Keruntuhan
Partai
Kandyawan WP ; Dosen Prodi Komunikasi FISIP UNS Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 22 September 2012
KEMENANGAN
Jokowi-Ahok yang tergambar dalam hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei
menyisakan catatan penting bagi perkembangan dinamika politik nasional. Salah
satunya, keruntuhan oligarki partai yang dihantam derasnya partisipasi langsung
publik.
Pasangan Jokowi-Ahok yang secara legal formal hanya didukung dua partai, PDIP dan Gerindra (17 persen kursi DPRD DKI), berhasil menumbangkan Foke-Nara yang diusung Partai Demokrat, Golkar, PPP, PAN, dan PKS (83 persen). Upaya konvensional partai besar memobilisasi dukungan (semu) dengan menggunakan kekuatan oligarkis harus terhenti karena menabrak dinding partisipasi khalayak yang lebih riil dan solid.
Pendapat umum, dukungan, dan simpati tidak dibangun dari atas (partai) tapi dari bawah (pemilih). Fungsi partai sebagai makelar suara telah berakhir. Aspirasi partai berseberangan dengan aspirasi pemilih. Pilgub DKI Jakarta 2012 seakan-akan membenarkan prediksi para teknolog yang sejak dekade 1980-an meramalkan berakhirnya era demokrasi representasi, beralih ke demokrasi partisipasi berbasis teknologi informasi (TI) dan teknologi komunikasi. Majid Tehranian dan Wismal Dissanayake meyakini ledakan penemuan TI akan mengubah masyarakat secara cepat dan simultan, baik secara struktural maupun kultural dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik.
Lembaga, aktor, dan proses-proses politik lama mengalami deformasi, desakralisasi, dan delegitimasi. Empat puluh tahun lalu ketika dunia masih terbalut era industri, organisasi massa seperti birokrasi, serikat buruh, dan partai politik merupakan institusi dominan.
Struktur komunikasi (sosial politik) terakumulasi, terintegrasi, dan digerakkan. Partai dan serikat pekerja merupakan aktor dan institusi utama yang mewakili sekaligus menggerakkan kepentingan massa. Fenomena itu biasa disebut demokrasi representasi. Kini, TI dan teknologi komunikasi telah paripurna mendekonstruksi kondisi tersebut. Struktur komunikasi akumulatif tidak lagi memusat dan terintegrasi pada birokrasi, serikat pekerja, atau partai, tapi menyebar merata ke segala penjuru arah, yakni kepada publik yang memiliki kontrol akses ke jaringan utilitas komunikasi elektronik.
Kekuatan Swadaya
Difasilitasi TI, khalayak leluasa menyatakan predisposisi, opini, sikap pemikiran secara bebas langsung di ruang publik. Demokrasi partisipatif telah lahir. Di sini publik menegakkan sistem demokrasi secara elektronik (e-demokrasi), sekaligus berpartisipasi langsung secara elektronik (e-partisipasi).
Sejak awal, pada putaran pertama sampai kedua, terlihat semua ’’perang’’ dan ’’kegemparan’’ komunikasi politik. Pilgub DKI bukan terjadi di ranah nyata melainkan justru di dunia maya. Atau setidak-tidaknya aktivasi dunia maya menjadi keniscayaan bagi amplifikasi komunikasi politik dunia nyata.
Panasnya komunikasi politik itu terbangun bukan oleh partai politik melainkan oleh kekuatan swadaya publik berbasis TI (Twitter, BlackBerry Messenger, skype, Facebook, web, blog, Polling, e-news, game online, dan sebagainya). Dalam versi Google, jumlah pemilih yang ’’hanya’’ 6.962.348 dimanjakan ulasan Pilgub DKI sebanyak 2.500.000 hits, kesuksesan Jokowi 1.390.000 hits, kesuksesan Foke 137.000 hits, kegagalan Jokowi 1.200.000 hits, dan kegagalan Foke 621.000 hits. Ini artinya jutaan informasi tersebut lebih dari cukup membuat publik pemilih melek informasi (politik) tanpa harus dimediasi petinggi partai.
Partai, sebagai sarana representasi komunikasi politik, mulai ditinggalkan khalayak karena sifat partai yang oligarkis, hegemonik, manipulatif, hierarkis, interposed, massal, dan impersonal. Kini khalayak pemilih lebih suka menggunakan media internet karena bentuk partisipasi politik yang lebih genuine, egaliter, transparan, langsung, interaktif, instan, personal, tapi sekaligus massal.
Lebih jauh, arena partisipasi yang mampu diakomodasi media internet jauh lebih luas dibanding institusi konvensional semacam partai. Media baru dapat dimanfaatkan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun sebagai penyedia informasi, ruang komunitas, media konsultasi, alat kampanye, media penunjang pemilihan, bahan pertimbangan, pembentukan wacana, alat mediasi, perencanaan tata kelola, polling, dan voting.
Pasangan Jokowi-Ahok yang secara legal formal hanya didukung dua partai, PDIP dan Gerindra (17 persen kursi DPRD DKI), berhasil menumbangkan Foke-Nara yang diusung Partai Demokrat, Golkar, PPP, PAN, dan PKS (83 persen). Upaya konvensional partai besar memobilisasi dukungan (semu) dengan menggunakan kekuatan oligarkis harus terhenti karena menabrak dinding partisipasi khalayak yang lebih riil dan solid.
Pendapat umum, dukungan, dan simpati tidak dibangun dari atas (partai) tapi dari bawah (pemilih). Fungsi partai sebagai makelar suara telah berakhir. Aspirasi partai berseberangan dengan aspirasi pemilih. Pilgub DKI Jakarta 2012 seakan-akan membenarkan prediksi para teknolog yang sejak dekade 1980-an meramalkan berakhirnya era demokrasi representasi, beralih ke demokrasi partisipasi berbasis teknologi informasi (TI) dan teknologi komunikasi. Majid Tehranian dan Wismal Dissanayake meyakini ledakan penemuan TI akan mengubah masyarakat secara cepat dan simultan, baik secara struktural maupun kultural dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik.
Lembaga, aktor, dan proses-proses politik lama mengalami deformasi, desakralisasi, dan delegitimasi. Empat puluh tahun lalu ketika dunia masih terbalut era industri, organisasi massa seperti birokrasi, serikat buruh, dan partai politik merupakan institusi dominan.
Struktur komunikasi (sosial politik) terakumulasi, terintegrasi, dan digerakkan. Partai dan serikat pekerja merupakan aktor dan institusi utama yang mewakili sekaligus menggerakkan kepentingan massa. Fenomena itu biasa disebut demokrasi representasi. Kini, TI dan teknologi komunikasi telah paripurna mendekonstruksi kondisi tersebut. Struktur komunikasi akumulatif tidak lagi memusat dan terintegrasi pada birokrasi, serikat pekerja, atau partai, tapi menyebar merata ke segala penjuru arah, yakni kepada publik yang memiliki kontrol akses ke jaringan utilitas komunikasi elektronik.
Kekuatan Swadaya
Difasilitasi TI, khalayak leluasa menyatakan predisposisi, opini, sikap pemikiran secara bebas langsung di ruang publik. Demokrasi partisipatif telah lahir. Di sini publik menegakkan sistem demokrasi secara elektronik (e-demokrasi), sekaligus berpartisipasi langsung secara elektronik (e-partisipasi).
Sejak awal, pada putaran pertama sampai kedua, terlihat semua ’’perang’’ dan ’’kegemparan’’ komunikasi politik. Pilgub DKI bukan terjadi di ranah nyata melainkan justru di dunia maya. Atau setidak-tidaknya aktivasi dunia maya menjadi keniscayaan bagi amplifikasi komunikasi politik dunia nyata.
Panasnya komunikasi politik itu terbangun bukan oleh partai politik melainkan oleh kekuatan swadaya publik berbasis TI (Twitter, BlackBerry Messenger, skype, Facebook, web, blog, Polling, e-news, game online, dan sebagainya). Dalam versi Google, jumlah pemilih yang ’’hanya’’ 6.962.348 dimanjakan ulasan Pilgub DKI sebanyak 2.500.000 hits, kesuksesan Jokowi 1.390.000 hits, kesuksesan Foke 137.000 hits, kegagalan Jokowi 1.200.000 hits, dan kegagalan Foke 621.000 hits. Ini artinya jutaan informasi tersebut lebih dari cukup membuat publik pemilih melek informasi (politik) tanpa harus dimediasi petinggi partai.
Partai, sebagai sarana representasi komunikasi politik, mulai ditinggalkan khalayak karena sifat partai yang oligarkis, hegemonik, manipulatif, hierarkis, interposed, massal, dan impersonal. Kini khalayak pemilih lebih suka menggunakan media internet karena bentuk partisipasi politik yang lebih genuine, egaliter, transparan, langsung, interaktif, instan, personal, tapi sekaligus massal.
Lebih jauh, arena partisipasi yang mampu diakomodasi media internet jauh lebih luas dibanding institusi konvensional semacam partai. Media baru dapat dimanfaatkan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun sebagai penyedia informasi, ruang komunitas, media konsultasi, alat kampanye, media penunjang pemilihan, bahan pertimbangan, pembentukan wacana, alat mediasi, perencanaan tata kelola, polling, dan voting.
Berangkat dari
semuanya, partai-partai yang masih kukuh menggenggam ortodoksinya akan segera
mati ditinggal para pemilih. Hanya partai terbuka, egaliter, dan memahami
aspirasi khalayak yang akan hidup pada era informasi ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar