Gubernur
Jangan Mudah Keluarkan Izin
( Wawancara )
Yayat Supriatna ; Dosen Teknik Planologi Universitas
Trisakti Jakarta
|
SUARA
KARYA, 22 September 2012
Rakyat Jakarta
telah memilih calon pemimpinnya yang baru. Pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur (Cagub-Cawagub) periode 2012-2017, Joko Widodo - Basuki Tjahaja
Purnama (Jokowi-Ahok) menurut versi quick
count, sementara unggul melalui pemungutan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada) yang sukses, aman, jujur, dan adil (Jurdil) pada Kamis, 20 September
2012.
Duet
Jokowi-Ahok lebih dipercaya mayoritas rakyat ibu kota, meraih suara lebih dari
52 persen, sehingga mengungguli pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
(Foke-Nara) yang mencatat perolehan suara sekitar 47 persen pada pemilihan
putaran kedua yang fenomenal.
Menurut
rencana, penyelenggara Pilkada DKI, Komisi Pemilihan Umum (PKU) Provinsi DKI
Jakarta akan mengumumkan secara resmi pemenang pilkada, 27 September ini.
Kemudian apabila tidak ada aral melintang, Cagub-Cawagub DKI terpilih akan
dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi melalui Sidang
Paripurna Istimewa DPRD DKI pada Minggu, 7 Oktober 2012.
Usai
dilantik, Jokowi-Ahok bakal langsung dihadapkan pada pekerjaan rumah (PR) dan
tanggung jawab yang sangat berat. Pasangan ini harus segera menyelesaikan
masalah-masalah krusial Jakarta, yang tidak terselesaikan di masa
gubernur-wakil gubernur sebelumnya. Problem Jakarta yang mendera warganya, antara
lain kemacetan parah, ancaman bencana banjir dan banjir rob, permukiman kumuh,
kemiskinan, kesehatan, pendidikan, hingga mendesaknya reformasi birokrasi,
antara lain untuk menghasilkan birokrasi yang mampu memberikan pelayanan prima
terhadap warga Jakarta.
Visi
dan misi Jokowi-Ahok yang tidak muluk-muluk, serta sikap mereka yang apa
adanya, rendah hati, dan rajin mengunjungi warga di gang-gang sempit yang kumuh
dan padat, ternyata ampuh, untuk mendapatkan simpati masyarakat. Terkait PR
berat Cagub-Cawagub DKI, wartawan Harian Umum Suara
Karya Yon Parjiyono mewawancarai
pakar perkotaan Dr Yayat
Supriatna di Jakarta,
baru-baru ini. Menurut dosen Teknik Planologi Universitas Trisakti Jakarta ini,
betapa harapan masyarakat sangat besar terhadap sosok Jokowi-Ahok dalam
mewujudkan Jakarta baru yang lebih baik.
Track
record Jokowi-Ahok saat menjadi Wali Kota Solo dan Bupati Bangka Timur cukup
baik. Apakah pasangan ini mampu memenuhi harapan membawa perubahan Jakarta baru
yang lebih baik?
Sebuah
norma baru dari calon pemimpin Jakarta telah dibuat Jokowi-Ahok. Yang
mendatangi, mendengar, berdialog dengan warga di gang-gang sempit di permukiman
kumuh dan padat memberi gambaran baru tentang pola membangun Jakarta itu, bukan
sekadar proyek atau program yang besar-besar, menghambur-hamburkan duit, tidak
jelas juntrungannya. Mimpi apa yang bisa dilakukan? Apakah Jokowi-Ahok yang
transparan dan bersih dan sebagainya itu mampu menakhlukkan Jakarta yang memang
dikatakan sarang segala macam, sarang penyamun, sarang penyakit kotor
masyarakat yang berlipat-lipat besarnya dibanding Solo dan Belitung?
Apakah
bisa dilakukan pendekatan yang sama? Masyarakat Jakarta tentu berbeda dengan
warga Solo dan Belitung?
Ya,
jelas berbeda antara Solo, Belitung, dan Jakarta. Tapi, saya pikir, yang
dihadapi itu sama-sama manusia. Harapannya sama, warga ingin hidup lebih baik.
Jokowi-Ahok
harus tetap konsisten dengan sikap mereka. Tidak boleh berubah. Artinya, kalau
mereka bisa hidup dengan apa yang dilakukan sekarang, tentu akan membawa perubahan
yang besar di tengah gaya hidup glamour dan komsumtif di Jakarta yang
mengedepankan sisi materi. Orang di kota ini merasa tidak dimanusiawikan. Warga
sangat haus akan kebutuhan rumah yang manusiawi, sehat dan terhindar dari
bahaya banjir dan fenomena kebakaran dahsyat. Tidak ada kota yang separah
Jakarta sekarang.
Banyak
orang merasa berkontribusi terhadap kemenangan Jokowi-Ahok. Sementara mereka
semua punya kepentingan-kepentingan. Bagaimana pasangan ini mengakomodasinya?
Itu
tidak bisa dihindari. Tapi, sejauh mana Jokowi-Ahok mampu menghindari mereka
yang merasa berjasa, bisa dikendalikan. Menurut saya, Pak Jokowi dan Pak Ahok
harus terbuka, bersih. Kalau itu dilakukan maka reformasi birokrasi internal
bisa dilakukan dengan baik.
Apakah
Bapak setuju ada target 100 hari untuk pasangan Jokowi-Ahok?
Saya
kurang setuju dengan slogan target 100 hari. Dulu pernah saya berdebat dengan
Gubernur DKI incumbent Fauzi Bowo. Nah, mungkin 100 hari setelah dilantik, Pak
Jokowi dan Pak Ahok harus menata ulang kebijakan dan yang telah dikerjakan
sebelumnya.
Mana yang perlu dipercepat, mana pula yang perlu dievaluasi kembali
yang tidak pernah tercapai. Jadi, 100 hari pertama ya konsolidasi, menata ulang
dan upaya merevitalisasi mana saja yang selama ini dilaksanakan tidak maksimal.
perlu dipetakan masalah yang ada untuk pencapaian 1-2 tahun. Mampukah dia
membuat kebijakan yang sa ngat radikal, misalnya, menambah ribuan armada bus
untuk angkutan umum di Jakarta, maka itu sudah terlihat kebijakan mengatasi
kemacetan.
Cagub
Jokowi dalam dua periode menjadi Wali Kota Solo dikenal anti pembangunan mal di
tengah kota karena memimbulkan kemacetan dan merusak tata ruang. Apakah hal itu
bisa diterapkan di Jakarta?
Ya,
Pak Jokowi dan Pak Ahok harus terbuka kepada masyarakat terkait program yang
akan dilakukan, dan kapan akan bisa dicapainya. Kemudian, harus berani terbuka
kepada masyarakat. Yakni, mana tanggung jawab Pemprov DKI, mana tanggung jawab
masyarakat. Misalnya, soal rumah susun di kampung-kampung, kalau itu ide dia, kemudian
kalau bisa dibalik, siapa warga yang berani mengusulkan tanahnya dijadikan
program penataan kampung, itu sangat positif. Jadi, pembangunan di Jakarta
bukan dari gubernur saja, tapi dari masyarakat. Jadi, 100 hari pertama itu
merupakan sinergi program gubernur dan warga.
Soal
pembangunan mal di tengah kota, bisa nggak Pak Jokowi itu seperti Bu Risma
(Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini-Red). Dia melakukan evaluasi terhadap
izin-izin yang sudah dikeluarkan. Di Jakarta ini, gubernur suka tidak diberi
penjelasan yang jelas oleh bawahannya. Masalahnya, Pemprov itu terlalu mudah
memberi izin, tetapi "tidak berani" menagih, fasos-fasumnya.
Pemprov
DKI punya piutang fasos-fasum senilai lebih kurang Rp 17 triliun kepada
pengembang yang mendapatkan surat izin penggunaan dan pemanfaatan tanah
(SIPPT). Soal moratorium izin mal, harus berani mengkaji ulang izin, dan
menyebarkan izin pembangunan mal itu di pinggir-pinggir kota, sehingga mampu
mengurangi dampak kemacetan. Dan, pembangunan mal harus disenergikan dengan
jaringan moda transportasi umum. Orang ke mal tak perlu naik mobil, cukup naik
busway, monorel atau kereta api bawah tanah seperti di Singapura.
Jokowi
juga dikenal dengan komitmennya melindungi aset cagar budaya. Apakah
komitmennya ini bisa ditingkatkan saat memimpin Jakarta nanti?
Saya
kira komitmen itu harus ditingkatkan. Beliau harus menjaga, melestarikan dan
meningkatkan kualitas cagar budaya Betawi dan cagar budaya lainnya.
Jokowi
mendapat hadiah mobil Innova dari relawan "Kotak-Kotak". Apakah
sebaiknya dia bekerja menggunakan mobil itu, mobil Esemka, atau mobil dinasnya
saja?
Soal mobil tidak terlalu krusial. Pak Jokowi harus memberikan
contoh kepada warganya. Misalnya, ada perintah gubernur pada hari tertentu,
seluruh pegawai negeri sipil (PNS) Pemda DKI naik busway atau naik sepeda. Nah,
kalau bisa memberi contoh seperti itu, pasti akan diikuti masyarakat luas.
Tidak semua naik mobil dan motor yang akhirnya membuat kemacetan parah di
seluruh Jakarta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar