Minggu, 23 September 2012

Gubernur Jangan Mudah Keluarkan Izin


Gubernur Jangan Mudah Keluarkan Izin
( Wawancara )
Yayat Supriatna ;  Dosen Teknik Planologi Universitas Trisakti Jakarta
SUARA KARYA, 22 September 2012


Rakyat Jakarta telah memilih calon pemimpinnya yang baru. Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur (Cagub-Cawagub) periode 2012-2017, Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) menurut versi quick count, sementara unggul melalui pemungutan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang sukses, aman, jujur, dan adil (Jurdil) pada Kamis, 20 September 2012.

Duet Jokowi-Ahok lebih dipercaya mayoritas rakyat ibu kota, meraih suara lebih dari 52 persen, sehingga mengungguli pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang mencatat perolehan suara sekitar 47 persen pada pemilihan putaran kedua yang fenomenal.

Menurut rencana, penyelenggara Pilkada DKI, Komisi Pemilihan Umum (PKU) Provinsi DKI Jakarta akan mengumumkan secara resmi pemenang pilkada, 27 September ini. Kemudian apabila tidak ada aral melintang, Cagub-Cawagub DKI terpilih akan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi melalui Sidang Paripurna Istimewa DPRD DKI pada Minggu, 7 Oktober 2012.

Usai dilantik, Jokowi-Ahok bakal langsung dihadapkan pada pekerjaan rumah (PR) dan tanggung jawab yang sangat berat. Pasangan ini harus segera menyelesaikan masalah-masalah krusial Jakarta, yang tidak terselesaikan di masa gubernur-wakil gubernur sebelumnya. Problem Jakarta yang mendera warganya, antara lain kemacetan parah, ancaman bencana banjir dan banjir rob, permukiman kumuh, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, hingga mendesaknya reformasi birokrasi, antara lain untuk menghasilkan birokrasi yang mampu memberikan pelayanan prima terhadap warga Jakarta.

Visi dan misi Jokowi-Ahok yang tidak muluk-muluk, serta sikap mereka yang apa adanya, rendah hati, dan rajin mengunjungi warga di gang-gang sempit yang kumuh dan padat, ternyata ampuh, untuk mendapatkan simpati masyarakat. Terkait PR berat Cagub-Cawagub DKI, wartawan Harian Umum Suara Karya Yon Parjiyono mewawancarai pakar perkotaan Dr Yayat Supriatna di Jakarta, baru-baru ini. Menurut dosen Teknik Planologi Universitas Trisakti Jakarta ini, betapa harapan masyarakat sangat besar terhadap sosok Jokowi-Ahok dalam mewujudkan Jakarta baru yang lebih baik.

Track record Jokowi-Ahok saat menjadi Wali Kota Solo dan Bupati Bangka Timur cukup baik. Apakah pasangan ini mampu memenuhi harapan membawa perubahan Jakarta baru yang lebih baik?

Sebuah norma baru dari calon pemimpin Jakarta telah dibuat Jokowi-Ahok. Yang mendatangi, mendengar, berdialog dengan warga di gang-gang sempit di permukiman kumuh dan padat memberi gambaran baru tentang pola membangun Jakarta itu, bukan sekadar proyek atau program yang besar-besar, menghambur-hamburkan duit, tidak jelas juntrungannya. Mimpi apa yang bisa dilakukan? Apakah Jokowi-Ahok yang transparan dan bersih dan sebagainya itu mampu menakhlukkan Jakarta yang memang dikatakan sarang segala macam, sarang penyamun, sarang penyakit kotor masyarakat yang berlipat-lipat besarnya dibanding Solo dan Belitung?

Apakah bisa dilakukan pendekatan yang sama? Masyarakat Jakarta tentu berbeda dengan warga Solo dan Belitung?

Ya, jelas berbeda antara Solo, Belitung, dan Jakarta. Tapi, saya pikir, yang dihadapi itu sama-sama manusia. Harapannya sama, warga ingin hidup lebih baik.

Jokowi-Ahok harus tetap konsisten dengan sikap mereka. Tidak boleh berubah. Artinya, kalau mereka bisa hidup dengan apa yang dilakukan sekarang, tentu akan membawa perubahan yang besar di tengah gaya hidup glamour dan komsumtif di Jakarta yang mengedepankan sisi materi. Orang di kota ini merasa tidak dimanusiawikan. Warga sangat haus akan kebutuhan rumah yang manusiawi, sehat dan terhindar dari bahaya banjir dan fenomena kebakaran dahsyat. Tidak ada kota yang separah Jakarta sekarang.

Banyak orang merasa berkontribusi terhadap kemenangan Jokowi-Ahok. Sementara mereka semua punya kepentingan-kepentingan. Bagaimana pasangan ini mengakomodasinya?

Itu tidak bisa dihindari. Tapi, sejauh mana Jokowi-Ahok mampu menghindari mereka yang merasa berjasa, bisa dikendalikan. Menurut saya, Pak Jokowi dan Pak Ahok harus terbuka, bersih. Kalau itu dilakukan maka reformasi birokrasi internal bisa dilakukan dengan baik.

Apakah Bapak setuju ada target 100 hari untuk pasangan Jokowi-Ahok?

Saya kurang setuju dengan slogan target 100 hari. Dulu pernah saya berdebat dengan Gubernur DKI incumbent Fauzi Bowo. Nah, mungkin 100 hari setelah dilantik, Pak Jokowi dan Pak Ahok harus menata ulang kebijakan dan yang telah dikerjakan sebelumnya. 

Mana yang perlu dipercepat, mana pula yang perlu dievaluasi kembali yang tidak pernah tercapai. Jadi, 100 hari pertama ya konsolidasi, menata ulang dan upaya merevitalisasi mana saja yang selama ini dilaksanakan tidak maksimal. perlu dipetakan masalah yang ada untuk pencapaian 1-2 tahun. Mampukah dia membuat kebijakan yang sa ngat radikal, misalnya, menambah ribuan armada bus untuk angkutan umum di Jakarta, maka itu sudah terlihat kebijakan mengatasi kemacetan.

Cagub Jokowi dalam dua periode menjadi Wali Kota Solo dikenal anti pembangunan mal di tengah kota karena memimbulkan kemacetan dan merusak tata ruang. Apakah hal itu bisa diterapkan di Jakarta?

Ya, Pak Jokowi dan Pak Ahok harus terbuka kepada masyarakat terkait program yang akan dilakukan, dan kapan akan bisa dicapainya. Kemudian, harus berani terbuka kepada masyarakat. Yakni, mana tanggung jawab Pemprov DKI, mana tanggung jawab masyarakat. Misalnya, soal rumah susun di kampung-kampung, kalau itu ide dia, kemudian kalau bisa dibalik, siapa warga yang berani mengusulkan tanahnya dijadikan program penataan kampung, itu sangat positif. Jadi, pembangunan di Jakarta bukan dari gubernur saja, tapi dari masyarakat. Jadi, 100 hari pertama itu merupakan sinergi program gubernur dan warga.

Soal pembangunan mal di tengah kota, bisa nggak Pak Jokowi itu seperti Bu Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini-Red). Dia melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang sudah dikeluarkan. Di Jakarta ini, gubernur suka tidak diberi penjelasan yang jelas oleh bawahannya. Masalahnya, Pemprov itu terlalu mudah memberi izin, tetapi "tidak berani" menagih, fasos-fasumnya.

Pemprov DKI punya piutang fasos-fasum senilai lebih kurang Rp 17 triliun kepada pengembang yang mendapatkan surat izin penggunaan dan pemanfaatan tanah (SIPPT). Soal moratorium izin mal, harus berani mengkaji ulang izin, dan menyebarkan izin pembangunan mal itu di pinggir-pinggir kota, sehingga mampu mengurangi dampak kemacetan. Dan, pembangunan mal harus disenergikan dengan jaringan moda transportasi umum. Orang ke mal tak perlu naik mobil, cukup naik busway, monorel atau kereta api bawah tanah seperti di Singapura.

Jokowi juga dikenal dengan komitmennya melindungi aset cagar budaya. Apakah komitmennya ini bisa ditingkatkan saat memimpin Jakarta nanti?
Saya kira komitmen itu harus ditingkatkan. Beliau harus menjaga, melestarikan dan meningkatkan kualitas cagar budaya Betawi dan cagar budaya lainnya.

Jokowi mendapat hadiah mobil Innova dari relawan "Kotak-Kotak". Apakah sebaiknya dia bekerja menggunakan mobil itu, mobil Esemka, atau mobil dinasnya saja?

Soal mobil tidak terlalu krusial. Pak Jokowi harus memberikan contoh kepada warganya. Misalnya, ada perintah gubernur pada hari tertentu, seluruh pegawai negeri sipil (PNS) Pemda DKI naik busway atau naik sepeda. Nah, kalau bisa memberi contoh seperti itu, pasti akan diikuti masyarakat luas. Tidak semua naik mobil dan motor yang akhirnya membuat kemacetan parah di seluruh Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar