada jenis ancaman bahaya dan kegentingan lain, yakni merajalelanya korupsi serta lemahnya penegakan hukum dan keadilan. Jika korupsi merajalela, hukum dan keadilan tidak tegak, dan negara tidak berdaya terhadapnya, maka ancaman kehancuran bagi bangsa dan negara menjadi nyata. Berdasarkan perjalanan sejarah bangsa-bangsa terdahulu, kehancuran suatu bangsa dan negara senantiasa terjadi pada negara dan bangsa yang pemerintahannya tidak mampu menegakkan hukum dan keadilan.

Kalau di dalam agama Islam ada hadis Nabi Muhammad Rasulullah yang intinya mengajarkan bahwa hancurnya bangsa-bangsa sebelum kita disebabkan, “Kalau ada orang kuat secara politik dan ekonomi melanggar hukum tidak diapa- apakan, sedangkan kalau ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman.” Itu adalah ketidakadilan. Makanya Ali ibn Abi Thalib yang kemudian dikutip oleh filosof politik Islam, Ibn Taymiah, mengelaborasi hadis tersebut dengan mengatakan, “
Akan jaya dan abadilah suatu negara yang diperintah dengan adil meskipun negara itu bukan negara kaum muslimin, dan akan hancurlah suatu negara yang diperintah dengan tidak adil (zalim), meskipun negara itu adalah negara orang-orang Islam.”

Dalam konteks ini kita harus memahami rekomendasi Munas dan Konbes Alim Ulama NU yang oleh PBNU dirilis awal pekan ini dari Cirebon bahwa “koruptor perlu dijatuhi hukuman mati.”
Ancaman bagi kelangsungan bangsa dan negara kita memang bukan hanya apa yang secara eksplisit tertuang di dalam Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yaitu “bahaya” dan “kegentingan”; melainkan ada yang lebih ganas dari itu yaitu korupsi sistemik. Kalau korupsi dan ketidakadilan terus merajalela, rakyat bisa apatis terhadap negara.

Kalau rakyat sudah apatis, tak peduli, dan tak percaya pada kemampuan negara untuk menegakkan keadilan dan memberantas korupsi, maka disintegrasi dan kehancuran bisa terjadi. Naudzubillaah min dzaalik, mari dukung negara ini memerangi korupsi dan ketidakadilan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar