Kebijakan Impor Pro-Petani
Sapuan Gafar ; Pengamat
Pertanian dan Mantan Karyawan Bulog
|
KOMPAS,
13 September 2012
Saat ini sedang dicari
rumusan kebijakan impor kedelai yang dapat mendorong peningkatan produksi dalam
negeri. Berdasarkan pengalaman, ada beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat
digunakan.
Program intensifikasi
produksi komoditas kedelai dilakukan mulai tahun 1973 lewat program Bimbingan
Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas) palawija. Pada waktu itu
Departemen Pertanian mengingatkan Bulog untuk membatasi impor palawija agar
tidak memukul produksi petani. Maka, langkah Bulog saat itu hanya mengawasi
impornya.
Selanjutnya tahun 1978
disepakati harga dasar kedelai dan jagung. Soedarsono Hadisapoetro—Menteri
Pertanian saat itu—mengajukan rumusan dengan rasio harga gabah : jagung :
kedelai > 1 : 1 : 2,5.
Tahun 1979/1980 berlangsung
program intensifikasi dan ekstensifikasi dengan penanaman kedelai secara besar-besaran.
Selain itu juga dilakukan Program Intensifikasi Khusus (Insus) dengan perlakuan
khusus pada Program Bimas dan untuk daerah baru ada Operasi Khusus (Opsus).
Tahun 1980 Bulog diminta mengendalikan impor kedelai secara penuh.
Sebagai tindak lanjut
kewenangan Bulog, maka penjualan kedelai hanya untuk penggunanya, yaitu
Koperasi Perajin Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti). Daerah penyaluran juga
dibatasi untuk daerah bukan sentra produksi kedelai. Untuk menjaga agar harga
kedelai tetap baik, Bulog hanya mengimpor 70-80 persen dari kebutuhan.
Semua program simultan untuk
kedelai tersebut memberi hasil cukup menggembirakan. Areal panen berkembang
dari 745.000 hektar tahun 1973, naik menjadi 2,5 kali lipat pada tahun 1992.
Produksi juga meningkat menjadi 1,8 juta ton tahun 1992 dibandingkan tahap awal
Bimas/Inmas yang hanya 541.000 ton atau naik 3,5 kali. Kunci keberhasilan
peningkatan produksi ini adalah keseriusan pemerintah dalam program peningkatan
produksi, dukungan petani dan masyarakat. Selain itu juga ada insentif harga
melalui pembatasan impor kedelai yang ketat dan insentif nonharga berupa
Program Bimas/Inmas dilengkapi dengan Program Insus dan Opsus.
Pengalaman Kebijakan
Untuk menjaga agar harga
tetap merangsang petani berproduksi ada berbagai cara: pengenaan bea masuk,
pembatasan impor, dan impor hanya oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Dari
pengalaman, yang paling efektif untuk menjaga harga kedelai adalah model ketiga
meski tampaknya sekarang kurang disukai.
Kebijakan pengenaan bea
masuk digunakan sejak tahun 2000 sampai sekarang. Semula kedelai kena bea masuk
10 persen, tetapi dengan adanya krisis harga kedelai tahun 2008 bea masuk impor
kedelai diturunkan menjadi 5
persen. Bea masuk impor ini diturunkan lagi menjadi 0 persen tahun 2012 gara-gara
perajin tahu dan tempe mogok berproduksi.
Dalam kenyataannya, model ini gagal
menjalankan misi merangsang petani meningkatkan produksi. Produksi kedelai
dalam negeri hancur, tinggal 600.000- 800.000 ton.
Kebijakan impor kedelai
dibatasi dengan kuota. Model ini dikembangkan tahun 1973 sampai 1979. Bulog
bertugas mengawasi impor kedelai. Untuk memudahkan pengawasan, importir kedelai
dihimpun dalam asosiasi importir kedelai. Asosiasi melapor ke Bulog tentang
jumlah kedelai yang diimpor.
Ternyata importir kedelai
mengimpor lebih besar dari yang dilaporkan. Akhirnya untuk mengawasi jumlah
yang diimpor, importir hanya dapat membuka letter of credit (L/C) pada bank
yang ditunjuk oleh Bulog. Perkembangan selanjutnya sesuai dengan ketentuan pada
saat itu: setelah diberlakukan harga dasar kedelai, Bulog ditugaskan menjadi
importir tunggal kedelai.
Kebijakan terakhir adalah
pemberlakuan harga dasar dengan kombinasi hak eksklusif impor pada lembaga yang
ditunjuk dan pembatasan impor. Memang kebijakan ini paling efektif menjaga
harga yang ideal untuk petani. Dengan keseriusan pemerintah meningkatkan
produksi, produksi kedelai sampai pada tingkat yang paling tinggi sepanjang
sejarah perkedelaian. Karena harga pasar selalu di atas harga dasar, mulai
tahun 1988 harga dasar kedelai dihapus.
Untuk menilai efektivitas
kebijakan impor terhadap pembentukan harga kedelai sebagai dasar evaluasi
digunakan rasio harga beras dan kedelai di tingkat grosir. Kebijakan impor
dengan pengenaan bea masuk yang berlaku dari tahun 2000 sampai sekarang,
ternyata rasionya selalu di bawah 1,3 bahkan pada 2006 mendekati 1. Yang lebih
memprihatinkan lagi tahun 2007 rasionya di bawah 1. Artinya, harga kedelai
lebih murah dibandingkan harga beras.
Saat berlakunya kebijakan
Bulog sebagai importir tunggal yang dibarengi pembatasan jumlah impor,
1980-1997, angka rasionya dapat dipertahankan di atas 1,4 bahkan pada 1992
mencapai 1,5. Artinya, apabila dihitung dalam bentuk gabah, rasionya mencapai
2,2-2,4, mendekati rumusan ideal Prof Soedarsono.
Kebijakan impor kedelai
dengan cara pengawasan impor yang berlaku tahun 1973-1979 angka rasionya
rata-rata 1,31, bahkan tahun 1979 angka rasionya hanya 1,08.
Kebijakan Pro-Petani
Dari pengalaman, kebijakan
impor kedelai eksklusif dengan menunjuk lembaga pemerintah atau BUMN tertentu
memang paling efektif menjaga harga dan produksi. Namun, cara ini harus
dibarengi dengan program pemerintah secara besar-besaran untuk mendongkrak
produksi kedelai, terutama untuk daerah-daerah baru.
Saat ini diperkirakan
kendala yang dihadapi sebenarnya sangat klasik, yaitu terbatasnya anggaran
untuk intensifikasi dan ekstensifikasi kedelai. Oleh karena itu, disarankan
pengaturan kebijakan dengan asumsi terdapat keterbatasan anggaran pemerintah
untuk peningkatan produksi kedelai sebagai berikut.
Kebijakan model pertama, ada
kuota impor kedelai disertai kewajiban importir untuk membantu petani.
Berdasarkan ketentuan, perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial membantu
masyarakat sekitar. Ketentuan inilah yang dipakai sebagai dasar mewajibkan para
importir kedelai membantu petani.
Tentang bentuk bantuan dan
cara membantu, secara teknis dapat dibicarakan dengan importir dan berlangsung
bertahap. Yang penting adalah ada kesediaan untuk membantu petani. Kuota
seperti hanya impor gula akan membuat harga tetap merangsang petani menanam
kedelai.
Kebijakan model kedua, impor
kedelai dikaitkan dengan kesediaan importir untuk menyerap produksi lokal atau
yang dikenal dengan ”busep” atau bukti serap. Model ini pernah dilakukan pada
industri pengolahan susu untuk menyerap susu dari peternak sapi. Kebijakan yang
sama, impor kedelai dapat dilakukan kalau importir menunjukkan bukti telah
membeli kedelai produksi petani. Hal ini secara teknis dapat dibicarakan dengan
importir, berapa ketentuan harga untuk membeli kedelai dalam negeri, berapa
perbandingan antara produksi lokal dan impor serta bagaimana verifikasinya.
Yang penting di sini adalah kesediaan untuk menyerap produksi yang dikaitkan
dengan izin impor.
Yang jelas, kedua kebijakan
tersebut diperkirakan akan mendapat reaksi dari mereka yang selama ini
menikmati ”manisnya madu” dari bebasnya impor kedelai. Mereka akan ”melawan”
kebijakan tersebut dengan berbagai cara, termasuk memengaruhi perajin tahu dan
tempe. Untuk itu, diperlukan pemutus kebijakan yang berani melawan arus yang
semuanya demi keberpihakan kepada petani.
Rakyat juga menunggu
keberanian gubernur daerah produksi kedelai untuk menolak kedelai impor masuk
ke daerahnya, apabila importir tidak mau menyerap kedelai lokal dengan harga
yang disepakati oleh daerah.
Perlu ditambahkan pengaturan
impor kedelai hanya merupakan salah satu faktor pendorong bangkitnya produksi
dalam negeri. Selain itu juga diperlukan keseriusan pemerintah pusat dan daerah
untuk bertekad meningkatkan produksi kedelai. Mudah- mudahan asumsi
keterbatasan anggaran untuk peningkatan produksi kedelai tersebut salah dan
semoga pemerintah lebih percaya diri menghadapi tekanan dari luar.
Saya berharap tulisan ini
menyegarkan ingatan kita terhadap apa yang pernah kita lakukan dan menjadi
masukan untuk perumusan kebijakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar