Mendesak
Reformulasi Seleksi CPNS
Tasroh ; Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Japan
|
MEDIA
INDONESIA, 06 September 2012
PADA
8 September 2012 secara serentak pemerintah menggelar seleksi calon pegawai
negeri sipil (CPNS) melalui ujian tulis nasional. Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) menyebutkan
setidaknya ada 16 kementerian dan lembaga negara serta 143 pemerintah daerah
yang merekrut CPNS 2012 pada waktu bersamaan. Tercatat, tak kurang dari 1,8
juta pendaftar mengadu nasib berebut kursi CPNS dan jumlah tersebut meningkat
35% dari periode rekrutmen 2010. Itu akibat kebijakan moratorium CPNS yang
diberlakukan pemerintah pada 2011 sehingga selama satu tahun terjadi kevakuman
seleksi CPNS.
Ada
fenomena menarik dari hajatan seleksi CPNS 2012. Pertama, seleksi CPNS tahun
ini dipastikan menggunakan formula baru, yakni seleksi serentak secara
nasional. Langkah tersebut untuk mencegah status seleksi ganda seperti
masa-masa sebelumnya, banyak pelamar yang mengikuti lebih dari satu instansi
pemerintah/pemda dan semuanya lulus. Itu juga untuk mencegah dominasi beberapa
pelamar sehingga memperkecil pelamar lain lulus sebagai CPNS.
Kedua,
seleksi untuk formasi dan alokasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Artinya,
seleksi CPNS menggunakan sistem formasi jabatan dan beban kerja dengan tak ada
lagi seleksi CPNS sekadar mengisi formasi kosong. Formasi itu memang
benar-benar dibutuhkan untuk kepentingan pengembangan jabatan tertentu oleh
suatu instansi. Langkah tersebut mencegah hasil seleksi CPNS gebyah-uyah
(fungsional umum), yang selama berpuluh tahun mendominasi formasi jabatan PNS.
Itu
menunjukkan formulasi seleksi CPNS sudah definitif sehingga kemampuan,
keahlian, dan keterampilan CPNS diharapkan sudah diketahui sejak dini untuk
kebutuhan organisasi kini dan nanti. Ketiga, formulasi soal-soal tes seleksi
kini benar-benar independen. Pemerintah mei nyerahkan sepenuhnya proses seleksi
(model soal tes, jenis, dan ragam soal) kepada pihak ketiga secara kolaboratif,
yakni soal berasal dari sejumlah perguruan tinggi yang ditunjuk pemerintah dan
dikolaborasikan dengan pihak-pihak berkompeten lain (instansi pemerintah/ pemda
terkait). Kondisi tersebut membangun komunikasi dini yang komprehensif sesuai
dengan kebutuhan organisasi.
Reformulasi Seleksi
Sudah
menjadi rahasia umum, PNS Indonesia dikenal sebagai PNS minus kompetensi,
dedikasi, apalagi prestasi sehingga berdampak kepada kinerja jeblok di
mana-mana. Namun di sisi lain, mereka dikenal sebagai pekerjaan paling aman
lantaran amat kecil peluang dipecat atau lembaganya bubar seperti halnya
perusahaan swasta. Dus, menjadi PNS kian didamba banyak orang Indonesia karena,
seperti disebutkan pakar sosiologi pembangunan Imam B Prasojo, kerja ringan
dengan penghasilan berlimpah-limpah khususnya `pendapatan lain-lain' di luar
gaji resmi. Manusia mana yang tidak ingin kerja ringan tapi berpenghasilan
berlimpah?
Memang
secara sah-legal, pendapatan sebagai PNS sudah lama dikenal pula sebagai
pendapatan sistem PGPS (pinter goblok
podo sengsarane/pintar atau bodoh
sama sengsaranya), istilah turunan Orde Baru yang hingga kini masih
dibiarkan berkembang. Namun fakta di lapangan, berdasarkan riset LSM Fitra
(2012), jabatan PNS di Indonesia justru merupakan jabatan paling menggiurkan.
Pekerjaan PNS nyaris tanpa target kinerja yang ketat, bekerja sebagai PNS dapat
merangkap pekerjaan sampingan yang jumlahnya beragam dengan pendapatan wah.
Beberapa PNS dari sebagian instansi yang belakangan terbukti melakukan KKN
(kasus Gayus, Widyatmika, dll) menjadi pembenar tesis tersebut.
Hal
itu terjadi lantaran hingga kini pemerintah melalui lembaga terkait/berwenang
belum juga mau dan mampu mendesain sistem penggajian yang benar-benar
merefleksikan kinerja, dedikasi, prestasi, dan kedisiplinan PNS. Buktinya, dari
4,8 juta PNS, seperti disampaikan Badan Kepegawaian Negara (BKN), hanya 5% yang
berkompeten sebagai PNS.
Tragisnya,
meskipun sudah diketahui hanya 5% PNS yang memiliki kompetensi standar
pemerintah, pada saat bersamaan pemerintah justru tak mau (tak mampu?)
mendesain formulasi seleksi untuk tujuan dimaksud.
Jenis
soal, model soal, dan media seleksi dari tahun ke tahun belum banyak mengalami
perubahan mendasar. Lebih tragis lagi, sejak penerapan PP 48/2009 tentang
Pengangkatan CPNS dari unsur honorer, bahkan meskipun 2011 diklaim sebagai masa
moratorium seleksi CPNS, pemerintah justru merekrut CPNS tanpa seleksi ketat
karena hanya melalui uji loyalitas plus lobi kanan-kiri.
Sebanyak 920.702 tenaga honorer langsung menjadi CPNS plus sebanyak 53 ribu
CPNS dari unsur sekretaris desa. Pengangkatan tenaga honorer model `politik'
demikian tak hanya menggerus anggaran negara per tahun yang mencapai Rp29
triliun, tetapi juga terbukti kian memperparah kompetensi dan mutu kerja
aparatur pemerintahan di masa datang (Kompas, 24/8).
Bagaimana
mungkin pemerintah berkampanye hendak meningkatkan mutu kerja dan kinerja
aparatur negara/pemerintahan jika `bahan dasar' PNS tidak diseleksi dengan
standar yang ketat. Tidak ada sistem pengukuran kinerja setelah menjadi PNS
agar lebih kredibel dan menggambarkan kompetensi. PNS bersangkutan justru
dibiarkan masih mengikuti warisan model seleksi ala Orde Baru.
Pakar
manajemen pemerintahan dari Ritsumeikan
Asia Pacific University, Japan, Prof Maniavm, dalam Enhancing Public Official Performance (2008), menyebutkan ada dua
prasyarat wajib yang harus dilalui sebuah rezim/ pemerintahan jika hendak
membangun-meningkatkan kinerja dan prestasi aparatur negara/pemerintahannya.
Pertama,
sebelum menjadi PNS, mulai formulasi model hingga sistem seleksi yang ketat
dengan parameter pasti (pretest).
Kedua, setelah menjadi PNS (post-test).
Mulai
dari bahan dasarnya, pemerintah bisa merekrut sosok CPNS dengan model tes
berjenjang, yakni dimulai dari uji kemampuan intelektualakademis, ideologis,
sosial, psikologis, dan hukum/regulasi/kebijakan. Semua unsur itu, jika
diformulasikan secara tepat, tak hanya dapat memilih dan memilah CPNS ideal,
tetapi juga yang memiliki ideologi kenegaraan-kebangsaan yang solid plus
kemampuan intelektual yang paralel dengan kemampuan sosialnya.
Di
Jepang, masa uji coba sebagai CPNS selama tiga tahun benar-benar dimanfaatkan
untuk melakukan review menyeluruh atas kompetensi, dedikasi, dan militansi CPNS
sehingga PNS Jepang dikenal amat disiplin, jujur, dan profesional (Maniavm,
2008).
Penyakit
turunan PNS di Indonesia ialah ingin cepat kaya dengan kerja minim, berbisnis
jabatan, dan jauh dari kedisiplinan kerja. Padahal, 80% kinerja justru
ditentukan setelah mereka menjadi PNS. Rekrutmen nanti hendaknya menjadi
momentum menata kembali (reformulasi) seleksi CPNS untuk masa depan Indonesia
yang lebih bermutu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar