Kamis, 06 September 2012

Ketegasan Densus Vs Kenekatan Teroris


Ketegasan Densus Vs Kenekatan Teroris
Saharuddin Daming Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 06 September 2012


TERBONGKARNYA jaringan teroris di beberapa tempat oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri, di satu sisi, tentu merupakan prestasi besar yang perlu mendapat acungan jempol. Namun di balik prestasi spektakuler tersebut, kekhawatiran banyak orang tentang potensi serangan balik dan babak baru aksi pembalasan jaringan teroris terhadap simbol-simbol Barat ataupun instalasi publik lainnya sebagai target sasaran konvensional tampaknya tidak menghilang.

Dewasa ini pola serangan mereka mulai mengalami pergeseran, mulai modus operandi dan strategi penyerangan hingga target sasaran yang sebelumnya sarat dengan sentimen primordialisme. Kini itu berubah dengan motif yang lebih taktis dan politis.

Serangan mendadak jaringan teroris terhadap pos polisi Pasar Modern Singosaren, Surakarta, Jawa Tengah, yang menewaskan Brigadir Kepala (Bripka) Dwi Data Subekti (30/8), disusul tewasnya anggota Densus 88 Bripda Suherman dalam operasi penyergapan teroris (31/8) di Surakarta, mengingatkan kita pada aksi penyerangan Mapolsek Hampar Perak Deli Serdang, Sumatra Utara, pada 22 September 2010 dan aksi bom bunuh diri M Syarif dalam Masjid Adz Dzikra Mapolres Cirebon pada 15 April 2011.

Semua itu merupakan sinyal yang sangat kuat bagi kita bahwa Densus sudah mulai dianggap sebagai new enemy oleh jaringan terorisme. Terjadinya silang temu antara fenomena keberlanjutan dan serangan balas dendam jaringan teroris di Indonesia dengan strategi pendekatan Densus tak hanya dipicu ketidaksolidan dan ketidakprofesionalan jajaran Densus, tetapi juga karena kebijakan pola operasi yang diterapkan Densus selama ini cenderung pendekatan represif.

Berdampak Serius

Pola kebijakan Densus seperti itu menimbulkan dampak yang sangat serius bagi penegakan hukum secara umum. Betapa tidak, operasi Densus selama ini yang hanya mengacu ke UU No 15 Tahun 2003 sebagai rujukan tunggal mengabaikan prinsip-prinsip hukum dan HAM. Kebijakan Densus yang lebih menonjolkan pendekatan represif menunjukkan pola pemberantasan terorisme di Indonesia tersandera oleh model foam approach dan sama sekali tidak menyentuh roots of problem.

Sejumlah tersangka yang menjalani proses pemeriksaan mengalami pelanggaran HAM secara sistematis, mulai sulitnya akses pembelaan dan bertemu anggota keluarga hingga penganiayaan yang dilakukan secara sadis dan brutal oleh Densus. Lebih parah lagi, pada operasi penggerebekan Densus terhadap orang yang diduga pelaku terorisme di beberapa tempat belakangan ini, kebanyakan sasaran langsung dieksekusi mati. Padahal, tuduhan sebagai jaringan teroris kepada mereka sesungguhnya baru merupakan dugaan. Hal itu melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Fenomena tragis seperti yang telah dikemukakan sangat paradoks dengan dogma hukum d dan keadilan bahwa dalam set tiap upaya penegakan hukum, tidak terkecuali Densus, aparat dituntut menegakkan hukum dengan tidak melanggar hukum. Dalam hal ini, orang yang disangka sebagai jaringan teroris barulah berkedudukan di level dugaan. Karena itu, Densus sebagai penyelidik dan penyidik hanya berwenang untuk mencari tersangka berikut dengan barang bukti. Hak asasi orang yang berkedudukan sebagai tersangka harus tetap dihormati sebagai orang yang tidak bersalah sebelum diputus pengadilan (Pasal 18 ayat 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Memang dalam doktrin militer, semua sasaran diperlakukan sebagai musuh dengan taruhan mati atau hidup. Namun dalam doktrin keamanan, ketertiban masyarakat (kamtibmas), polisi hanya berupaya melumpuhkan sasaran dengan berbagai cara yang patut, tepat, tetapi tetap bermoral dan humanistis.

Lalu mengapa strategi pemberantasan terorisme yang dilakukan Densus cenderung menerapkan doktrin militer? Mengapa taktik melumpuhkan seperti menebarkan gas atau bahan yang memungkinkan sasaran jatuh pingsan atau mengalami kelemahan fisik yang bersifat temporer tidak digunakan? Bukankah dengan taktik pelumpuhan, para tersangka dapat ditangkap dalam keadaan hidup?

Jika dapat menangkap sasaran dalam keadaan hidup, mereka memperoleh keuntungan sangat besar, antara lain tidak perlu repot mengidentifikasi dengan mencocokkan DNA. Pelaku yang masih hidup tentu dapat memberikan keterangan dan informasi yang sangat berharga untuk pengembangan proses investigasi.

Harus diingat bahwa setiap tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik dan/atau psikis kepada seseorang, meski dengan pretensi penegakan hukum, merupakan pelanggaran terhadap International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Konvensi tersebut telah diratifikasi pemerintah Indonesia dengan UU No 5/1998. Selanjutnya, tindakan Densus yang kerap mengeksekusi mati seseorang tanpa putusan pengadilan yang telah mempunyai ketetapan hukum bersifat tetap dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat.

Bagian penjelasan Pasal 104 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebut unsur pelanggaran HAM berat ialah pembunuhan secara sewenang-wenang di luar hukum (arbitrary/extrajudicial killing). Kebijakan Densus dalam pemberantasan terorisme dengan pola represif merupakan prima kausa dibidiknya Polri sebagai musuh kelompok teroris secara terbuka. Akibat kebijakan pimpinan Polri seperti itu, sikap militan dan radikal jaringan teroris yang tadinya baru berada pada tingkat medium kini dapat semakin memuncak bahkan semakin nekat. Itu bukti konkret bahwa selama main trigger-nya masih ada, eksistensi jaring an teroris tidak akan pernah dapat terlum puhkan. Yang terjadi malah kekuatan dan pola serangan secara kualitatif dan kuantitatif akan terus meningkat.

Meluaskan Jaringan

Meluaskan jaringan Ketegasan dalam pe negakan hukum memang perlu bahkan harus dilaku kan untuk tindakan kriminal seperti pidana umum dan korupsi. Akan tetapi, kejahatan terorisme justru perlu pendekatan deradikalisasi. Harus dipahami, selain mempunyai garis perjuangan ideologi yang sangat fundamental, jaringan teroris mampu menata organisasi dengan jaringan yang semakin luas. Itulah sebabnya setiap ada anggota bahkan pimpinan jaringan teroris yang tertangkap oleh Densus hingga hukuman mati, aksi mereka bukan hanya tidak melentur dan meluntur, melainkan malah disambut dengan gegap gempita seraya meneriakkan kalimat takbir. Sebab, strategi perjuangan jaringan teroris berpijak pada spirit of power `patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh sejuta'.

Karena itu, kebijakan represif yang selama ini ditempuh Densus perlu segera diakhiri. Itu tidak hanya memboroskan anggaran negara, tetapi juga menimbulkan korban jiwa di antara kedua pihak. Ketegasan Densus justru semakin mempersubur tumbuhnya reaksi jaringan teroris dengan eskalasi dan pola serangan yang lebih intensif. Lebih tepat jika pemerintah berani mereposisi kebijakan pembangunan nasional selama ini yang mungkin menjadi salah satu faktor tumbuhnya radikalisme segelintir orang yang menilai kebijakan tersebut sebagai agenda kepentingan Barat.

Selain langkah persuasif dengan melibatkan para ulama dalam Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), paradigma pendekatan hukum yang lebih responsif dan yang bersifat restitutif sudah merupakan hal yang sangat mendesak dan perlu segera diwujudkan dalam menangkal militansi dan radikalisme jaringan teroris. Bagaimanapun juga, hukum dalam pandangan Roscoe Pound tentu tidak hanya berfungsi sebagai a tool of social control. Hukum juga mengemban fungsi sebagai a tool of social engineering.

Penulis mengusulkan perlunya rekonsiliasi sebagaimana yang sukses kita lakukan terhadap GAM. Kita jangan meniru Amerika Serikat dan Israel yang memburu jaringan teroris dengan pendekatan represif. Tindakan pembalasan kaum teroris tidak hanya menimpa negara pencetus perang, tetapi juga menimpa negara dan masyarakat lain yang sama sekali tidak berdosa.

Perlu dicermati secara mendalam, hampir sebagian besar anggota jaringan teroris yang beraksi di Indonesia sesungguhnya warga kita sendiri. Apa salahnya jika kita menawarkan kompromi dalam bentuk amnesti dan abolisi dengan jaminan mereka bersedia mengakhiri petualangan terorisme. Sangat baik jika mereka kita ajak berdialog, siapa tahu pemikiran dan partisipasi mereka justru berkontribusi besar dalam mengatasi krisis yang melanda bangsa kita. Pendekatan tersebut selain menyelamatkan jiwa dan martabat manusia, juga lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku di negara kita.

Meski demikian, kita juga perlu dan harus berani mengoreksi rangkaian kebijakan negara, khususnya politik luar negeri, yang mungkin menjadi sumber inspirasi bagi segelintir orang melakukan penentangan secara ekstrem dan radikal. Singkatnya, kita tidak perlu malu untuk mengakui kelemahan dan membenahi kebijakan negara yang mungkin patut dikoreksi demi mengakomodasi kelompok warga yang mempunyai pandangan politik berbeda dengan pandangan mainstream.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar