Memprediksi
Kepemimpinan Jakarta
Insan Budi Maulana ; Guru Besar Universitas Krisnadwipayana
|
REPUBLIKA,
06 September 2012
Sejak
Indonesia merdeka, DKI Jakarta selalu dipimpin oleh gubernur-yang sebelumnya
dipimpin wali kota-bukan dari etnis Betawi dan sejak 1960-an dipimpin oleh
tentara atau mantan tentara berpangkat jenderal dari berbagai suku yang telah
mengetahui Jakarta relatif cukup lama. Dan, bagi masyarakat Jakarta yang heterogen,
sepatutnya tidak perlu ada lagi masalah-masalah suku, agama, dan, etnis siapa
pun yang akan menjadi gubernur di Ibu Kota ini.
Bagi
warga Jakarta, era Gubernur Ali Sadikin yang dari Sumedang, Jawa Barat,
merupakan kenangan yang paling berkesan baik karena ia mampu menata Kota
Jakarta menjadi lebih beradab, berkebudayaan, modern, dan memperhatikan benar
kultur asli Jakarta yang berakulturasi dari budaya Cina, Arab, Eropa, dan
sebagainya. Namun, disayangkan, era Tjokropranolo yang juga jenderal merupakan
awal kenangan buruk karena ia tidak mampu menjadikan Jakarta kota yang lebih
tentram, tertib, damai, dan kondisi itu tidak berkesudahan hingga saat ini.
Pemilukada
DKI Jakarta tahap II pada 20 September makin mendekati dan para cagub tentu
sudah mempersiapkan strategi untuk menduduki jabatan sebagai gubernur DKI
Jakarta pada tahun ini juga. Dan, jika memperhatikan hasil pemilukada tahap I
yang memenangkan pasangan Jokowi dan Ahok dengan selisih jumlah suara yang
cukup banyak dibandingkan dengan Foke-Nara, tentu bukan hal yang mudah bagi
pasangan ini untuk berhasil melampauinya.
Di
sisi lain, black campaign atau
kampanye hitam yang berkembang melalui internet, media cetak, dan musibah
kebakaran berkali-kali terjadi sebulan terakhir di Ibu Kota telah menimbulkan
prasangka ada pihak-pihak lain yang menguji coba kedewasaan ma syarakat Jakarta
supaya terpancing sehingga menimbulkan keributan sosial sebagaimana terjadi
pada Mei i998 menjelang akhir kekuasaan Soeharto. Bagaimanapun, masyarakat
Jakarta cukup cerdas dan tidak akan mau diombang-ambingkan oleh pihak lain yang
bermain di air keruh untuk kepentingan politik mereka.
Di
atas kertas, pencitraan Jokowi-Ahok yang egaliter, santai, cara bicara yang
sekadarnya, memiliki visi, masih berusia relatif muda, pengalamannya sebagai
wali kota Solo yang prowong cilik, tentu akan mampu memperoleh simpati dan
dukungan dari para pemilih muda atau masyarakat migran yang tidak mau
disekat-sekat dengan berbagai birokrasi, aturan agama yang ketat, atau remeh-temeh
yang menyumbat kehidupan meski Jokowi-Ahok hanya didukung oleh dua partai, PDIP
dan Gerindra. Pencitraan pasangan ini yang memang terkesan pro rakyat,
promasyarakat menengah ke bawah, dan terkesan “dizalimi” karena pengungkapan
data riwayat hidup dan keluarganya, mengingatkan pada kondisi SBY saat akan
mengikuti pemilihan presiden periode I pada 2004 dan 2009.
Pencitraan
di atas tentu akan sangat menguntungkan pasangan Jokowi-Ahok dan akan
memberikan dukungan moral yang besar apabila pasangan ini mampu memenangkannya.
Apalagi, jika pasangan itu mampu menjawab pertanyaan dan keraguan masyarakat
swingvoter atau golput terhadap, pertama, mampukah Jokowi-Ahok bersikap tegas
dalam menjalankan pemerintahannya sebagaimana dilakukan oleh Bang Ali? Kedua,
mampukah bersikap negarawan dan menenteramkan terhadap kelompokkelompok etnis,
ormas keagamaan, dan ormas-ormas lain yang banyak di Jakarta yang kadang-kadang
memiliki kepentingan sektarian meski Jokowi-Ahok didukung oleh Prabowo dengan
Gerindranya yang dianggap tegas dan kedekatan Hercules dengan Prabowo sebagai
pendukungnya, serta PDIP dengan wong ciliknya?
Pertanyaan
berikutnya, apakah Jokowi akan amanah karena ketika diangkat menjadi wali kota
Solo, tentu ia telah bersumpah akan menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati
sampai masa jabat annya, namun ketika ia terpilih men jadi gubernur DKI
Jakarta, tentu jabatan wali kota Solo harus dilepaskan? Keempat, apakah
pelaksanaan visi dan misi mengatasi permasalahan di Jakarta dapat dilaksanakan
secara konsisten dan tegas walau Jokowi hanya berpengalaman sebagai wali kota
Solo yang masyarakatnya homogen dan berpenduduk tidak sepadat Jakarta? Padahal,
Jokowi-Ahok adalah orang-orang baru di Jakarta yang belum tentu memahami secara
perinci permasalahan di Jakarta selain kemacetan dan anarki berlalu lintas,
serta birokrasi yang lamban.
Jika
pertanyaan-pertanyaan di atas dapat ditanggapi secara jernih dan bijaksana
dalam penyampaian visi misi selanjutnya, tentu bukan hal yang muskil jabatan
menjadi orang nomor satu di Jakarta akan diraihnya. Bagaimanapun, sekali lagi,
Jokowi-Ahok diperkirakan mampu terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, namun
mereka patut diduga tidak akan mampu menjalankan amanah. Sama halnya dengan SBY
yang mampu menjadi presiden pada periode II, namun tidak mampu memenuhi
janjijan jinya dan harapan masyarakat walau memperoleh suara lebih dari 60 per
sen karena sulit memperoleh dukungan legislatif DKI Jakarta dan resistensi
sebagian masyarakat Jakarta yang militan.
Apakah lagi-lagi rakyat akan kecewa
terhadap gubernur yang didukung oleh partai politik? Wallahu ‘alam bis shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar