Merenungkan
Krisis Air Global
Thomas Koten ; Direktur Social
Development Center
|
MEDIA
INDONESIA, 05 September 2012
BELAKANGAN ini menyeruak berita di media massa tentang sejumlah
daerah di Tanah Air yang dilanda kekeringan. Air sungai, bendungan, dan waduk
terus menyusut drastis. Akibatnya, irigasi ke lahan-lahan pertanian pun
menipis. Ujungnya, kecemasan dan penderitaan pun mengimpit masyarakat.
Jadi, jika dikerling secara lebih luas, masalah kekeringan yang
dialami masyarakat Indonesia sebenarnya dialami juga oleh masyarakat di banyak
negara di dunia. Kekeringan yang meluas pun telah melahirkan apa yang disebut
sebagai krisis air global. Karena itu, pada peringatan Hari Air Sedunia tahun
ini, yang digelar beberapa bulan lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (Food
and Agriculture Organization/ FAO) mengangkat tema Air dan ketahanan pangan.
Tema yang sangat penting itu hendak menunjukkan, pertama, ada
relasi yang saling terkait antara kebutuhan air dan pangan bagi kehidupan
manusia. Kedua, Bumi sesungguhnya sedang dilanda fenomena yang disebut krisis
air. Tema itu pun diambil dengan bertolak dari latar belakang fenomena
kekeringan yang terjadi secara meluas di berbagai belahan dunia, dengan Amerika
Serikat yang paling parah, terhitung dalam 50 tahun terakhir.
Untuk melihat secara lebih gamblang lagi, masalah krisis air di
Bumi ini dapat dikatakan cukup aneh, mengingat Bumi dicitrakan sebagai sebuah
satelit yang diselimuti air. Akan tetapi, ternyata 97,3% berupa air laut yang
tidak bisa dikonsumsi makhluk hidup dan hanya sekitar 3% yang berupa air tawar.
Terperinci lagi, air tawar yang tersedia di sungai, danau, dan air tanah untuk
dimanfaatkan manusia hanya 0,5%. Air tawar yang memadai untuk konsumsi hanya
0,003% (Jeffreis dan Mills, 1996).
Indonesia yang meski dicatat sebagai negara terkaya keempat di
dunia dilihat dari total sumber daya air yang terbarui setelah Brasil, Rusia,
dan Kanada, toh tatkala musim kering tiba, krisis air terjadi juga di banyak
daerah di Tanah Air, yang telah menimbulkan persoalan yang semakin serius.
Pemerintah pun kerap mengatakan selalu melakukan pendekatan, strategi, dan
teknologi guna mengatasi krisis air. Namun, ternyata terjadinya kekeringan yang
begitu parah dari tahun ke tahun menunjukkan pendekatan, strategi, dan
teknologi yang diaplikasikan selama ini tidak menyentuh esensi persoalan
kekeringan secara utuh.
Krisis air global
Krisis air yang kerap terjadi dengan
intensitas yang cukup mengkhawatirkan akan membuat bangsa ini ke depan semakin
sulit memperoleh air. Jumlah air yang bisa diperoleh per kepala akan menurun drastis pada masa-masa
yang akan datang. Padahal, realitas m menunjukkan kebutuhan air antarsektor
terus meningkat baik secara kuantitas, kualitas, maupun kontinuitasnya. Itu
sangat berpengaruh bagi semua aspek kehidupan manusia, bahkan makhluk hidup
lainnya, sebagai efek langsung dari krisis air itu.
Khususnya
bagi penguasa negeri ini, kekeringan dan krisis air yang terjadi setiap tahun
tidak bisa dianggap sepele. Sejarah mencatat dampak kekeringan yang
berkepanjangan pada 1965 dan 1997 telah memicu runtuhnya pilar kekuasaan
pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan
oleh penguasa saat itu. Fondasi kekuasaan yang dibangun kukuh seolah tidak
berdaya dan runtuh akibat kekeringan berkepanjangan dengan dampak krisis air
yang luar biasa besar.
Bangsa-bangsa di dunia pun tidak bisa menganggap sepele kekeringan
dengan berakibat langsung pada krisis air ini. Itu sudah lama pula diingatkan
para ahli. Prof John Beddington, Chief
Scientific Advisor untuk Pemerintahan Kerajaan Inggris, mengatakan
peningkatan jumlah populasi dunia akan menghasilkan dampak perfect storm
(bencana yang sempurna) berupa krisis pangan, energi, dan air pada 2030. Karena
pada saat itu, jumlah penghuni Bumi mencapai 8,3 miliar jiwa. Dia mengatakan
situasi tersebut jauh lebih parah dari krisis keuangan global yang kini dialami
merata di seluruh dunia.
Dalam perhitungan Bed dington, pakar bidang biologi populasi
terapan di Imparsial College, London, kebutuhan global yang demikian besar
terhadap air akan memunculkan krisis pada 2030 dengan dampak yang mengerikan.
Dia menghitung, dengan bertolak dari jumlah penghuni Bumi yang demikian besar,
kebutuhan pangan dan energi akan naik 50% pada 2030 dan kebutuhan air baku (fresh water) naik 30%. Maka, krisis air
terjadi secara menyebar alias mengglobal di Afrika, Eropa, dan Asia.
Krisis air juga sudah lama diperingatkan FAO. Karena itu, hampir
sekitar 20 tahun yang lalu, dalam peringatan Hari Pangan Sedunia, FAO
mengangkat pula tema Air untuk kehidupan dengan memberi penekanan pada
manajemen air secara global. Pertim bangan mereka ialah saat ini sudah hampir
500 juta orang mengalami kekurangan air, yang terjadi terutama di negara-negara
Afrika Utara, Timur, dan Selatan, serta negara-negara di Timur Tengah. Pada
2030 nanti, jumlah tersebut diproyeksikan akan meningkat menjadi sepuluh kali
lipat.
Buku Caring for the Earth: A
Strategy for Sustainable Li ving (IUCN, ANEP, WWF, 1991) menguraikan
penggunaan air selama tiga abad terakhir naik 35 kali lipat. Dari tahun ke
tahun, itu akan terus naik dengan kelipatan yang sangat signifi kan. Jika
penduduk dunia diproyeksikan akan menjadi 10 miliar jiwa pada 2050, dengan pola
penggunaan air yang seperti sekarang, suplai air pada tahun tersebut akan
menjadi sangat tidak memadai. Yang paling mengerikan terjadi pada 9 negara dari
14 negara di Timur Tengah. Populasi di negara-negara yang langka air itu meningkat
dua kali lipat selama 25 tahun, padahal tambahan suplai air tidak dimungkinkan
lagi.
Tidak mengherankan jika negara-negara di Timur Tengah seperti
Ethiopia, Sudan, dan Somalia ditakdirkan untuk menjadi negara-negara pengimpor
pangan dalam jumlah besar. Mereka harus mengompensasikan sejumlah devisa untuk
membayar ketergantungan terhadap negara lain dalam hal pangan. Sulit bagi
mereka menjadi maju seperti negara-negara lain di dunia jika kebutuhan pangan
dalam negeri kurang. Tidak berlebihan pula bila kelaparan selalu menghantui
negara-negara itu. Tentu keadaan tersebut berbeda dengan negara-negara lain di
Timur Tengah seperti Arab Saudi yang memperoleh devisa dari ekspor minyak
dengan alokasi berapa pun.
Bahan Renungan
Sulit dibayangkan jika krisis air terus
terjadi secara mengglobal. Ingat bahwa air merupakan determinan penting kelangsungan
kehidupan, dus menjadi faktor penentu tingkat kemakmuran, atau metafora kemakmuran
ekonomi. Karena itu, kemakmuran dan kesejahteraan akan terganggu jika kebutuhan
air terganggu.
Dalam
konteks global, hubungan antara air, produksi pangan, dan kelaparan seperti
yang telah digambarkan sungguh terlihat nyata. Adapun di Indonesia, krisis air
akibat ke keringan tidak jarang menimbulkan gagal panen karena puso sehingga
selalu mengundang implikasi hukum ‘besi’ pasar, kenaikan harga bahan pangan.
Sepintas, hukum itu akan berpihak kepada para produsen bahan pangan, seperti
petani dengan kompensasi kenaikan harga. Namun tragisnya, tidak hanya mengalami
kerugian besar karena banyak yang mengalami gagal panen, para petani tampaknya
seperti mengalami kerugian dobel karena kompensasi kenaikan harga itu hanya
dinikmati para tengkulak pangan. Itulah yang harus direnungkan sebagai efek
serius di balik krisis air.
Oleh karena krisis air tidak hanya terjadi nun jauh di Timur
Tengah, tetapi juga di negeri ini, dengan tingkat krisis yang semakin
memprihatinkan, membuat kebijakan penyelesaian persoalan kekeringan untuk
mencegah krisis air yang semakin parah harus segera dilakukan pemerintah kita,
tidak boleh lagi sekadar wacana penghias bibir.
Masyarakat pun harus digerakkan untuk lebih mencintai lingkungan
hidup dan merawat sumber air sambil membangun pola hidup hemat air. Lebih dari
itu, etika lingkungan harus dibangun dan dikembangkan. Mengelola sumber daya
alam dan sumber daya air dengan baik atas dasar etika lingkungan merupakan misi
kemanusiaan yang mulia. Jadilah manusia yang memuliakan alam dan menghormati
air sebagai sumber kehidupan setiap makhluk hidup di Bumi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar